Bagaimana Oma?” tanya Richard saat Oma Hesty menyeruput kuah bibirnya.Ini menakjubkan! Bahkan bubur buatan Qiara lebih enak dari pada buatan restoran berbintang.Qiara menunggu jawaban dari Oma Hesty, sementara Richard mengamati gestur dari sang oma.“Biasa aja,” dusta Oma Hesty, lalu lanjut memakan buburnya.Qiara tersenyum tipis, hal ini sudah lumrah. OMa Hesty selalu makan akanan yang berkualitas, sementara ini bukan apa-apa.Qiara juga tidak pernah belajar memasak dari cheff terbaik, kan?“Em, Oma. Ada saran buat buburnya? Apa yang kurang dari kuah dan juga toping yang lainnya, Oma?” tanya Qiara hati-hati. Mungkin, dengan ini bisa membuatnya bisa lebih dekat dengan sang oma.“Gak tahu ya. Saya bukan food bloger. Tapi ini terlalu biasa saja!”“Ini sudah enak banget. Pas, enggak perlu apa-apa,” sahut Richard yang kini sudah hampir habis makannya.Qiara tersenyum tipis. Mungkin Richard hanya ingin membuatnya tidak berkecil hati.Richard tersenyum kecil melirik sang oma yang mulai me
Dalam sebuah acara pertemuan, Richard tampak duduk dengan santai. Di sebelah kirinya sudah ada Mona, sekretarisnya, dan di sebelah kana nada Diki—asisten pribadinya di kantor.Mereka kali ini sedang menunggu kedatangan salah satu klien, untuk membahas mengenai kerja sama.“Pak Richard! Sudah lama menunggu?”Richard mengangkat wajahnya, melihat orang yang ia tunggu, mereka bertiga langsung berdiri dan memberikan anggukan kecil.“Pak Adrian, selamat siang, kami baru saja datang,” jawab Richard dengan ramah dan senyuman yang lebar, saat menjabat tangan sosok pria bernama Adrian.Namun, senyum Richard tampak memudar saat melihat sosok Denis berada di belakang Adrian.“Dia?”“Oh, ini Denis. Asisten pribadi saya yang baru.”Denis tampak tersenyum tipis, bahkan pria itu mengulurkan tangannya. “Selamat siang, Pak Richard, kita bertemu lagi.”Rahang Richard mengeras, menahan segala emosinya saat ini. Hanya saja, ia tak mampu meluapkannya, mengingat kerja sama ini.“Jadi, apa sebelumnya pernah
Langkah kaki Richard yang keras membuat Qiara menoleh. Senyum Qiara memudar saat melihat raut wajah Richard yang tegang."Mas kamu sudah pulang?" tanya Qiara terlihat heran melihat suaminya sudah berada di rumah di jam seperti ini.“Siapa itu Denis sebenarnya?"Qiara mengerutkan dahi karena pertanyaan dadakan dari Richard. Untuk apa suaminya itu menanyakan Denis?“Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Denis?”Richard mengembuskan napas kasar, tangan kanannya memijat kening dengan mata terpejam berusaha untuk meredam emosi yang membuncah, gestur tubuhnya menunjukkan kegelisahan. Apakah ia harus mengatakannya?“Mas, ada apa?” tanya Qiara begitu penasaran. Tidak biasanya Richard menanyakan ini.Qiara menebak, jika suaminya itu baru saja bertemu dengan Denis.“Apa Denis mengganggumu?”Richard menoleh dengan cepat. Pertanyaan Qiara tepat sasaran. Lebih tepatnya kehadiran Denis tadi mengganggu pikirannya.Kediaman Richard membuat Qiara yakin, jika suaminya itu benar-benar bertemu dengan Denis.Q
Mendengar suara berisik di ruang makan, Oma Hesty langsung bertandang ke sana. Wanita tua itu tampak terkejut saat melihat sosok cucunya di rumah.“Richard? Tumben jam segini sudah pulang?”Richard menoleh dengan mulut penuh akan makanan. Ia menganggukkan kepala. “Lapar.”“Sejak kapan kamu makan siang di rumah? Jam segini lagi.” Oma Hesty melongok pada isi piring Qiara dan Richard. “Sejak kapan kamu makan makanan tidak sehat seperti itu? Berminyak pula.”Qiara diam. Ia merasa bersalah karena telah mempengaruhi suaminya untuk makan makanan berlemak. Menurutnya, rendang daging dan sayur berkuah santan serta sambal hijau adalah makanan terenak. Namun, bagi Oma Hesty, justru sebaliknya.“Enak, Oma! Oma coba cicipi,” ajak Richard dengan menunjuk isi piringnya.“Gak! Tadi oma sudah makan salad sayur dan ayam hainan, order dari resto langganan oma.” Oma Hesty melengos, tangannya bergerak mengipasi wajahnya yang terlihat angkuh itu.“Oma, padahal makanan Nusantara itu enak loh! Sekali-kali c
“Ha? Ke mana?”Hanya senyuman sebagai jawaban yang Richard berikan. Hal itu membuat Qiara mengerucutkan bibirnya.Berondongan notifikasi terdengar terus berdenting. Qiara yang penasaran mulai melirik ponsel Richard yang tergeletak di atas meja. Bahkan suaminya itu tampak acuh tak acuh. Lebih memilih untuk menikmati masakannya.“Mas, ponsel kamu sejak tadi berisik banget. Kamu enggak cek?”“Gak. Nanti saja,” jawab Richard asal. Ia sedang terpesona dengan rendang. Meski sejujurnya ia penasaran dengan cumi bunting, namun ia tak bisa menyicipinya, mengingat ia memiliki alergi dengan makanan laut.“Woaaah, saya kenyang sekali.” Richard sampai geleng-geleng kepala, mengelus perutnya menggunakan tangan kiri.Melihat Richard puas dengan makanan yang ia masak, Qiara merasa senang dan bangga akan hasil kerja kerasnya.“Aku beres-beres dulu,” ucap Qiara kemudian.Qiara tidak mau merepotkan Vera. Hanya untuk mencuci piring, itu bukanlah hal yang sulit baginya. Tentu Richard sering mengeluh, mengi
Alista dan Vera berada di tempat bermain. Sementara itu Qiara tampak mengikuti suaminya masuk ke sebuah salah satu toko pakaian dengan nama brand terkenal.Qiara ternganga melihat deretan pakaian yang begitu cantik dan bagus.“Kamu bisa pilih apapun yang kamu mau,” bisik Richard dengan lembut.“M-mas ta-tapi.”Richard memegang dua bahu Qiara dan tatapan mereka bertemu. Mata teduh Richard mampu menenangkam Qiata.“Anggap saja kalau ini sebagai nafkah.”Qiara mengangguk pada akhirnya. Perempuan mana yang tidak suka kalau diajak berbelanja? Qiara juga senang, hanya saja ia memang tidak enak hati, mengingat ada Oma Hesty di rumah. Bisa jadi mertuanya itu semakin menjadi-jadi kepadanya.Richard duduk di sofa, sambil memeriksa laporan pekerjaan di kantor.Sementara itu Qiara sibuk memilih pakaian.“Astaga! Harganya gila!” Qiara melotot. Harga pakaiannya hampir ssja sebulan gajinya. “Duh pilih mana ya?”“Bisa dibantu, Nyonya?” tawar pramuniaga dengan ramah. Mengingat Qiara datang bersama Ric
Mata Richard hampir tak berkedip melihat penampilan Qiara. Mini dress dengan lengan di atas siku, dengan bahu terbuka. Tampak ramping di bagian perut dan sedikit mekar di bagian bawah. Richard menelan ludahnya perlahan. Begini saja sudah terlihat cantik, bagaimana jika sudah memakai make up?“Mas?”Lamunan Richard buyar seketika. Pria dengan suara berat itu berdeham demi untuk menetralisir kegugupannya.“Ya. Cocok.”Qiara mengembusakn napas, lega. Tentu sambil mengurut dada. Ia senang karena sudah merasa sangat lelah yang luar biasa.Richard bangkit dari duduknya. Melenggang mendekati Qiara. Senyumnya tampak menawan, membuat Qiara hampir gagal fokus.“Pas,” puji Richard membuat Qiara mengangguk karena grogi.“Ini.” Richard menyodorkan kartu hitam kepada kasir. “Semua barang belanjaannya, biar diambil sama orang-orang saya.”“Baik, Tuan,” jawab kasir dengan label Gisella, lantas mengembalikan kartu sakti milik Richard. Sementara bill-nya dimasukkan ke sslah satu tas karton tempat baj
Lampu temaram yang lembut menyapa. Lilin-lilin kecil berkerlap-kerlip di atas meja kayu. Hidangan yang menggugah selera tersaji di sana. Ruangan gampak kosong, hanya seorang pianis yang memainkan pianonya. Dengan lagu cinta yang mengalun. “M-mas ....” Bahkan Qiara sampai tak sanggup berkata-kata. Ini terlalu indah. Richard memegang kedua bahu Qiara. Dari raut wajahnya, tampak terllihat tulus. “Tempat yang cantik, untuk seseorang yang spesial.” Qiara terperanjat. Benarkah yang diucapkan oleh Richard? Rasanya Qiara ingin terbang saat ini juga. Dengan gerakan lembut Richard mengajak Qiara duduk di bangku. Deritannya cukup keras, mampu menyadarkan Qiara yang sedang terperangkap dalam imajinasi, membuatnya kembali pada kenyataan. Ini bukan mimpi, ini nyata! Semua yang hanya bisa ia tonton di film-film, terlihat nyata. “Ha-hanya ada kita?” Pertanyaan konyol itu kembali Qiara lontarkan, suaminya terkekeh sebentar. “Saya sudah menyewanya. Tak ada yang bisa mengganggu kit