Share

Bab. 3 Direnggut Paksa

Qiara segera menarik kain apapun yang ada di dekatnya.

Sungguh, dia malu bukan main.

Apa yang harus dia lakukan?

“Lanjutkan saja pekerjaannya,” ujar Richard tiba-tiba, kemudian berlalu ke kamarnya.

Brak!

Pria itu begitu keras menutup pintu.

Qiara berjengit dan mengelus dadanya, lega.

Namun, itu tak lama.

Suara tangis Alista kembali terdengar. Buru-buru Qiara berlari menuju ke kamar dan menggendong  Alista. Memberikan susu dan membawa keluar.

Sudah waktunya makan siang!

Qiara berniat untuk menawari Richard makanan.

Mengetuk pintu kamar dan teriakan dari dalam membuatnya membuka pintu.

Qiara tertegun melihat Richard tengah menatap foto pernikahan. Tampak wajahnya yang begitu sedih.  Sepertinya Richard msih begitu mencintai mendiang istrinya.

“Ada apa?”

Lamunan Qiara buyar, kini justru terlihat gugu. “Ba-bapak mau makan siang apa, Pak?”

“Saya tidak butuh apapun, keluar saja!”

Qiara mengangguk patuh. Ia tahu, situsinya memang sedang tidak tepat. Ia memilih untuk keluar dan menutup pintunya lagi. Meski sejujurnya Qiara juga penasaran dengan sikap dingin Richard terhadap Alista.

Ditolehnya bayi berpipi gembul itu yang kini kembali terpejam.

Seperti biasa, usai menidurkan Alista, Qiara mencoba untuk perawatan wajah. Ia membeli masker bubuk, sisa uang belanja tadi.

Beruntung, Oma Hesty membebaskan Qiara untk memakai sabun aroma terapi yang ada di lemari.

Qiara memanfaatkan waktunya untuk menyegarkan diri terlebih dahulu, lalu kembali pada Alista yang ternyata masih tertidur.

Brak!

Qiara berjengit mendengar suara gebrakan pintu.

Ia menghentikan aktivitasnya, mencoba mengecek asal dari suara itu.

“Pak Richard?”

Tubuh Richard sempoyongan, pakaiannya terlihat sangat kacau, dua tiga kancing bajunya terbuka, matanya tampak merah. Bahkan berkali-kali pria itu hanpir tersungkur. Reflex, Qiara mendekat dan menahannya supaya tidak jatuh.

“Ba-bapak ma-mabuk, Pak?”

Richard memejamkan matanya. Ia hapal betul aroma sabun ini. “Yasmin ….”

Qiara mengalungkan tangan Richard pada bahunya, mencoba memapah pria tinggi itu. Bahkan Richard tidak menolaknya sama sekali. “Saya bantu ya, Pak.”

“Yasmin, itu kamu?” gumam Richard dengan suara khas orang mabuk.

Qiara membuka pintu kamar Richard dan membukanya lebar, niatnya ingin menddukkan pria itu ke ranjang, akan tetapi di luar dugaannya, Richard yang membanting Qiara di ranjang.

“Pak, Bapak mau ngapain?” Qiara begitu terkejut, sebisa mungkin ia bangkit, tetapi Richard justru menindihnya.

“Aku sangat merindukan kamu, Yas.”

Qiara memalingkan wajahnya, ia membenci bau alkohol. Jelas itu mengganggu hidungnya. “Pak, saya bukan Bu Yasmin. Saya Qiara!”

“Yasmin, aku merindukan kamu. Jangan sebut nama neninya Alista. Dua hari ini aku menahan diri untuk tidak terpancing dengan tubuh gadis bodoh itu.” Richard menahan tangan Qiara, membungkukkan badannya, menghidu wangi sabun yang begitu ia rindukan.

Qiara menggelengkan kepalanya dengan kasar. “Pak, jangan, Pak. Saya bukan Bu Yasmin, saya Qiara.”

“Aku merindukan kamu, Yas.”

“Tidak!” Qiara menjerit sejadinya, saat Richard mulai mencium lehernya. Gadis itu menangis meronta, memohon untuk dilepaskan, akan tetapi alkohol telah mempengaruhi Richard, hingga ia sama sekali tidak mengingat, jika Yasmin telah pergi untuk selama-lamanya.

“Tolong, Pak. Lepaskan saya …,” rintih Qiara. “TIDAK! PAK! JANGAN!”

Qiara tidak menyangka, jika ia akan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas oleh bosnya sendiri. Pria bertubuh kekar itu telah melepas jubah mandinya, hingga tubuh mungilnya tanpa penghalang apapun.

Suaranya sampai serak karena terus menjerit, memohon kepada pria itu untuk segera dilepaskan.

“Sayang, diamlah, kamu banyak bergerak. Aku merindukanmu.” Richard membungkam mulut Qiara dengan ciuman, tangannya sudah menjelajah kemana, hingga hal yang tak pantas terjadi.

“Aakh….”

Qiara menjerit sejadinya, saat sesuatu membelah inti dalam tubuhnya.

Air matanya mengalir, tubuhnya tergoncang, sakit.

Bertahun-tahun ia menjaganya untuk sang suami kelak, kini direnggut paksa oleh sang majikan.

Bahkan darah terlihat mengalir, tidak, Qiara merasa hidupnya telah hancur malam ini juga.

“Kenapa sesulit ini, Yas. Bahkan kita sudah memiliki bayi. Tetapi masih sama.”

Deg!

Hati Qiara makin pedih menyadari bahwa pria yang merebutnya bahkan menganggapnya orang lain.

“Saya mohon, Pak. Lepaskan  saya,” pintanya, “saya bukan Bu Yasmin. Pak, Tolong….”

“Diamlah, Sayang. Jangan berisik.”

Qiara hanya bisa pasrah. Apa yang akan dia lakukan setelah ini?

Bahkan ia tidak bisa pergi begitu saja.

Ada Alista di sini. Ia tidak mungkin membawa bayi itu pergi.

Dan juga penalti kontraknya….

Berbagai sumpah serapah Qiara layangkan untuk bosnya ini.

Tapi, pria itu tak sadar.

Hanya saja mendadak tubuh Qiara menegang.

Sesuatu yang tak pernah ia rasakan, tiba-tiba meledak.

Bersamaan dengan itu, Richard perlahan ambruk di sebelahnya dengan tubuh terengah-engah.

Qiara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Meringis menahan sakit, ia meraih jubah mandinya.

Dibiarkannya atasan itu terlentang sendirian.

Tertatih meninggalkan kamar Richard menuju kamar Alista. Gadis itu menangis sejadinya.

“Maafin Qia, Ma. Qia kotor,” rintih Qiara di sela tangisnya. Ia bersimpuh di lantai, dekat box bayi. Meratapi nasibnya yang begitu malang.

Qiara menangis semalaman. Wajahnya terlihat kacau. Tetapi ia harus tetap bekerja bukan.

Ia teringat dengan hutang-hutang ayahnya. Meski dengan perih yang msih terasa pada miliknya.

Klek!

Seorang wanita dengan berpakaian seksi berdiri dengan menatap aneh Qiara dari atas sampai bawah.

Terlihat kerutan di dahi, menandakan wanita yang memakai lipstick warna merah menyala itu heran akan keberadaan gadis itu.

“Cari siapa, Mbak?” tanya Qiara.

“Mbak? Sejak kapan saya jadi embakmu?” gadis yang memakai heells setinggi 5 cm itu menyelonong masuk dan menabrak pundak Qiara dengan sengaja.

 “Oh, iya. Di mana Richard? Bilang sama dia, kalau Hana datang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status