Untungnya, pikiran itu menghilang begitu saja kala Qiara mulai bekerja.
Selama dua hari, Oma Hesty bahkan mengawasi kerja Qiara dengan cermat.
Qiara dapat melakukannya! Bahkan, Alista sangat nyaman dan tidak rewel di dekat Qiara.
“Qia, kamu bisa kalau ditinggal sendiri?” tanya Oma Hesty tiba-tiba saat Qiara yang tengah menidurkan cicitnya.
Gadis itu tampak sedikit bingung.
Meski demikian, Qiara akhirnya berbicara, “Oma kalau mau istirahat, bisa istirahat. Apa Qia mau buatin sesuatu dulu?”
Ya, selain standby 24 jam mengurus bayi Alista, Qiara juga mengerjakan pekerjaan rumah dan juga memasak untuk dirinya sendiri dan Oma Hesty.
Richard?
Atasannya itu tidak pernah makan di rumah. Sarapan di rumah saja sangat jarang. Itupun hanya segelas susu dan juga telur rebus.
Di sisi lain, Oma Hesty menggelengkan kepalanya. “Enggak. Maksudnya, Oma akan pulang ke rumah, di sini sangat sumpek. Sempit. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Dan ingat, saya pegang semua identitas kamu. Jagain Alista dengan benar,” ujarnya dan langsung mengambil tas jinjing di kursi.
Qiara menahan diri untuk tidak membelalakan mata.
Penthouse sebesar ini dibilang sempit?
Jangan-jangan kamar kost Qiara yang dulu tidak sampai ¼ kamar mandi milik Oma Hesty di rumahnya, ya?
“Qiara?”
“Ba-baik, Oma,” ucap Qiara tersadar dari lamunan, “Oma jangan khawatir, Alista aman sama Qia.”
Oma Hesty tampak mengangguk puas. “Bagus. Bilang sama Richard, kalau Oma pulang. Kamu juga jangan sampai telat bangun. Siapin sarapan buat Richard sama jangan keburu tidur, kalau Richard belum pulang,” titah Oma Hesty yang berhenti di ambang pintu.
Qiara mengulas senyuman dan mengangguk sebagai jawaban.
Setelah Oma Hesty pergi bersama dua pengawalnya, Qiara lantas menoleh pada bayi yang terlelap di dalam box bayi tersebut.
“Cantiknya….” lirih Qiara. Dia begitu senang merawat Alista. Tak pernah rewel, bahkan ia mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik.
Hanya saja, Qiara menemukan Alista mulai kembung saat ruangan begitu dingin.
Sesuai dengan ucapan Oma Hesty, AC pun dimatikan Qiara.
Sekarang, masalahnya tinggal satu.
Qiara mudah gerah! Padahal, dia masih harus merapikan penthouse.
“Tapi, Pak Richard selalu pulang tengah malam dan pergi pagi-pagi sekali,” bimbang gadis berwajah tirus itu.
Qiara berjalan menuju lemari yang ada di kamar Alista. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sedikit terbuka. Tentu untuk mengurangi rasa gerahnya.
Hot pant dan tang top menjadi pilihan Qiara.
Ya, ia akan mengenakan itu. Mengingat majikannya tak ada di rumah, dan hanya ada dirinya dan juga bayi Alista.
Sambil bersenandung, Qiara mencepol rambutnya. Menoleh sekilas pada bayi mungil yang terlelap di dalam box bayi, lantas ia keluar tanpa menutup pintu.
Alasannya, supaya ia bisa mendengar tangis Alista sewaktu bayi itu terbangun.
Qiara mengambil kemoceng dan mulai membersihkan meja di ruang TV.
Senyum Qiara mengembang saat melihat sebuah bingkai foto berada di meja tersebut. Wajah tampan Richard begitu mempesona. Lesung pipi di sebelah kiri terlihat sangat manis dengan pose bersedekap dada. Tubuh kekar yang dibalut dengan sweater turtle neck dengan latar belakang jalanan.
Qiara menebak, itu berada di luar negeri, karena di belakang potret itu beberapa orang lewat mengenakan mantel dengan rata-rata berwajah oriental.
Namun, sampai saat ini ia tak pernah melihat wajah Rihard seceria ini.
Ke mana perginya?
Qiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lantas meletakkan bingkai foto itu di meja lagi. Ini bukan ranahnya, bukan?
Kemoceng yang diapit oleh ketiaknya itu kembali ia pergunakan untuk mengusap beberapa koleksi barang antik milik Richard. Tentu sembari bersenandung.
Kriet!
Qiara terlonjak saat mendengar pintu terbuka.
Kemoceng yang sedang dia bawa jatuh di lantai, saat melihat Richard pulang di siang hari dengan pakaian kusut. Bahkan toga kancing bajunya sudah terbuka.
“Apa Alista tidur?”
Qiara yang gugup hanya mengangguk sebagai jawaban.
Hanya saja, kenapa Richard menatapnya cukup lama?
Deg!
Qiara baru menyadari, jika ia tengah mengenakan pakaian yang sedikit terbuka!
Qiara segera menarik kain apapun yang ada di dekatnya.Sungguh, dia malu bukan main.Apa yang harus dia lakukan?“Lanjutkan saja pekerjaannya,” ujar Richard tiba-tiba, kemudian berlalu ke kamarnya.Brak!Pria itu begitu keras menutup pintu.Qiara berjengit dan mengelus dadanya, lega.Namun, itu tak lama. Suara tangis Alista kembali terdengar. Buru-buru Qiara berlari menuju ke kamar dan menggendong Alista. Memberikan susu dan membawa keluar.Sudah waktunya makan siang!Qiara berniat untuk menawari Richard makanan.Mengetuk pintu kamar dan teriakan dari dalam membuatnya membuka pintu.Qiara tertegun melihat Richard tengah menatap foto pernikahan. Tampak wajahnya yang begitu sedih. Sepertinya Richard msih begitu mencintai mendiang istrinya.“Ada apa?”Lamunan Qiara buyar, kini justru terlihat gugu. “Ba-bapak mau makan siang apa, Pak?”“Saya tidak butuh apapun, keluar saja!”Qiara mengangguk patuh. Ia tahu, situsinya memang sedang tidak tepat. Ia memilih untuk keluar dan menutup pintun
Di dalam penthouse, wanita asing itu tampak mengedarkan pandangannya pada penjuru ruangan.Sudah rapi dan bersih, tidak seperti terakhir kali dia mengunjungi apartemen tersebut yang mana sangat berantakan.Qiara sendiri melenggang menuju ke kamar majikannya.Namun, Hana mencegatnya. “Tolong buatin jus jambu untuk saya dulu,” pintanya sambil meraih remot TV di meja.“Maaf, Nona. Tidak ada jambu di sini.”Ya, di kulkas memang tidak ada buah apapun selain apel. Itupun dia beli memakai uangnya sendiri.“Adanya apa?” Hana memainkan ujung rambutnya yang keriting menggunakan jari telunjuknya.“Adanya, sih teh manis.”“Ck. Kalau begitu buatkan teh tawar saja buat saya. Gak pake lama, ya!”Qiara mengangguk lalu bergegas di dapur, sambil menenteng ember dan stik pelnya juga. Dalam hati dia terus bertanya-tanya mengenai Hana. Oma Hesty sama sekali tidak pernah membicarakan perihal Hana. Dan tentu itu membuat Qiara sangat penasaran.Apa pacarnya?Qiara menggelengkan kepala. Ini bukan urusannya!
“Kamu kenapa ada di sini?”Richard tampak kesal.Namun bukannya takut, Hana justru tampak tersenyum. “Kamu sudah bangun?”“Ck! Di mana Qiara?”“Qiara?” Hana tampak bingung.“Nanny-nya Alista.” Untuk kali ini Richard menyebutkan nama putrinya dengan lantang. Tak ada beban sama sekali. Ia mengedarkan pandangannya di penjuru ruangan.“Di kamar anak kamu, Chard. Dia—““Mending kamu pergi!”Hana menggelengkan kepala, ia lantas maju dan memeluk lengan Richard. Namun pria tinggi itu buru-buru menepisnya. “Aku—““Saya ada urusan. Tolong pergi, sebelum saya bertindak tegas sama kamu, Hana.” Richard menuding wajah Hana dengan tegas. Sungguh, ia benar-benar risi dengan gadis itu. “Jangan berdalih sama oma, saya enggak peduli. Sekarang kamu bisa pergi?”Dengan wajah cemberut, Hana meraih tas tangannya, lalu pergi dari sana.Seketika, hanya ada suara TV yang terdengar dengan keras.Richard melirik Qiara sebelum menekan tombol power untuk mematikan TV.“Kenapa kamu biarin dia di sini?” tanya Richar
Masih belum selesai masalah tadi siang, Richard kembali membuat Qiara tak tenang.Tak seperti biasanya, Richard makan di rumah!Hal ini membuat Qiara menghindar. Ia bahkan memilih untuk membersihkan dapur.“Saya padahal nyuruh kamu buat makan bareng.”Qiara masih enggan menoleh. Perempuan itu masih mencuci wajannya dan menjawab, “Maaf, Pak. Saya tidak lapar. Masih kenyang.”Richard menghabiskan sisa makanannya, lalu meletakkan sendoknya di atas piring. Bersamaan dengan Qiara yang selesai membersihkan dapur.“Bisa kita bicara sebentar?”Qiara masih diam, bahkan tak berani menatap wajah Richard yang terlihat tegas itu.“Tolong duduk.”Qiara menarik kursi yang berada di depan Richard. Ia duduk di sana dengan waswas.Diremasnya ujung kaosnya sendiri. Apa lagi ini?“Mengenai kejadian itu—““Saya putuskan untuk melupakan semuanya, Pak.”Entah keberanian dari mana, Qiara mengatakan hal itu. Ia sudah mempertimbangkannya dengan matang. Alasannya jelas mengenai restu Oma Hesty.“Tapi, bagaimana
“Oma, ada yang ingin Richard katakan.”Semalaman Richard berpikir. Alangkah sebaiknya ia mengatakan hal ini terlebih dahulu kepada Hesty, dari pada membuat Qiara malu setelah ini.“Tumben. Apa itu?” Hesty duduk bersila. Wanita tua itu meminum teh manisnya dengan elegan.Kedua kalinya ia meminta izin ini. Hanya saja, yang pertama Richard tampak terlihat senang dan wajahnya berseri-seri.Ini sebaliknya. Lingkar hitam di matanya bahkan terlihat sangat jelas. Menandakan pria itu kurang tidur dan terlihat stress.“Oma, Richard akan menikah lagi.”“Good! Ini yang oma mau dengar. Akhirnya kamu dan Hana akan menikah.” Hesty terlihat senang bukan main.Sementara Richard tampak melebarkan mata. “Bukan Hana!”Kening Hesty mengkerut. Bukankah selama ini cucunya tak terlihat dekat dengan wanita manapun?“Siapa gadis beruntung itu?”“Qiara, Oma.”“Apa?” Hesty melebarkan matanya karena terkejut. “Apa-apaan ini! Qiara baby sitternya Alista maksud kamu? Atau Qiara yang lain?”Richard menundukkan kepal
Sejak kembali dari rumah Hesty, Richard hanya diam. Ia masuk ke kamar dan terlihat lesu. Melewati Qiara yang sedang mengasuh putrinya.Qiara sama sekali tidak berani menegur majikannya itu, meski sejujurnya ia begitu sangat penasaran dengan jawaban Hesty.Namun, Qiara lebih memilih untuk mengurus Alista. Ia tak banyak berharap.“Kamu pinter sekali, sih. Sudah bangun enggak nangis. Mau mimik ya sayang? Bentar ya, Mbak siapin susunya. Kamu tiduran di stroller saja ya?”Qiara membiarkan bayi mungil itu mengemut ibu jarinya sendiri. Sambil membuatkan susu untuk Alista, Qiara berceloteh, bayi berusia empat bulan itu meresponnya dengan tawanya.“Pinter sekali, sih. Anak manis. Bikin gemes.” Qiara membawa Alista ke ruang tengah. Memberikan susu pada bayi itu, kali ini sambil memangkunya.Alista sering tertawa akhir-akhir ini. Qiara tidak pernah diam saat mengasuhnya.Saat Richard hendak membuat kopi untuk dirinya sendiri, ia memperhatikan Qiara yang tengah memangku Alista. Bahkan tak terliha
“Lantas?”Richard menarik napas dalam-dalam. Qiara benar-benar menguji kesabarannya saat ini.“Kita bisa bilang, kalau saya butuh istri. Anggap saja saya mencintai kamu. Tidakkah kamu bisa berpikir demikian?”Qiara membungkam mulutnya yang ternganga. Meski ini akan menjadi hal terberat baginya nanti, akan tetapi semua demi hutang ayahnya.Qiara pada akhirnya mengangguk, menyetujui.“Kapan Bapak akan menemui orang tua saya?”Sejenak Richard berpikir. Akhir-akhir ini kantornya sedang bermasalah. Besok ia harus menghadiri rapat penting. Namun, mengingat ini adalah keputusan besar dalam hidupnya, Richard tidak ingin menundanya. Toh dengan ini, ia lega jika Qiara menjadi ibu dari Alista, yang jelas mencintai putrinya dengan tulus.“Besok malam.”“Besok malam?”Richard mengangguk. “Ya. Jadi, persiapkan diri kamu. Saya kembali ke kamar.”Qiara memejamkan matanya. Ia bahkan meraup wajahnya dengan kasar. Sekilas ia teringat dengan mantan kekasihnya yang pergi tanpa jejak. Selama ini ia belum b
Semalaman Qiara tidak bisa tidur. Mengingat pertengkaran Richard dan juga Hana. Bahkan majikannya itu dengan kejam mengusir Hana dari rumah.“Oeey!”Tangis Alista menggugah lamunan Qiara. Perempuan cantik itu langsung bangkit dari ranjang, menengok Alista yang menangis di box bayinya.“Hai, sudah bangun, Princess?” Qiara menggendong Aista memakai gendongan.Membawa bayi berusia empat bulan itu ke dapur untuk membuat susu. Tentu karenabotol di kamar kotor, dan harus menggantinya dengan botol yang lain.Ajaibnya, Alista tak pernah lama menangis jika bersama Qiara. Bayi itu anteng dalam gendongan, seolah sabar menunggu susunya selesai dibuat.“Kamu haus ya? Sebentar ya, sayang.” Alista mencium pipi gembil Alista dengan penuh kasih sayang, lalu kembali dengan aktivitasnya membuat susu.“Qiara.”Qiara berjengit karena terkejut. Hampir saja ia terkena air panas.“Maaf mengejutkan kamu,” ucap Richard kemudian. Terlihat penyesalan dari wajahnya.“Bapak mau apa?” Qiara merutuki dirinya sendiri
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.