"Ini kesempatan terbaik untukmu, Sayang. Kau harus datang... Kau pemilik perusahaan besar Papamu sekarang ini! Ayo datang, bersamaku!" Sebastian membujuk Shela dengan susah payah, di sana juga ada Stevani dan Ferdi bersedekap menatap Shela. Setelah pagi-pagi sekali Stevani menelfon Sebastian untuk meminta mereka pulang dari kediaman keluarga Morgan. Stevani ingin semua karyawan kantor Milory tahu siapa pemilik tempat besar itu sekarang. "Shela, Mama tidak akan pergi karena bukan Mama yang menandatangani berkas kepemilikannya! Ayo pergi dan berangkat sekarang, Shela!" seru Stevani pada putrinya. Shela mendongak menatap sang Mama dengan sayu. "Shela... Shela malu Ma." "Malu?! Malu kenapa lagi, ya ampun...!" Stevani mengusap keningnya pusing. "Malu kenapa lagi nak? Kau ini pemilik perusahaan besar, kenapa kau malah malu, astaga putriku?!" Shela berdecak kecil, dia mendongak menatap Stevani dengan kedua alis bertaut. "Mama tidak akan tahu rasanya menjadi Shela! Posisi Shela, bayang
"Nona Shela selama beberapa tahun ini pergi ke mana? Emmm, Nyonya Stevani bilang kalau Nyonya Shela pergi bersekolah, ya?" Pertanyaan itu terlontar dari salah satu tamu yang ada di acara tersebut. Shela sudah menduga kalau akan ada yang bertanya-tanya tentang hal ini. "Ya, saya pergi ke suatu tempat. Keluarga saya berada dulu." Shela menjawab dengan asal. "Saya pikir pergi karena hamil duluan," sahut seorang wanita yang kini tersenyum tipis dan memainkan kipasnya. "Lalu, kenapa kalau memang hal itu benar? Toh saya juga sudah bersuami," jawab Shela dengan nada geram. "Saya rasa, ini acara penting, ternyata hanya acara mencari bahan gosip saja, ya?"Shela meletakkan segelas minumannya dan langsung meninggalkan beberapa wanita itu. Dengan langkah kesalnya, Shela mendekati Sebastian yang tengah berbincang dengan beberapa orang. "Sayang, ayo pulang!" ajak Shela langsung menarik lengan Sebastian. "Hei..." Laki-laki itu membalikkan badannya saat itu juga. "Ada apa, hem?" "Ayo pulang!
Dua Hari Kemudian.Setelah memutuskan untuk kembali ke Prancis, Shela dan Sebastian kini pun memulai hari-harinya seperti dulu. Si kembar yang hari ini sudah mulai aktif bersekolah dan Sebastian yang bersiap pergi ke kantornya. "Sayang, siapkan mentel hangatku!" seru Sebastian yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. "Iya sebentar. Aku masih menyiapkan buku-buku milik si kembar." "Aku berangkat setelah ini, Sayang!" seru Sebastian lagi. Shela berdecak kesal, di atas ranjang kamarnya ada Tiana yang merengek menatap Mama dan Papanya heboh di pagi hari.Perjalanan yang melelahkan dari Inggris ke Prancis membuat Tiana demam tinggi sampai akhirnya anak itu tidak bisa pergi bersekolah. "Mami, kepala Tiana pusing! Mau gendong..." Anak itu merengek memukuli kepalanya. "Ya ampun Sayang. Iya, iya kita sebentar lagi ke rumah sakit ya, anak Mami," bisik Shela mengusap kening Tiana dan memeluk putri kecilnya. Sebastian menoleh, ia kini yakin kalau Shela tidak akan membantunya bersiap.
"Ck! Shela pasti mengomeliku! Gara-gara Vir sialan!" Sebastian mengumpat seraya melangkah melewati lorong rumah sakit.Pasalnya dia terlambat pulang hingga pukul delapan malam. Ada hal penting di kantornya yang membuat Sebastian harus mati-matian kerja dua kali.Sebastian membuka pintu rawat inap Tiana, di dalam sana dia melihat Shela yang duduk memeluk Tiana seraya tertidur. "Ya ampun, Sayang," lirih Sebastian menutup pintu. Laki-laki itu melangkah mendekat, ia mengusap pucuk kepala Shela dan mengecup pipi istrinya sampai wanita cantik itu bangun. "Baringkan dulu anak kita," bisik Sebastian mengambil Tiana dari gendongan istrinya. Shela hanya diam dan mengusap wajahnya pelan. Ekor matanya melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Kau sudah makan?" tanya Sebastian merangkul pundak Shela. "Sudah, Adam membelikan aku nasi. Aku tidak mungkin keluar kalau kondisi Tiana sedang seperti ini, kan?" Laki-laki itu terdiam, dia mengangguk. Sebastian mengulurkan tanga
Sebastian siang ini bertemu dengan Gavin dan juga sepupu perempuan sahabatnya tersebut, yang akan melamar menjadi asisten pribadi Sebastian di kantor. Begitu pintu ruangan CEO terbuka, muncullah seorang gadis cantik berambut pendek sepundak, tersenyum manis, daan memberikan hormat padanya. "Selamat pagi, Pak Sebastian," sapa gadis itu. "Selamat pagi, silakan duduk," balas Sebastian meminta gadis itu duduk. Sebastian membaca surat lamaran pekerjaan milik gadis itu. Meskipun tidak membacanya secara rinci, Sebastian tahu betul kalau gadis ini satu rumah dengan Gavin, sahabat Sebastian. "Aku pikir kau masih kuliah, Pricila," ujar Sebastian menutup surat lamaran pekerjaan di tangannya. "Saya sudah tamat kuliah satu tahun yang lalu, Pak. Jadi... Saya ingin bekerja di sini," jawab gadis cantik bernama Pricila, tersebut. Sebastian mengangguk. "Gavin sudah menjelaskan semua tugasmu, kan?" tanya Sebastian pada gadis itu. "Sudah Pak. Jangan khawatir, Kak Gavin sudah menjelaskan semuanya.
"Adam, aku numpang pulang ya... Kalau aku naik taksi takut terlalu sore, kasihan Tiana." Shela menatap Adam yang kini berjalan di depannya menuju ke arah parkiran mobil di depan gedung rumah sakit. "Iya Shela, tenang saja. Ayo masuk," ajak Adam membuka pintu mobil untuk Shela. Baru saja Shela hendak masuk, dia melihat mobil Sebastian datang. Suaminya itu muncul dan langsung berjalan keluar mendekati Shela. Sebastian tidak sendiri, dia bersama seorang perempuan cantik berambut sebahu yang kini berdiri di belakang Sebastian. "Sayang, maaf aku terlambat. Aku baru saja selesai meeting di luar," ujar laki-laki itu menjelaskan. Tatapan mata Sebastian bertemu dengan Adam. Sebastian hendak meraih tas besar di tangan Sebastian, namun Shela menahannya. Mata Shela dengan sorot lelah, belum lagi Sebastian datang dengan seorang wanita. Dia kini tahu, jadi ini asisten barunya, mungkin Sebastian akan lebih betah lagi di kantornya. "Tidak perlu, aku bisa pulang dengan Adam. Kau bisa lanjutkan
Pagi-pagi sekali di rumah Shela kedatangan Pricila, gadis itu datang atas perintah sang Boss. Sebastian yang memintanya datang untuk mengerjakan beberapa tugas, lantaran Sebastian tidak pergi ke kantor hari ini. Tiana terus lengket padanya sejak pagi, Sebastian pun mengalah demi putrinya yang baru saja sembuh. Bahkan dua anak kembar laki-lakinya juga ada di rumah. "Tante-tante genit itu siapa sih, Mi? Kok ngobrol sama Papi?" tanya Tiano memperhatikan Pricila dari arah ruang makan. "Cara ngomongnya genit amat, awas saja sampai Papi kena rayuannya, habis sama kita!" sinis Tino dengan kedua alis bertaut. Shela tersenyum dengan tingkah posesif mereka berdua. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Dia Tante Pricila, asisten Papi di kantor," jelasnya pada dua buah hatinya. "Mami lihat deh, dia genit sama Papi. Usir gih Mam, kita tidak suka!" seru Tino berkacak pinggang. "Sudah, sudah... Kalian lanjutkan saja sarapannya." Shela mengusap pucuk kepala dua anak laki-laki itu. Rasanya, Tino tidak a
Tiano yang ikut dengan Sebastian bertemu dengan beberapa rekannya. Namun di rumah makan mewah di mana mereka datang ada seseorang yang sangat tidak disukai oleh Tiano. Genggaman tangan Tiano di jari telunjuk Sebastian semakin erat. "Papi, gendong!" pintanya dengan memaksa. "Gendong... Tiano mau gendong!" pekik anak itu. "Kenapa malah gendong, Sayang. Itu teman-teman Papi ada di sana semua," ujar Sebastian menggendong Tiano dan berjalan ke meja mendekati rekannya. Dan kedatangan Sebastian disambut baik oleh mereka semua. Terutama Vir dan Gavin yang senang karena satu dari anak kembar Sebastian ikut. "Selamat datang, Boss kecil!" Vir menggoda Tiano seperti biasa. "Om, Om... Kok Tante itu diajak sih?! Dia genit ke Papiku, tahu!" pekik Tiano menunjuk ke arah Pricila. Saat itu juga Vir dan Gavin menoleh. Tiano memasang wajah marah dan tak suka pada wanita itu, sangat-sangat tidak suka. "Jangan begitu, Tiano..." Sebastian memperingati. "Putra Pak Sebastian lucu sekali," ujar rekan