"Ck! Shela pasti mengomeliku! Gara-gara Vir sialan!" Sebastian mengumpat seraya melangkah melewati lorong rumah sakit.Pasalnya dia terlambat pulang hingga pukul delapan malam. Ada hal penting di kantornya yang membuat Sebastian harus mati-matian kerja dua kali.Sebastian membuka pintu rawat inap Tiana, di dalam sana dia melihat Shela yang duduk memeluk Tiana seraya tertidur. "Ya ampun, Sayang," lirih Sebastian menutup pintu. Laki-laki itu melangkah mendekat, ia mengusap pucuk kepala Shela dan mengecup pipi istrinya sampai wanita cantik itu bangun. "Baringkan dulu anak kita," bisik Sebastian mengambil Tiana dari gendongan istrinya. Shela hanya diam dan mengusap wajahnya pelan. Ekor matanya melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Kau sudah makan?" tanya Sebastian merangkul pundak Shela. "Sudah, Adam membelikan aku nasi. Aku tidak mungkin keluar kalau kondisi Tiana sedang seperti ini, kan?" Laki-laki itu terdiam, dia mengangguk. Sebastian mengulurkan tanga
Sebastian siang ini bertemu dengan Gavin dan juga sepupu perempuan sahabatnya tersebut, yang akan melamar menjadi asisten pribadi Sebastian di kantor. Begitu pintu ruangan CEO terbuka, muncullah seorang gadis cantik berambut pendek sepundak, tersenyum manis, daan memberikan hormat padanya. "Selamat pagi, Pak Sebastian," sapa gadis itu. "Selamat pagi, silakan duduk," balas Sebastian meminta gadis itu duduk. Sebastian membaca surat lamaran pekerjaan milik gadis itu. Meskipun tidak membacanya secara rinci, Sebastian tahu betul kalau gadis ini satu rumah dengan Gavin, sahabat Sebastian. "Aku pikir kau masih kuliah, Pricila," ujar Sebastian menutup surat lamaran pekerjaan di tangannya. "Saya sudah tamat kuliah satu tahun yang lalu, Pak. Jadi... Saya ingin bekerja di sini," jawab gadis cantik bernama Pricila, tersebut. Sebastian mengangguk. "Gavin sudah menjelaskan semua tugasmu, kan?" tanya Sebastian pada gadis itu. "Sudah Pak. Jangan khawatir, Kak Gavin sudah menjelaskan semuanya.
"Adam, aku numpang pulang ya... Kalau aku naik taksi takut terlalu sore, kasihan Tiana." Shela menatap Adam yang kini berjalan di depannya menuju ke arah parkiran mobil di depan gedung rumah sakit. "Iya Shela, tenang saja. Ayo masuk," ajak Adam membuka pintu mobil untuk Shela. Baru saja Shela hendak masuk, dia melihat mobil Sebastian datang. Suaminya itu muncul dan langsung berjalan keluar mendekati Shela. Sebastian tidak sendiri, dia bersama seorang perempuan cantik berambut sebahu yang kini berdiri di belakang Sebastian. "Sayang, maaf aku terlambat. Aku baru saja selesai meeting di luar," ujar laki-laki itu menjelaskan. Tatapan mata Sebastian bertemu dengan Adam. Sebastian hendak meraih tas besar di tangan Sebastian, namun Shela menahannya. Mata Shela dengan sorot lelah, belum lagi Sebastian datang dengan seorang wanita. Dia kini tahu, jadi ini asisten barunya, mungkin Sebastian akan lebih betah lagi di kantornya. "Tidak perlu, aku bisa pulang dengan Adam. Kau bisa lanjutkan
Pagi-pagi sekali di rumah Shela kedatangan Pricila, gadis itu datang atas perintah sang Boss. Sebastian yang memintanya datang untuk mengerjakan beberapa tugas, lantaran Sebastian tidak pergi ke kantor hari ini. Tiana terus lengket padanya sejak pagi, Sebastian pun mengalah demi putrinya yang baru saja sembuh. Bahkan dua anak kembar laki-lakinya juga ada di rumah. "Tante-tante genit itu siapa sih, Mi? Kok ngobrol sama Papi?" tanya Tiano memperhatikan Pricila dari arah ruang makan. "Cara ngomongnya genit amat, awas saja sampai Papi kena rayuannya, habis sama kita!" sinis Tino dengan kedua alis bertaut. Shela tersenyum dengan tingkah posesif mereka berdua. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Dia Tante Pricila, asisten Papi di kantor," jelasnya pada dua buah hatinya. "Mami lihat deh, dia genit sama Papi. Usir gih Mam, kita tidak suka!" seru Tino berkacak pinggang. "Sudah, sudah... Kalian lanjutkan saja sarapannya." Shela mengusap pucuk kepala dua anak laki-laki itu. Rasanya, Tino tidak a
Tiano yang ikut dengan Sebastian bertemu dengan beberapa rekannya. Namun di rumah makan mewah di mana mereka datang ada seseorang yang sangat tidak disukai oleh Tiano. Genggaman tangan Tiano di jari telunjuk Sebastian semakin erat. "Papi, gendong!" pintanya dengan memaksa. "Gendong... Tiano mau gendong!" pekik anak itu. "Kenapa malah gendong, Sayang. Itu teman-teman Papi ada di sana semua," ujar Sebastian menggendong Tiano dan berjalan ke meja mendekati rekannya. Dan kedatangan Sebastian disambut baik oleh mereka semua. Terutama Vir dan Gavin yang senang karena satu dari anak kembar Sebastian ikut. "Selamat datang, Boss kecil!" Vir menggoda Tiano seperti biasa. "Om, Om... Kok Tante itu diajak sih?! Dia genit ke Papiku, tahu!" pekik Tiano menunjuk ke arah Pricila. Saat itu juga Vir dan Gavin menoleh. Tiano memasang wajah marah dan tak suka pada wanita itu, sangat-sangat tidak suka. "Jangan begitu, Tiano..." Sebastian memperingati. "Putra Pak Sebastian lucu sekali," ujar rekan
Shela terlelap dengan pelukan erat Sebastian melilit pinggangnya. Suara dentingan ponsel di meja membuat kedua mata Shela terbuka. Wanita itu meraih ponsel milik Sebastian di atas meja, ada nama Pricila di sana. Shela lantas meraih ponsel itu cepat. 'Selamat pagi Pak Sebastian, sudah bangun, belum? Nanti sarapan di kantor ya Pak, saya buatkan sarapan buat Bapak.' Kedua mata Shela mengerjap, dia menoleh ke belakang menatap wajah tampan suaminya yang masih terlelap. "Wanita ini, berani sekali dia," gumam Shela. Shela pun tersenyum smirk membalas pesan itu. 'Apa kau tidak tahu ini masih gelap! Antusias sekali kau membuatkan sarapan! Masakan Istriku jauh lebih enak, maaf... Kau makan sendiri saja!' Balasan itu rupanya cepat sekali dibaca, Shela kini tidak salah, dia ternyata kini punya musuh baru. 'Bapak kenapa sih, saya hanya perhatian pada Bapak saja. Tidak pada laki-laki lain, pak...' "Wanita brengsek!" umpat Shela saat itu juga. Sebastian pun langsung terbangun karena pekika
"Papi tidak bekerja ya? Papi libur?" Tino mengejar Sebastian yang kini berjalan menuju ruangan kerjanya. Dua anak laki-lakinya menjadi sangat posesif mengikuti ke manapun Sebastian pergi. "Papi kerja dari rumah, Sayang. Kalau ada meeting baru Papi pergi," jawab Sebastian seraya menatap dua anaknya. "Kenapa tidak dari dulu-dulu saja, Papi! Kasihan Mami tahu kalau di rumah sendiri, Tino sama Tiano sekolah, Tiana juga ikut kita. Terus Mami sendirian di rumah, pasti kesepian.""Kalau malam pun Papi juga suka pulang larut. Seperti itu katanya sayang sama Mami!" sinis Tino duduk di sofa yang berada di dekat jendela ruang kerja Papinya. Sebastian berdecak kecil mendengar seruan Tino. Kedua anak itu sibuk bermain di dalam ruangan itu, Sebastian sama sekali tidak keberatan. Mungkin awalnya dulu dia terganggu dengan tawa dan keramaian anak-anaknya, tapi kini saat rumah sepi dia malah tidak nyaman. "Mami di mana, Sayang?" tanya Sebastian pada Tino dan Tiano. "Mami sedang sama Adik Tiana,
Sebastian duduk di dalam kamar menemani Tiana. Putrinya sudah tidur dan Tino yang sejak tadi menemaninya pun sampai ikut tertidur. Kini dia menyadari Shela yang tak ada di sana. Sebastian mengusap wajahnya pelan, dia menatap Tiana yang wajahnya sembab dan tangannya yang ia bungkus perban kecil. "Di mana Shela?" gumam lirih Sebastian. Laki-laki itu melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Di sana, Sebastian melihat Tiano main sendirian di rumah tengah. Sedangkan di sofa, ada Shela berbaring, dia tertidur. Sebastian hendak mendekati Shela, namun tiba-tiba saja Tiano berlari memeluk Shela dan memberikan tatapan dingin padanya. "Mau apa deketin Mamiku!" sentak Tiano dengan berani. Kedua mata anak itu memerah, tangannya gemetar memegang mainan dinosaurus miliknya. "Sayang, Papi-""Sana... Jangan dekati Mami! Paman bukan Papiku!" pekik Tiano, anak itu menangis. Sebastian merasakan kakinya lemas, kenapa pula Tiano marah sampai seperti ini kepadanya?Setelah melihat Maminya menangis
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut