"Mau apa sih ke sini terus! Pulang sana Tante! Pulang... Hihhh bandel banget sih, Tante Ulat Bulu!" "Pergi! Kita tidak suka Tante! Pergi sana!" Teriakan keras Tino dan Tiano di teras membuat Shela langsung berlari ke depan seraya menggendong Tiana. Benar sekali, di depan ada Pricila yang berdiri membawakan beberapa paper bag makanan di tangannya. "Sayang... Ada apa?!" pekik Shela berlari ke depan. "Ini Mami, ada Tante ini! Tino tidak suka!" "Tiano juga, Tante Ulat Bulu ini genit sama Papi!" teriak Tiano kesal. Shela menurunkan Tiana di belakangnya, dia juga menarik lengan si kembar dan membawa dua buah hatinya bersembunyi di belakang tubuh Shela. Pricila menatap Shela sembari tersenyum manis. "Anak-anak yang sopan sekali ya, Nyonya Shela." Wajah Shela menjadi sangat kaku dan ekspresi berubah marah. "Anakku adalah anak yang pintar, bisa membedakan mana manusia baik dan mana manusia murahan sepertimu!" tekan Shela menatap sengit Pricila. "Mami jangan dekat-dekat," lirih Tian
Di dalam kamar inap, Shela sendirian ditemani Tino dan Tiano yang tengah menjaga Tiana. Dia tidak mau Sebastian masuk ke dalam sana. Melihat wajah laki-laki itu, Shela semakin benci padanya. Karenanya, Tiana kembali masuk rumah sakit, untunglah tulang hidungnya baik-baik saja. Tapi kondisinya saat ini membawa Shela sangat terpuruk. "Mami... Sakit," lirih Tiana memeluk leher Shela. "Iya Sayang, sabar ya nak. Nanti pasti sembuh kok," bisik Shela mengecupi pipi Tiana. Anak itu meringkuk memeluk leher Shela, sementara Tino dan Tiano tidur di sofa. Mereka juga menolak Stevani dan Ferdi, sama sekali tidak mau disentuh oleh siapapun. "Kalau Tiana sudah sembuh, kita pergi jalan-jalan berempat sama Kakak ya, Sayang," bisik Shela mengusap wajah Tiana. "Iya, Papi ditinggal ya, Mam," lirihnya memainkan pipi Shela. Dan Shela tersenyum begitu Tiana tidak lagi menangis. Anak itu memejamkan kedua matanya dan Shela mengulurkan tangannya mengusap-usapnya lembut wajah sang putri. 'Apapun keputus
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Shela berada di sebuah stasiun bersama dengan Adam yang mengantarkannya. Shela menggendong Tiana dengan sebuah gendongan. Sedangkan di samping kanan dan kirinya ada Tino dan Tiano yang kesenangan diajak pergi. "Kau sudah ada alamatnya kan?" tanya Adam mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Shela dan merapikan mantel hangat yang Shela pakai. Wajah datar wanita cantik itu membuat Adam merasa amat kasihan padanya, tak tega kalau Shela harus pergi. "Sudah. Mereka bilang aku tidak perlu membawa banyak barang, cukup pakaian anak-anak saja," jawab Shela tersenyum manis. "Byee Om! Kita berempat mau jalan-jalan naik kereta! Tanpa Papi..." "Soalnya Papi nakal sih, Papi buat Mami kita nangis terus. Jadinya ditinggal jalan-jalan, biar tahu rasa!" Tino bersorak kesenangan. Anak-anak itu tersenyum lebar melihat gerbong-gerbong kereta panjang. Mereka berpikir akan liburan, tapi tidak begitu yang Shela pikirkan. Saat matahari sudah sedikit memancarkan s
Portsmouth, Inggris. Kereta api berhenti di stasiun kota Portsmouth. Shela menggiring ketiga anaknya turun, mereka berempat berjalan bergandengan tangan bersama. Di kembar nampak kelelahan karena perjalanan yang memakan cukup banyak waktu. "Hahhh... Capeknya! Akhirnya berhenti juga," ujar Tino, dia menarik lengan Tiana dan diajak duduk di sebuah bangku kayu panjang. "Mami, Tiano, duduk sini!" pekik Tiana memanggil Mama dan kembarannya. Shela mendekati mereka, ia kini menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari seseorang. Dia berharap orang itu sungguh akan menjemputnya. Shela menatap wajah lelah ketiga anaknya yang kasihan. "Mana dia? Katanya akan menjemputku di stasiun," gumam Shela memasang wajah cemas dan sedih. "Mami nungguin siapa?" tanya Tino, dia turun dari bangku kayu dan ikut menoleh ke kanan, ke kiri. Sampai akhirnya seorang wanita dengan pakaian dress panjang memakai topi lebar, dia berjalan mendekati Shela dan si kembar. "Nyonya Shela," sapa seorang perempuan itu.
Tiga hari berjalan dengan sangat kacau dan kaku. Tiada hari tanpa gelisah dan gila, ya! Seorang Sebastian Morgan Larsen, kini sudah gila. Ditemani oleh Ferdi, Sebastian duduk di sofa ruang keluarga rumahnya. Dan mainan milik si kembar Sebastian biarkan di tempatnya, boneka milik Tiana, ia melarang satu pun pembantunya untuk merapikan barang-barang itu, atau dia bisa sangat marah. "Kali ini aku juga tidak tahu di mana Shela, Bas... Aku sungguh tidak tahu." Ferdi memijit pelipisnya. "Stevani juga menangis siang dan malam, aku juga sama kehilangannya seperti dirimu." Sebastian mengusap wajahnya. "Sebelumnya dia meminta bercerai, kami tidak pernah ada damainya beberapa minggu ini," ungkap Sebastian pada Papa mertuanya. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Sebastian. Dia tertawa tiba-tiba, suasana menjadi sangat kacau, Ferdi tahu betul seperti apa Sebastian mencintai Shela. Sebastian tertawa sumbang seperti menertawakan keadaan yang tengah melandanya kini. "Shela itu bodoh! Bodo
Shela sudah mencarikan sekolah baru untuk si kembar setelah hampir dua Minggu tinggal di sana, dan beruntunglah ia dengan keberadaan sekolah anak-anaknya yang berdada tepat di depan gerbang pekarangan vila tempat dia tinggal. Dan hari ini adalah hari pertama mereka bersekolah, rupanya Tiana, Tino dan Tiano juga tidak kesusahan mencari teman. Shela akan berfokus pada kehidupannya sehari-hari, tanpa Sebastian. "Jangan nakal kalau di sekolah, ingat kalau ini sekolah baru, jangan membuat kekacauan, paham!" Shela memperingati ketiga anaknya. "Iya Mami, siap!" pekik Tino mengacungkan jempolnya. "Nanti kalau sudah pulang kita jalan-jalan, ya Mami..." Tiana menarik-narik lengan Shela. "Iya Sayangku. Nanti jalan-jalan ke pantai, mau kan?!" "Mau sekali!" Tiano dan Tino bersama bersorak. Shela tersenyum manis, dia menekuk kedua lututnya di hadapan mereka bertiga. Anak-anak itu nampak lucu dengan seragam barunya berwarna biru. Wajah Tino dan Tiano mengingatkan Shela pada Sebastian, tapi S
Sebastian pulang pukul sebelas malam, dia turun dari dalam mobilnya dan menatap pintu rumah yang terbuka. Kedua matanya melebar dengan pemandangan di depan sana. Sesuatu berdebar di dada laki-laki itu berharap di dalam sana, istrinya datang bersama ketiga anaknya. "Shela... Dia pulang?!" seru Sebastian berjalan cepat menaiki anak tangga teras. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah, napasnya tercepat ketika bukan Shela ataupun anaknya yang dia temukan, melainkan Mama dan Papanya yang kini duduk di ruang tamu menatapnya dengan tatapan tajam. "Baru pulang?!" Graham berdiri dari duduknya dengan tatapan marah. Sebastian diam dan tubuhnya kembali merasa lemas. Dia duduk tanpa menunjukkan ekspresi bersemangat sama sekali, kedatangan kedua orang tuanya hanya akan menambah rasa pusing dan pening saja. "Di mana Shela, Sebastian?!" tanya Monica menatap sang putra. "Aku tidak tahu," jawab Sebastian terdengar tak acuh dan frustrasi. "Pantas saja istrimu tidak pergi meninggalkanmu, jam segini
"Kalian harus belajar yang pintar, bekalnya jangan lupa dihabiskan. Tino dan Tiano jangan lari-larian ya!" Shela membungkukkan badannya di hadapan ketiga buah hatinya dan menasihati mereka untuk tidak banyak ulah di sekolah. Si kembar menganggukkan kepalanya patuh. "Iya Mami. Nanti kalau pulang sekolah kita jalan-jalan ke pantai!" seru Tino memegangi tangan Shela. "Tentu saja, Mami kan sudah janji!" Shela memeluk mereka bertiga. "Byee Mamiku...!" Tiano menggandeng tangan Tiana dan mereka berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah. Shela merasa senang dengan mereka bertiga yang setiap harinya selalu bersemangat. Dia berdiri dan tersenyum manis melambaikan tangannya pada si kembar."Mereka anak baru ya? Kembar tiga..." "Dia pemilik vila di depan sana, penjual bunga. Tapi... Tidak punya suami." "Semuda itu anaknya sudah berusia lima tahun, berusia berapa dia hamil dulu? Pasti hamil di luar pernikahan..." "Sekalipun menikah, kalau masih muda dan labil pasti akan dicampakkan!" Suara
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut