"Kalian harus belajar yang pintar, bekalnya jangan lupa dihabiskan. Tino dan Tiano jangan lari-larian ya!" Shela membungkukkan badannya di hadapan ketiga buah hatinya dan menasihati mereka untuk tidak banyak ulah di sekolah. Si kembar menganggukkan kepalanya patuh. "Iya Mami. Nanti kalau pulang sekolah kita jalan-jalan ke pantai!" seru Tino memegangi tangan Shela. "Tentu saja, Mami kan sudah janji!" Shela memeluk mereka bertiga. "Byee Mamiku...!" Tiano menggandeng tangan Tiana dan mereka berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah. Shela merasa senang dengan mereka bertiga yang setiap harinya selalu bersemangat. Dia berdiri dan tersenyum manis melambaikan tangannya pada si kembar."Mereka anak baru ya? Kembar tiga..." "Dia pemilik vila di depan sana, penjual bunga. Tapi... Tidak punya suami." "Semuda itu anaknya sudah berusia lima tahun, berusia berapa dia hamil dulu? Pasti hamil di luar pernikahan..." "Sekalipun menikah, kalau masih muda dan labil pasti akan dicampakkan!" Suara
Sebastian sampai di Portsmouth, namun kota itu juga sangat luas. Mungkin penjual bunga juga ada di mana-mana di kota tersebut. Dia tidak tahu harus memulai mencari Shela di mana, namun Sebastian tidak akan berhenti mencari istrinya, bahkan sampai kapanpun. "Menarik... Kau tahu kita harus mulai mencari dari mana?" tanya Vir memperhatikan Sebastian yang kini berdiri di depan mobilnya. Sebastian menoleh, dia mengembuskan napasnya pelan. "Kalau kau tidak ingin menemaniku, kau bisa kembali ke penginapan. Aku akan mencari Shela sendiri," ujarnya. "Hah, yang benar saja! Tidak, tidak, aku ikut denganmu!" Vir bersikeras lagi. Sebastian pun kembali masuk ke dalam mobil dan mengemudi, sedangkan Vir mencoba menghubungi rekan Sebastian yang kapan hari mengatakan bertemu dengan Shela di Portsmouth. Meskipun tak yakin, namun tidak berhenti Sebastian untuk terus berusaha. Dia akan tetap mencari sampai bertemu. "Tuan Sander bertemu di restoran Roka, di ujung jalan di dekat hotel, tempat yang t
Setelah sekian lama, Sebastian datang ke Prancis untuk kepentingan kantornya. Laki-laki itu menyempatkan waktunya untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Beberapa waktu yang lalu mereka sempat ribut persoalan Shela, tapi kini Sebastian juga kembali ke rumahnya sekedar untuk memenuhi panggilan sang Papa."Tuan Muda..." Seorang pelayan laki-laki menyambut kedatangan Sebastian. "Di mana Mama dan Papa?" tanya Sebastian kini berjalan menuju ruang keluarga di rumah megahnya. "Tuan besar masih di kantor, kalau Nyonya sedang ke mall membeli mainan," jawab Paman Griss. "Mainan?" Sebastian mengerutkan keningnya. "Benar Tuan." Sebastian terdiam sejenak, dia melangkah masuk ke dalam ruangan kerja sang Mama. Di sana, Sebastian menemukan banyak sekali barang anak-anak di dalam sebuah box besar yang tengah dikemasi. Sebastian meraih sebuah boneka ikan paus. Boneka kesukaan Tiana. "Paman Griss, untuk apa mainan ini semua?" tanya Sebastian pada laki-laki yang kini membuka gorden panjang di ruan
Shela mencari tempat yang aman bersama dengan Vir, ia menceritakan segalanya pada laki-laki, sekaligus sahabat suaminya itu. Vir pun sadar dan kini tidak lagi menyalahkan kenapa sampai Shela pergi. "Tolong, aku sungguh minta tolong padamu jangan mengatakan pada Sebastian tentang keberadaanku di sini Vir," pinta Shela menatapnya dengan tatapan meminta. "Aku... Aku tidak mau kalau Sebastian mendatangiku." "Tapi kau tidak tahu seberapa kacanya dia, Shela..." "Dia juga tidak peduli seberapa kacaunya aku!" pekik Shela menangis di dalam sebuah lorong itu. Vir mengangguk pelan, dia memberikan sapu tangannya pada Shela. Laki-laki itu tersenyum tipis dan menatap Shela lekat-lekat. "Sebastian tidak ada di sini, hanya aku saja yang di sini mengurus proyek, jangan takut dan jangan khawatir... Dia juga hanya fokus mencarimu di Birmingham," ujar Vir, jelas saja si sekutu Sebastian ini sedang berbohong. Shela tertunduk dan meremas jemarinya. Vir mengusap pucuk kepala Shela dengan lembut. "Se
Keesokan harinya pun sama, Shela mendapatkan pesan dari nomor yang sama dengan membeli bunga dan kali ini meminta Shela mengantarkan ke pantai. Shela trauma dengan malam kemarin, namun orang itu lebih dulu mengirimkan uangnya. "Awas saja kalau dia tidak datang!" umpat Shela seraya mengikat rambut panjangnya. "Loh, Shela mau ke mana?" tanya Monica, wanita itu menatapnya. "Mama siang ini mau pulang, masak Shela mau pergi..." "Itu Ma, orang yang memesan bunga kemarin menghubungi Shela lagi. Dia membeli lagi, kali ini meminta Shela mengantarkan di dekat pantai. Dia sudah membayar lebih dulu, selalu seperti itu! Nanti dia tidak datang!" kesalnya dengan nada geram. "Ya sudah, datangi saja dulu. Siapa tahu kali ini orangnya benar-benar muncul. Biar Mama yang menjaga si kembar," ujar Monica. Dengan wajah sedikit kesal dan bibir cemberut, Shela membawa sepedanya pergi ke tempat yang diminta oleh pembeli bunganya. Dulu Shela juga pernah mengalami hal semacam ini saat masih berjualan roti
"Mami... Ada paket, banyak sekali!" "Mungkin hadiah dari Oma ketinggalan!" Si kembar dan Shela terkejut saat menerima sebuah kotak hadiah entah dari siapa yang ditaruh di depan rumahnya. Tak ada yang tahu siapa yang mengirim dan mengantarkannya. "Ini semuanya buat Mami," ujar Tiano. "Iya. Semuanya hanya ada tulisan 'untuk Shela' bukan buat kembar!" seru Tino membaca kartu ucapan di atas lima kotak tersebut. "Sekarang dibawa masuk saja, kita buka di dalam, yuk," ajak Bi Molly pada si kembar. "Emm, iya!" Anak-anak ikut membantu Shela membawa kotak-kotak hadiah itu. Shela sendiri diam berdiri di teras mencari-cari. Sungguh akhir-akhir ini sangat aneh dalam hidupnya. Seseorang mengirimkan hadiah sebanyak ini tanpa tahu siapa mereka. Sudah jelas-jelas keberadaan Shela di sini pun hanya Monica yang mengetahuinya, dan Vir... Laki-laki itu berjanji untuk tidak memberitahu Sebastian tentang dirinya. "Siapa... Apa mungkin Sebastian? Tapi mengapa? Mengapa dia tidak langsung menemuiku k
Sebastian berhasil memenangkan Shela malam itu. Dan dia hanya meminta satu hal kecil pada Shela, Sebastian hanya ingin bertemu dengan si kembar. Shela tidak sejahat itu untuk tidak memenuhi keinginannya, dia mengajak Sebastian pulang ke vila dan mempertemukan dengan si kembar. Tapi anak-anak itu seperti melihat musuhnya saat tahu siapa yang datang bersama Maminya. "Mami kok ketemu sama Papi sih, Tino kan tidak suka!" Tino memprotes Shela dan menatap marah pada sang Mama. Shela menyeka sisa air matanya. "Papi ingin bertemu dengan kalian. Ayo... Temui Papi di depan," bujuk Shela pada mereka. "Tidak mau. Tiana tidak mau, Tiana mau sembunyi saja!" pekik Tiana menarik-narik lengan Shela dan seperti biasa kalau anak itu memberontak dan menolak. "Jangan seperti itu, Sayang. Ayo sama Mami yuk," bujuk Shela pada putri kecilnya. Dengan bibir mencebik, mereka bertiga berjalan ke depan dan menemui Sebastian yang kini berada di ruang tamu. Laki-laki itu langsung berdiri begitu ketiga buah
"Papi pulang deh, tidak usah ikut nginap di vila kita. Pulang Pi..." Tino dibantu kembarannya mendorong-dorong Sebastian saat laki-laki itu hendak masuk ke dalam rumah. "Kembar," ucap Shela menatap dua putranya dengan tatapan memberi peringatan. "Ah Mami, setelah marah-marah sama Papi sekarang kita yang dimusuhin!" Tiano berucap kesal. Shela tersenyum, dia memeluk tubuh kecil Tiano dan menggendongnya. Di dalam rumah itu sangat sepi, Bibi Molly nampaknya pun sudah beristirahat. Tiana sibuk digendongan Sebastian seraya memainkan boneka barunya. "Tiana mau bobo sama Mami, sama Pap-""TIDAK BOLEH!" teriakan kompak Tino dan Tiano membuat saudari kembarannya itu terjingkat. Bibir Tiana langsung mencebik kesal. Dia mengeratkan pelukannya pada sang Papi, sementara dua kembarannya bersikeras meminta Shela merebut Tiana dari Sebastian. "Ayo ambil Adik Tiana Mi... Ihhh Mami jangan gitu ih! Mami...!" "Kita bakal nangis bareng-bareng pokoknya kalau tidak tidur sama Tiana juga!" Sebastian