Shela terlelap dengan pelukan erat Sebastian melilit pinggangnya. Suara dentingan ponsel di meja membuat kedua mata Shela terbuka. Wanita itu meraih ponsel milik Sebastian di atas meja, ada nama Pricila di sana. Shela lantas meraih ponsel itu cepat. 'Selamat pagi Pak Sebastian, sudah bangun, belum? Nanti sarapan di kantor ya Pak, saya buatkan sarapan buat Bapak.' Kedua mata Shela mengerjap, dia menoleh ke belakang menatap wajah tampan suaminya yang masih terlelap. "Wanita ini, berani sekali dia," gumam Shela. Shela pun tersenyum smirk membalas pesan itu. 'Apa kau tidak tahu ini masih gelap! Antusias sekali kau membuatkan sarapan! Masakan Istriku jauh lebih enak, maaf... Kau makan sendiri saja!' Balasan itu rupanya cepat sekali dibaca, Shela kini tidak salah, dia ternyata kini punya musuh baru. 'Bapak kenapa sih, saya hanya perhatian pada Bapak saja. Tidak pada laki-laki lain, pak...' "Wanita brengsek!" umpat Shela saat itu juga. Sebastian pun langsung terbangun karena pekika
"Papi tidak bekerja ya? Papi libur?" Tino mengejar Sebastian yang kini berjalan menuju ruangan kerjanya. Dua anak laki-lakinya menjadi sangat posesif mengikuti ke manapun Sebastian pergi. "Papi kerja dari rumah, Sayang. Kalau ada meeting baru Papi pergi," jawab Sebastian seraya menatap dua anaknya. "Kenapa tidak dari dulu-dulu saja, Papi! Kasihan Mami tahu kalau di rumah sendiri, Tino sama Tiano sekolah, Tiana juga ikut kita. Terus Mami sendirian di rumah, pasti kesepian.""Kalau malam pun Papi juga suka pulang larut. Seperti itu katanya sayang sama Mami!" sinis Tino duduk di sofa yang berada di dekat jendela ruang kerja Papinya. Sebastian berdecak kecil mendengar seruan Tino. Kedua anak itu sibuk bermain di dalam ruangan itu, Sebastian sama sekali tidak keberatan. Mungkin awalnya dulu dia terganggu dengan tawa dan keramaian anak-anaknya, tapi kini saat rumah sepi dia malah tidak nyaman. "Mami di mana, Sayang?" tanya Sebastian pada Tino dan Tiano. "Mami sedang sama Adik Tiana,
Sebastian duduk di dalam kamar menemani Tiana. Putrinya sudah tidur dan Tino yang sejak tadi menemaninya pun sampai ikut tertidur. Kini dia menyadari Shela yang tak ada di sana. Sebastian mengusap wajahnya pelan, dia menatap Tiana yang wajahnya sembab dan tangannya yang ia bungkus perban kecil. "Di mana Shela?" gumam lirih Sebastian. Laki-laki itu melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Di sana, Sebastian melihat Tiano main sendirian di rumah tengah. Sedangkan di sofa, ada Shela berbaring, dia tertidur. Sebastian hendak mendekati Shela, namun tiba-tiba saja Tiano berlari memeluk Shela dan memberikan tatapan dingin padanya. "Mau apa deketin Mamiku!" sentak Tiano dengan berani. Kedua mata anak itu memerah, tangannya gemetar memegang mainan dinosaurus miliknya. "Sayang, Papi-""Sana... Jangan dekati Mami! Paman bukan Papiku!" pekik Tiano, anak itu menangis. Sebastian merasakan kakinya lemas, kenapa pula Tiano marah sampai seperti ini kepadanya?Setelah melihat Maminya menangis
"Mau apa sih ke sini terus! Pulang sana Tante! Pulang... Hihhh bandel banget sih, Tante Ulat Bulu!" "Pergi! Kita tidak suka Tante! Pergi sana!" Teriakan keras Tino dan Tiano di teras membuat Shela langsung berlari ke depan seraya menggendong Tiana. Benar sekali, di depan ada Pricila yang berdiri membawakan beberapa paper bag makanan di tangannya. "Sayang... Ada apa?!" pekik Shela berlari ke depan. "Ini Mami, ada Tante ini! Tino tidak suka!" "Tiano juga, Tante Ulat Bulu ini genit sama Papi!" teriak Tiano kesal. Shela menurunkan Tiana di belakangnya, dia juga menarik lengan si kembar dan membawa dua buah hatinya bersembunyi di belakang tubuh Shela. Pricila menatap Shela sembari tersenyum manis. "Anak-anak yang sopan sekali ya, Nyonya Shela." Wajah Shela menjadi sangat kaku dan ekspresi berubah marah. "Anakku adalah anak yang pintar, bisa membedakan mana manusia baik dan mana manusia murahan sepertimu!" tekan Shela menatap sengit Pricila. "Mami jangan dekat-dekat," lirih Tian
Di dalam kamar inap, Shela sendirian ditemani Tino dan Tiano yang tengah menjaga Tiana. Dia tidak mau Sebastian masuk ke dalam sana. Melihat wajah laki-laki itu, Shela semakin benci padanya. Karenanya, Tiana kembali masuk rumah sakit, untunglah tulang hidungnya baik-baik saja. Tapi kondisinya saat ini membawa Shela sangat terpuruk. "Mami... Sakit," lirih Tiana memeluk leher Shela. "Iya Sayang, sabar ya nak. Nanti pasti sembuh kok," bisik Shela mengecupi pipi Tiana. Anak itu meringkuk memeluk leher Shela, sementara Tino dan Tiano tidur di sofa. Mereka juga menolak Stevani dan Ferdi, sama sekali tidak mau disentuh oleh siapapun. "Kalau Tiana sudah sembuh, kita pergi jalan-jalan berempat sama Kakak ya, Sayang," bisik Shela mengusap wajah Tiana. "Iya, Papi ditinggal ya, Mam," lirihnya memainkan pipi Shela. Dan Shela tersenyum begitu Tiana tidak lagi menangis. Anak itu memejamkan kedua matanya dan Shela mengulurkan tangannya mengusap-usapnya lembut wajah sang putri. 'Apapun keputus
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Shela berada di sebuah stasiun bersama dengan Adam yang mengantarkannya. Shela menggendong Tiana dengan sebuah gendongan. Sedangkan di samping kanan dan kirinya ada Tino dan Tiano yang kesenangan diajak pergi. "Kau sudah ada alamatnya kan?" tanya Adam mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Shela dan merapikan mantel hangat yang Shela pakai. Wajah datar wanita cantik itu membuat Adam merasa amat kasihan padanya, tak tega kalau Shela harus pergi. "Sudah. Mereka bilang aku tidak perlu membawa banyak barang, cukup pakaian anak-anak saja," jawab Shela tersenyum manis. "Byee Om! Kita berempat mau jalan-jalan naik kereta! Tanpa Papi..." "Soalnya Papi nakal sih, Papi buat Mami kita nangis terus. Jadinya ditinggal jalan-jalan, biar tahu rasa!" Tino bersorak kesenangan. Anak-anak itu tersenyum lebar melihat gerbong-gerbong kereta panjang. Mereka berpikir akan liburan, tapi tidak begitu yang Shela pikirkan. Saat matahari sudah sedikit memancarkan s
Portsmouth, Inggris. Kereta api berhenti di stasiun kota Portsmouth. Shela menggiring ketiga anaknya turun, mereka berempat berjalan bergandengan tangan bersama. Di kembar nampak kelelahan karena perjalanan yang memakan cukup banyak waktu. "Hahhh... Capeknya! Akhirnya berhenti juga," ujar Tino, dia menarik lengan Tiana dan diajak duduk di sebuah bangku kayu panjang. "Mami, Tiano, duduk sini!" pekik Tiana memanggil Mama dan kembarannya. Shela mendekati mereka, ia kini menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari seseorang. Dia berharap orang itu sungguh akan menjemputnya. Shela menatap wajah lelah ketiga anaknya yang kasihan. "Mana dia? Katanya akan menjemputku di stasiun," gumam Shela memasang wajah cemas dan sedih. "Mami nungguin siapa?" tanya Tino, dia turun dari bangku kayu dan ikut menoleh ke kanan, ke kiri. Sampai akhirnya seorang wanita dengan pakaian dress panjang memakai topi lebar, dia berjalan mendekati Shela dan si kembar. "Nyonya Shela," sapa seorang perempuan itu.
Tiga hari berjalan dengan sangat kacau dan kaku. Tiada hari tanpa gelisah dan gila, ya! Seorang Sebastian Morgan Larsen, kini sudah gila. Ditemani oleh Ferdi, Sebastian duduk di sofa ruang keluarga rumahnya. Dan mainan milik si kembar Sebastian biarkan di tempatnya, boneka milik Tiana, ia melarang satu pun pembantunya untuk merapikan barang-barang itu, atau dia bisa sangat marah. "Kali ini aku juga tidak tahu di mana Shela, Bas... Aku sungguh tidak tahu." Ferdi memijit pelipisnya. "Stevani juga menangis siang dan malam, aku juga sama kehilangannya seperti dirimu." Sebastian mengusap wajahnya. "Sebelumnya dia meminta bercerai, kami tidak pernah ada damainya beberapa minggu ini," ungkap Sebastian pada Papa mertuanya. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Sebastian. Dia tertawa tiba-tiba, suasana menjadi sangat kacau, Ferdi tahu betul seperti apa Sebastian mencintai Shela. Sebastian tertawa sumbang seperti menertawakan keadaan yang tengah melandanya kini. "Shela itu bodoh! Bodo