Nisa tergopoh membawa setumpuk shopping bag hitam dengan barisan tulisan putih Ermenegildo Zegna. Ia mendorong terbuka pintu ruangan bosnya dengan punggung, berjalan mundur sambil memejamkan mata mengumpulkan keberanian.
"Tok-tok, ‘salamualaikum, plis jangan ngamuk dulu …," gumamnya penuh harap.
"Nisa! Kenapa kamu ‘iya’-kan?!" Gelegar Suara Bastian terdengar.
Glek! Wanita muda itu merapatkan kaki, meneguhkan niat, memupuk nyali untuk berhadapan dengan sang dewa petaka. Ia membalikkan badan, pelan.
"Mas …," pekiknya putus asa, melihat Tian sedang bersandar berlipat tangan di depan meja kerjanya. Mata Bastian seperti belati yang menusuk lurus ke arah asistennya, menuntut penjelasan. Kali ini Bastian benar-benar marah.
Nisa mati kutu.
"Maaf, saya nggak bisa nolak, Mas ... Bapak Cokro yang minta langsung …." Nisa mencoba menjelaskan sehati-hati mungkin, dengan pandangan terpaku ke arah lantai, malu-malu menabrak sepatu bosnya yang sedang murka.
"Kamu nggak bisa cari alasan?! Bilang saya keluar kota kek, ke Seattle kek, pulau Jeju, gunung Meru. Mana aja!"
"Maaf, Mas."
"Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan, Nisa??"
"Maaf ... Mas ...." Air di pelupuk mata Nisa mulai terasa berat.
"Saya nggak bisa mimpin Pandora kalau terus-terusan ditarik-tarik begini, Nis. Tolong kamu pahami kalau kita ini perusahaan mandiri, nggak masuk dalam Cokro Group. Kamu tau itu kan?"
"Maaf—"
"Mas Tian!" Suara lain memasuki ruangan itu, diikuti hentakan langkah stiletto berwarna kuning cerah. Sang empunya suara merangkul Nisa dari belakang.
"Mbak Git—?!"
"Jangan galak-galak sama asisten sendiri, ntar cepet tua. Dan Nisa, udah berapa kali dibilangin sih, Gita. G-I-T-A. Gak pake 'Mbak', aku ini masih kuliah!"
Lepas dari mulut singa, masuk mulut buaya. Nisa bagaikan mangsa yang diam pasrah disemprot dua predator sekaligus.
"Kok kamu bisa ada di sini?" Angkara murka Bastian Cokro terbendung sedikit oleh rasa kaget ketika melihat sosok manusia yang tak ia sangka: Brigita Cokro, sang adik semata wayang.
"Memangnya Bunda nggak bilang? Aku sakit."
"Sakit apa? Sakit jiwa?" Celetukan Tian itu disambut kejang perut Nisa yang menahan tawa.
Bukannya marah atau membalas perkataan Tian, Gita malah menjawab dengan gelagat aneh. Perempuan berdandanan galor itu memegang perut, berbalik badan lalu buru-buru keluar ruangan dengan air muka tak terbaca. Hentakan kakinya semakin cepat begitu keluar dari pintu ruangan Tian, membuat sang kakak beserta asistennya melongo tanpa kata.
"Oh iya, Mbak Gita kena diare, Mas." Nisa berkata setelah beberapa detik.
"Kamu tau dia balik dari Surabaya?" tanya Tian seketika. Pasalnya, Gita memang sedang menyelesaikan kuliah strata dua di kota pahlawan tersebut.
"Nggak yakin, Mas. Soalnya saya kira dia nggak sampe pulang. Orang cuma diare gitu, kan?" Nisa mengangkat bahu.
Tian menggeleng frustasi.
"Tambah satu lagi biang sakit kepala," erang lelaki itu sambil duduk di kursinya.
"Mas ... jadi ini gimana?" Nisa mengangkat belanjaan yang sedari tadi ia bawa, membuat Tian menatap sekilas sambil memicingkan mata.
"Taruh aja di situ," tunjuk Tian pasrah pada sofa panjang di sudut ruangan. Nisa melaksanakan perintah dengan tak kalah pasrah.
"Lain kali, tolong konfirmasi saya dulu kalau ada permintaan apa pun dari ayah atau ibu saya, mengerti?" Tian berkata serius, membuat Nisa berbalik sebentar untuk menyambut tatapan bosnya.
"Iya, Mas—"
"Loh, baju doang? Nggak ada sepatu??" Gita yang tiba-tiba muncul di tengah pintu membuat Nisa hampir mencelat karena kaget. Entah berapa kali kalimatnya harus terpotong dan jantungnya harus estafet hari ini.
"Nggak ada, Mbak. Ini pesanan Bapak, satu set suit sama dasi, kemeja, celana." Nisa menjawab sambil mengabsen isi tas itu satu-satu.
"Oh my God, gak pake 'Mbak'! Dan Tian, kamu butuh sepatu!"
"Mas Tian," ralat sang kakak, membenahi manner adiknya yang mulai gesrek.
"Dan nggak, nggak butuh sepatu lagi. Aku akan pakai apa yang aku pakai sekarang." Tian melanjutkan, membuat Gita berjalan mendekat demi memperhatikan alas kaki sang kakak.
Tampak sepasang loafers The Verrocchio Dress Shoe luncuran Bolvaint, merk asal Paris berwarna hitam legam seharga motor matic yang Gita ingat merupakan hadiah ulang tahun darinya.
"Oke, fair enough," putus gadis itu, menatap kakaknya yang beringsut tak nyaman di-judge secara tiba-tiba oleh fashion icon keluarga.
"Kita nggak punya banyak waktu. Nisa, kosongkan jadwal Tian sekarang juga—"
"MAS Tian!" erang Bastian.
"—dan segera panggil Ko Hen untuk benerin rambut Tian, bilangin kita ketemu di rumah 30 menit lagi." Gita melanjutkan dengan acuh,
Kerutan dahi Tian mengganda.
"Hah? Nggak bisa Git, habis ini aku bakal ada meeting—"
"Fine, suruh kesini juga nggak apa-apa. Laksanakan, Nisa!"
"B-baik Mbak." Nisa bangkit terburu-buru mendengar komando dari Gita.
"DAN NGGAK PAKE MBAK!" Teriakan nyaring Gita teredam oleh pintu ruangan yang tertutup di belakang Nisa.
"Kamu tau aku nggak mau berangkat ‘kan, Git?" Tian buka suara ketika keheningan mulai turun di ruangan ini.
"Tau. Tapi Mas nggak punya pilihan. Ayah-Bunda masih di Singapore sampai nanti malam, pesawat mereka delay. Pas mereka baru sampai, acaranya udah bubar. Yakali kakek-nenek ikut after party."
Tian menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangan.
"Booking tiket baru nggak bisa? Atau kamu aja deh yang berangkat, kamu juga pengen dateng, ‘kan?"
"Ayah nggak mau re-booking, Mas, ribet katanya. Kayaknya sih alesan doang biar bisa refreshing bareng Bunda. Dan ya, aku mau, tapi aku apa sih, Mas? Statusku kan Mahasiswa. Lagipula kalo nanti aku cepirit pas nerima award, gimana?"
“Hahahah.” Tian tertawa mendengar jawaban adiknya, sebelum akhirnya Gita melanjutkan.
"Nggak ada ceritanya putri istana jadi delegasi kerajaannya, Mas. Selalu putra mahkota yang datang. Mas ngerti, ‘kan?"
Tian menatap Gita sungguh-sungguh sebelum menjawab.
"Ya, tapi apa menurut kamu etis kalau Masmu ini datang mewakili Cokro Group di sana, yang mana nggak ada kaitannya sama sekali dengan perusahaan Mas, cuma karena status ... apa tadi? Putra mahkota?” Tian meringis. “Sementara, Mas sendiri punya Pandora di sini, Git. Media bakal nangkep gimana? Kalau suatu hari Pandora besar, apa Mas harus membelah badan untuk ngewakilin dua perusahaan sekaligus? Ini sama aja ngebunuh image perusahaan Mas sendiri, Git ...."
Gita memandang kakaknya dengan tatapan dalam.
"Aku ngerti. Jadi, solusinya gimana? Aku pake adult diaper aja, nih?"
Mereka berdua kembali tertawa seiring atmosfer mencair.
“Gimana kalo … Mas Tian nyamar aja? Pura-pura jadi orang lain, jadi pegawai biasa, bukan anggota keluarga Cokro. Gimana?” Mata Gita berbinar selagi bibir bergincunya memulutkan saran itu.
Bastian mengerutkan kening. “Apa?!”
**
Mitra Award. Penghargaan tahunan yang berfokus pada sektor ekonomi-bisnis. Sebuah acara yang wajib dihadiri oleh para delegasi perusahaan ternama tanah air untuk menyaksikan bagaimana kontribusinya memajukan ekonomi negara ini diapresiasi.
Di antara jajaran pelaku ekonomi dalam negeri itu, terdapat Cokro Group. Salah satu grup perusahaan terbesar di Jakarta.
Tian memang menyandang nama 'Cokro' pada KTP-nya, tapi sejak ia mentas menyandang status sarjana dan tak terikat lagi dengan pendidikan formal, Tian bersikukuh ingin berdikari, berdiri diatas kaki sendiri, tak mengandalkan pamor grup keluarga mereka.
Hal ini didukung penuh oleh kedua orang tuanya, walaupun dengan berat hati serta berbumbu sebersit harapan putra sulungnya itu dengan ajaib akan membuka hati untuk memimpin perusahaan warisan temurun keluarga mereka suatu hari nanti.
'Dia hanya kurang percaya diri saja kalau langsung megang induk perusahaan gigantis begini. Biarkan sajalah, bagus dia mencari pengalaman dulu.' Kurang lebih begitu simpul ayahnya, Imaniar Cokro.
Itu lah sebabnya Tian uring-uringan saat ia tau sang ayah memerintahkannya mewakili Cokro Group pada malam penghargaan Mitra tahun ini. Itu juga yang jadi penyebab dia mengamuk pada Nisa, asistennya, yang dengan patuh mengiyakan perintah Imaniar Cokro.
Tian sadar diri bahwa Pandora, perusahaan mungilnya yang baru menetas beberapa bulan ini, tak akan ada andil sama sekali dan mustahil masuk dalam list nominasi apa pun. Namun demikian, ia tak rela jika media menangkapnya sebagai 'penerus Cokro Group di masa depan' sebab ia petantang-petenteng muncul sebagai delegasi perusahaan keluarganya ini. Tian merasa integritasnya sedang dikudeta oleh sang Ayah.
Inikah cara halus untuk menobatkan putra mahkota? Sial.
**
Bastian melamun saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah pintu masuk gedung, di mana terdapat kerumunan manusia bagaikan semut mengerumuni timbunan gula—semut di sini adalah media, wartawan, dengan genggaman kamera serta flash-flash yang berkedip setiap detik, sahut menyahut memanggil nama orang-orang yang berpose untuk menoleh ke arah kamera mereka.Tian mendesah berat dari kursi belakang."Goodluck ya, Mas, semoga perusahaan kita nggak menang apa-apa tahun ini," bisik Gita yang duduk di sampingnya, memasangkan sepasang kacamata bundar di wajah Bastian seraya menyerukan harap yang membuat embusan napas Tian diwarnai tawa ringan.
Beberapa jam sebelumnya ...."Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?"Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award."Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer."Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan.
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih. Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da