Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi.
Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya.
‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya.
Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai.
"Loh, Eva? Tumben."
Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
"Siang, Pak Bram. Iya, saya disuruh mewakili Pak Adi." Eva menjawab sopan sambil duduk di salah satu kursi kosong, bersebelahan dengan wanita muda yang tidak dikenalnya.
"Kamu pasti kaget, disini isinya orang-orang baru semua." Pak Bram melanjutkan percakapan, membuat Eva menoleh memandangi seisi ruangan.
Pak Bramono benar, sekitar 40% wajah di sini tidak membangkitkan memori apapun di otak Eva.
"Iya, Pak." Eva menjawab seadanya.
"Sebenarnya ini program gabungan, Eva. Antara stasiun TV dan brand-brand yang menjadi sponsor utama."
‘Ahh ... brand. Sponsorship. Betul kan, bukan porsi gue,’ pikir Eva.
"Kebetulan karena kamu belum kenal, ini saya kenalkan. Yang di sebelah kamu itu namanya Nisa, asistennya bapak ini ...."
Pak Bram menunjuk pria di sebelah Nisa, yang duduk tepat di sebelah Pak Bram sendiri. Lelaki dengan hidung penuh, rahang kuat, dan badan tegap dibalut jas serta dasi satin merah tua sewarna wine.
"... eh, kok bapak. Mas ya, Mas Tian. Nah, Mas Tian dan Nisa ini adalah perwakilan dari brand Pandora, itu loh yang produknya ....."
Suara Pak Bram menguap ketika perhatian Eva terfokus pada Tian.
‘Mas Tian? Kenapa dipanggil Mas? Apa karena dia masih muda? Dia kelihatan muda, sih. Mungkin seumuran gue? Atau 30, maybe? Aduh, brewok tipisnya nggak nahan gitu ....’ Eva membatin tak tentu arah.
‘Ah, anjir! Gue bayangin apa, sih?!’ sadar Eva detik berikutnya.
Tiba-tiba, pria yang Eva perhatikan itu menoleh padanya, dan menyuguhkan senyum. Dapat Eva lihat sepasang lesung pipit yang timbul di sana. Bibirnya melekuk indah dan matanya diteduhi sepasang alis tebal. Eva terbeku beberapa detik sebelum membalas senyumannya, dan mengangguk sopan.
"... iya, Eva ini salah satu Broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu …!" Suara Pak Bram yang timbul membubarkan perhatian Eva.
Apa katanya?
"Loh ... enggak pak, waduh." Perempuan itu serabutan memungut suaranya, dan melihat respons Eva yang kocar-kacir, Pak Bram semakin on fire.
"Lho bener! Makanya hanya selang berapa tahun saja, skill dan pamornya Eva ini sudah setara dengan senior Broadcaster yang punya acara sendiri!"
Pipi Eva memanas. ‘Ada apa ini? Kok bosnya bos gue malah ngomporin gini di depan para petinggi Brand yang terhormat?!’
"Oh ya? Kalau nggak salah, Eva ini ... yang dapet award piala Mitra tahun lalu, ya?"
Suara itu berat, asing, dan berasal dari dua kursi disamping Eva. Pria itu--siapa tadi? Ah, Mas Tian..
"Ehmm—" Eva speechless.
"Ya benar! Itu!" Pak Bram menyahuti dengan semangat. Eva hanya bisa menanggapi dengan senyum beralaskan wajah yang memanas.
"Kalau begitu, saya senang bisa berkenalan, Eva. Semoga kita bisa terus bekerja sama kedepannya." Suara Tian ditujukan pada Eva, dan perempuan itu menelan ludah untuk membalasnya.
"Saya juga, Pak— em, Mas ...." Tanpa sadar, Eva menahan napas.
"Nah, kalau yang di sini, ini dari brand ...." Pak Bram melanjutkan kalimatnya, kali ini memperkenalkan orang-orang di sisi lain meja.
Tapi konsentrasi Eva menguap sudah. Perempuan itu tak lagi mendengarkan kata-kata Pak Bramono.
Eva yakin, ini semua karena perkataan Pak Bram tadi. Apa itu? Pujian? Promosi? Tapi buat apa? Apa ia ingin memamerkan pamor perusahaannya melalui Eva ... atau dia memang benar-benar tulus memujinya? Ah, terserahlah.
30 menit di ruangan ini berjalan lama bagi Eva, lebih lama dari 30 menit di ruangan-ruangan lainnya.
Benar saja, inti dari meeting ini adalah pembahasan yang berada diluar porsi Eva, dan jika diperhatikan, ini lebih seperti ajang menjalin koneksi antar brand dan perusahaan. Yah, wajar sih, mungkin karena ini adalah permulaan dari program kolaborasi yang masih dalam tahap perencanaan.
Sempat terselip sedikit perasaan bersalah di benak Eva, jika hal ini ternyata memang penting porsinya untuk Pak Adi.
Akhirnya, setelah diskusi panjang—dimana Eva hanya menjadi penonton saja—Pak Bram mengucapkan kalimat penutup yang sudah dinanti-nanti. Dengan persetujuan untuk pertemuan lanjutan, Pak Bram juga sempat menyarankan Eva untuk datang bersama Pak Adi pada meeting selanjutnya. Eva mengangguk saja.
Suasana kembali cair saat orang-orang bersiap untuk pergi, sesaat Eva memperhatikan Tian dan asistennya, Nisa, yang tampak sedang berdiskusi. Saat itu pula, perempuan itu merasakan getaran vibrasi dari dalam tasnya.
Eva merogoh ponselnya.
New message from Rizka:
[Ada apaan Va? Bisa kok, gue free sekarang. Kerumah aja sok.]
Napas Eva tertahan ketika ia mencelakai janjinya sendiri, yaitu untuk tidak mencampuri urusan pribadi di waktu bekerja. Buru-buru Eva menurunkan ponselnya.
"Mbak Eva? Halo, saya Nisa ...."
Perempuan muda yang duduk di samping Eva itu tiba-tiba berkata dan mengulurkan satu tangan, di mana tangan lainnya menggenggam catatan note.
Sambil perlahan mulai kembali sadar akan keadaan, Eva menyambut uluran tangan itu.
"Ya ... halo."
"Sebelumnya mohon maaf Mbak, jadi saya di sini mencatat seluruh kontak orang-orang yang terlibat dalam program ini, dan hanya kontak Mbak Eva saja yang saya belum ada."
Eva ber-ooh pelan sambil mengangguk mendengar penjelasan Nisa.
"Kalau Mbak Eva berkenan, boleh saya mencatat kontaknya, Mbak? Email, nomor handphone, atau kartu nama?"
Eva berkedip sesaat sambil memproses permintaan perempuan muda itu.
"Ohh, eh, jadi gini … Nisa, ya? Oke, jadi sebenarnya saya di sini hanya mewakili atasan saya saja, namanya Pak Adi. Dia kepala divisi Broadcast. Nah, gimana kalau kamu save kontak dia aja? Sebentar, nih ...."
Eva membuka ponselnya dan langsung mencari nama Pak Adi dalam buku kontak, tidak menangkap ekspresi wajah Nisa yang mendadak berubah.
"Eh ... Mbak, anu—"
"Nah, ini nih. Pak Adi Wijoyo, nih nomernya." Eva menyodorkan ponsel ke arah Nisa.
Nisa memandangi benda itu sambil tersenyum pasrah, menaruh buku note yang ia genggam ke atas meja, dan mengeluarkan ponselnya sendiri.
Saat menyalin kontak Pak Adi, Eva sempat melirik note itu, yang ternyata berisikan poin-poin penting yang Nisa catat rapi sepanjang rapat. Ah, sepertinya si Nisa-Nisa ini adalah asisten teladan.
"Eh, Nisa, saya boleh minta tolong?"
Potongan kalimat Eva itu tampak menghidupkan cahaya yang sempat padam di mata Nisa.
"Iya, Mbak?"
"Saya boleh foto catatan di notes kamu, nggak? Buat laporan sama Pak Adi. Kita kan sama-sama jadi asisten nih, ceritanya." Eva memandang lurus ke dalam mata Nisa, membuat perempuan muda itu berkedip bingung.
"Iya …," pasrah Nisa menyerahkan catatannya, yang langsung Eva sahut untuk dipotret dengan ponsel.
Setelah tersimpan, Eva mengembalikannya.
"Makasih banyak, ya," ujar Eva tulus, yang dibalas dengan anggukan dan ucapan 'sama-sama' oleh Nisa.
Tanpa beban, Eva berkemas sambil berdiri, siap meninggalkan ruangan. Baru saja Eva hendak melangkah pergi, mendadak suara berat itu kembali terdengar, menyapa telinganya.
"Eva, kamu sudah makan siang? Kenapa nggak ikut lunch bareng kita aja?"
Tian berdiri dari duduknya. Dari sisi ini, dapat Eva lihat ia menjulang tinggi dan tegap.
‘Buset, berapa tingginya? 180? 185?’ batin Eva memperhatikan.
Wait. Apa katanya? Lunch?
Eva tertegun sedetik sebelum kemudian tersadar, melambaikan tangan yang menggenggam ponsel.
"Maaf Mas, saya sudah ada janji."
**
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Hidup pada era milenium kedua dari tahun masehi, kamu akan terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Begitu juga dengan romansa. Speed dating. Pernah dengar istilah itu? Salah satu sarana untuk menemukan belahan jiwa secara efisien dan hemat waktu adalah Timber, aplikasi dimana kamu bisa bertemu orang-orang yang menarik minatmu dalam sekali swipe. Dari puluhan kandidat yang lolos seleksi, hanya hitungan jari jumlah lelaki yang rela Eva temui di dunia nyata dari app ini—salah satunya adalah Nathan. Yonathan C
Menurutmu, apa yang akan terjadi jika sepasang lelaki dan perempuan dewasa yang jelas-jelas menguarkan vibrasi ketertarikan antar satu sama lain, diberi kesempatan untuk berduaan dalam satu kamar motel? Yap. Itulah yang terjadi antara Eva dan Nathan. They made love. Itu bukanlah pengalaman pertama bagi Eva, dan bukan juga yang terakhir. Namun dari cara Nathan membawa tubuhnya, tampak sekali kalau ini juga bukan kali pertama bagi lelaki itu. Untungnya, Eva tak ambil pusing atas status keperjakaan laki-laki ini, sebab yang jelas Eva rasakan adalah bersyukur karena telah melakukan treatment brazilian wax
Hari ini hari Minggu, hari di mana orang-orang seharusnya beristirahat dengan santai. Namun Minggu ini berbeda untuk Eva Sania, yang pada jam 9 pagi ini sudah berada satu mobil dengan Ika, berkendara selama satu jam terakhir menembus tengah-tengah kota Bogor. Hari ini Eva ada janji dengan balita berusia 3 tahun yang kemarin ia rebut coklatnya. Sebersit perasaan lega sempat mendarat di hati Eva setelah kemarin melepas beban di rumah Ika—Eva memutuskan untuk menginap disana sore itu. Kebetulan Yogi, suami dari Ika, sedang work trip di Garut. Ika kesepian, katanya. Tak berapa lama, lega itu harus cepat-cepat pergi ketika mobil melaju memasuki jalan utama gerbang perumahan
Ponsel di tangan Eva menampilkan jendela pesan W******p, dengan nama kotak ‘Nathan’. [huy va, gw baru sampe jkt nih. wanna hang?] Pesan itu terbaca dalam satu detik sapuan mata. Eva buru-buru menarikan jemari lentiknya di atas tuts keypad, mengetik balasan: [Hai. Hari ini gue lagi di bogor nih, nemenin ponakan.] Tak berapa lama, ponsel itu kembali bergetar. Nathan membalas. [yah… temenin gw nya kapan dong? :(...] Nathan merajuk dalam chat itu. [HAHAHA. Ya udah liat ntar malem yak, gue bisa free apa kaga.] [ok!] Eva tersenyum membaca persetujuan mereka. Tak ada janji, namun sepertiny
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Eva mematut diri didepan kaca, memperhatikan pantulan bayangan seorang wanita yang menatapnya balik, sedang mengeringkan wajah dengan handuk kecil. Sambil bersenandung, Eva berencana menghidupkan wajah dengan riasan tipis, tanpa menggunakan bedak atau foundation, dan memusatkan perhatian di wajahnya dengan sapuan liptint yang membuat bibir perempuan itu merona natural. Menyisir alis dengan kuas spoolie kecil, dan menyugar rambut dengan jari setelah menyemprotkan dry sham
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da