~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~
Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu.
Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju.
“How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat.
Tak lama berselang, ponsel di dalam tas Eva bergetar.
Perempuan itu melirik tas sekilas dan memutuskan untuk membiarkannya, memberatkan konsentrasinya untuk mengemudi. Berpuluh detik kemudian, getaran itu hilang. Tapi hanya sebentar, sebelum benda mungil itu kembali bervibrasi.
Lampu merah berikutnya, Eva sudah frustasi. Beberapa detik setelah lampu menyalang merah dan ponsel sialan itu masih bergetar, Eva akhirnya menekan tombol kecil di bagian kiri bawah roda kemudi, mengangkat telepon dalam mode handsfree.
"Kok susah sekali mau ngangkat telefon sih, Kak?"
Suara Mami menyeruak di tengah padatnya lalu lintas Jakarta. Eva mendengus sambil mengecilkan volume musik.
"Wa'alaikum salam Mamiku sayang ... apa yang bisa anakmu ini bantu?" ucapnya dengan nada yang dimanis-maniskan.
"Kak, ini Bimo nangis nanyain cokelat nya, katanya diambil kamu ya?" Suara Mami terdengar tidak sabar.
Bimo—keponakan Eva, anak dari adiknya, Risna, merupakan balita berumur 3 tahun yang kini suaranya terdengar mengaum dari sisi lain telefon. Eva tersenyum, guilty.
"Iya, hehe, habis tadi dia punya tiga , Mi. Yaudah aku minta satu aja, masa pelit amat."
"Ya ampun, Kak! Kamu itu sudah umur berapa sih, masa masih ngerebut cokelat dari bayi?!"
Lengkingan suara maminya membuat Eva mengernyitkan kening.
"Ya Mami juga ngapain, sih, sampe telepon aku segala perkara cokelat ini? Memangnya Risna nggak bisa nenangin anaknya sendiri?"
"Lho, lho, kok malah nyalahin Risna? Ini kan kamu yang salah. Kamu ini kok ya menyepelekan sekali sih, nggak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali ...."
Dan mulailah, ceramah Mami menggaungi telinga Eva.
Mulai dari 'kamu ini anak sulung tapi kelakuannya lebih konyol dari adik-adikmu', lalu 'kamu nggak tau susahnya punya anak', sampai kalimat pamungkasnya, 'Ini lah kenapa kamu nggak nikah-nikah!'.
Eva mengerang sambil memejamkan mata.
"Mi, ini cuma masalah cokelat loh. Kenapa sih Mami harus segitunya ngomong, seakan-akan status Kakak sekarang ini tuh suatu kegagalan yang fatal?" Suara tegas Eva membuat sang Mami memutuskan rentetan omelannya, atmosfer percakapan ini menjadi dingin seketika.
"Maaf, Kak, Mami nggak maksud ...."
"Dari pada Mami marah-marah begini, mending cari solusinya deh, coba kasiin teleponnya ke Bimo, biar aku ngomong langsung sama bocah nya."
Nada suara Eva meluluh juga mendengar permintaan maaf oleh maminya. Tak berapa lama, terdengan kresekan dan suara sesenggukan bayi yang sedang tantrum.
"Hai Bimooo." Eva menyapa balita itu dengan suara ramah.
"Cotat. Imo. Ana."
Eva mengernyit sebentar. Cokelat Bimo mana?
"Maaf ya, tadi Onty minta satu. Bimo kan masih punya dua? Yang dua itu kemana?"
"Bis." Hah? Habis?
"Kok bisa habis? Bimo makan, ya?"
Bocah itu tidak menjawab, tapi suara kresekan di sambungan itu mengindikasikan bocah tersebut sedang mengangguk. Eva tersenyum.
"Ya udah, besok Tante jemput Bimo di rumah, ya? Terus kita jalan-jalan beli cokelat, yang banyak! Sama es krim juga! Bimo mau?" Eva memainkan nada suaraku seceria mungkin.
Potongan nafas Bimo yang terekam di sambungan telepon ini menandakan moodnya mulai berubah naik, tak lama kemudian Eva mendengar sahutan 'Mauuu' diiringi tawa bocah itu.
Eva tersenyum lagi, puas. Anak-anak ternyata lumayan mudah disenangkan.
Ketika Eva mengira sambungan telepon itu akan diputus, suara Mami kembali terdengar.
"Bimo sudah tenang tuh."
"Mmm." Eva menggumam asal.
Lampu lalu lintas berkedip hijau, membuat Eva segera kembali memberatkan perhatiannya ke arah jalanan lepas.
"Ternyata kamu pinter juga ya, menangani anak kecil."
Kalimat Mami membuat perhatian Eva sedikit terpecah.
"Ya easy lah itu, Mi," ucapnya ringan.
"Mami minta maaf ya, tadi ...."
"Udah, gak papa. Kakak juga minta maaf tadi ngomong balik ke Mami."
Eva menahan napas. Kenapa jadi maaf-maafan begini coba.
"Kak, Mami udah nyerah untuk minta kamu mencari suami. Udah telat, teman-teman seusiamu sudah berkeluarga semua ...."
Kalimat Mami itu menyedot seluruh konsentrasi Eva secara tiba-tiba. Kini Eva menyetir mobil dengan autopilot dalam otaknya.
"Emm ... Oke …?" Eva bingung harus berkata apa.
"Mami rasa kamu nggak butuh suami juga. Kamu sudah sukses, bisa menghidupi dirimu sendiri, bisa mandiri. Itu aja Mami udah seneng banget."
Ah, dada Eva serasa tercenut. Kenapa Mami tiba-tiba ngomong begini, coba?
"Mi ...."
"Dan Mami lihat kamu nggak ada masalah sama anak kecil. Kamu bisa menangani mereka dengan baik, malah."
Otak Eva berpikir keras, menerka akan kemana Mami membawa percakapan ini.
"Kak, nggak lama lagi usia kamu akan nyentuh kepala tiga. Dan tubuh wanita itu ada masanya—"
"Tahan dulu, Mi." Eva memotong kalimat Mami tanpa sadar, menyalakan blinker mobil sebagai tanda untuk berbelok tajam di u-turn, sambil perlahan memutar roda kemudi.
"Mami mau ngomong apa sih sebenernya?" lanjut Eva sambil sesekali melirik kaca spion.
"Kak ... kamu kenapa nggak langsung punya anak saja?"
CKRIT—GUBRAK!
Mobil Eva terguncang, perempuan itu belum tuntas berbelok ketika tanpa sadar pedal gas ia injak dengan kencang.
"Halo? Kak? Suara apa itu? Kamu nggak papa?" Nada Mami dari seberang sana terdengar khawatir.
Kepala Eva tenggelam di atas setir, napas beradu diiringi suara klakson dari mobil-mobil dibelakangnya. Setelah beberapa detik, kesadaran Eva perlahan pulih dan mobilnya mulai berjalan lagi, perlahan, menyatu dengan lalu lintas untuk kemudian menepi di sisi kiri jalan.
"Kak? Halo??" Suara Mami timbul kembali.
"Mi, udah dulu, ntar disambung lagi. Kakak nggak papa kok, Dah." Eva memutuskan sambungan. Memejamkan mata. Menata nafas.
Parkiran. Panas. Mobil terberet.
Eva kembali ke masa kini, tepat di parkiran kantornya sambil menggenggam snack Joysoy berwarna ungu. Setelah berkedip beberapa kali, Eva tersadar kalau sebentar lagi ada meeting yang harus ia hadiri, sebagai hukuman.
Perempuan itu berjalan kembali ke dalam gedung sambil mengaduk isi tasnya, mencari ponsel.
[Ika, mau makan bareng? Ada yang mau gue obrolin. Penting.] —sent.
Dentingan suara lift yang terbuka membuat Eva hampir menjatuhkan benda kecil itu. Segera, Eva memasuki lift dan menekan tombol berukir angka 8.
Pintu tertutup.
Eva membuang napas sekaligus mengarahkan pikirannya untuk tidak dekat-dekat dengan kejadian siang ini. Biarlah urusan pribadi tetap pribadi. Sekarang, di kantor, urusan pekerjaan adalah dunia berbeda yang harus dipisahkan.
Dalam beberapa tarikan nafas berikutnya, Eva sudah bisa menenangkan diri dan memfokuskan pikirannya pada saat ini. Kerja. Meeting.
Agh, Meeting sial!
Eva tidak suka meeting. Itu bukan porsinya.
Sudah sekitar 6 bulan, Ena men-skip sebanyak mungkin segala pertemuan formal yang ia rasa tidak terlalu berkaitan dengannya. Beberapa meeting ringan yang masih Eva toleransi adalah rapat internal divisi Broadcast, atau gabungan dengan tim Jurnalis dan Media yang membahas materi berita, dimana sudah jelas bersangkutan langsung dengannya.
Untuk yang berat-berat? Sudah ada Pak Adi yang bertugas untuk menangani itu semua. Lagipula, itu bukan tugas Eva. Eva bukan sekretaris, bukan asisten, bukan kepala divisi apa pun, dan juga bukan manajer yang bertanggung jawab atas keberlangsungan segala apa yang terjadi di bawah atap gedung ini.
Eva adalah seorang News Broadcaster. Pembawa berita. Dan itulah fokusnya. Seperti yang disebut tadi, selain hal itu bukanlah porsinya. Eva tidak suka menginjak apa yang bukan menjadi wilayahnya, yang ujung-ujungnya hanya membuang waktu.
Lagipula, kalau meeting ini benar-benar penting, Pak Adi tidak akan semudah itu menepiskan tanggung jawab pada Eva dan lebih memberatkan makan siangnya sendiri.
Tanpa sadar, langkah kaki sudah membawa Eva tepat menuju tujuan akhir. Ruang Utama lantai 8, tempat meeting sialan itu diadakan.
**
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Hidup pada era milenium kedua dari tahun masehi, kamu akan terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Begitu juga dengan romansa. Speed dating. Pernah dengar istilah itu? Salah satu sarana untuk menemukan belahan jiwa secara efisien dan hemat waktu adalah Timber, aplikasi dimana kamu bisa bertemu orang-orang yang menarik minatmu dalam sekali swipe. Dari puluhan kandidat yang lolos seleksi, hanya hitungan jari jumlah lelaki yang rela Eva temui di dunia nyata dari app ini—salah satunya adalah Nathan. Yonathan C
Menurutmu, apa yang akan terjadi jika sepasang lelaki dan perempuan dewasa yang jelas-jelas menguarkan vibrasi ketertarikan antar satu sama lain, diberi kesempatan untuk berduaan dalam satu kamar motel? Yap. Itulah yang terjadi antara Eva dan Nathan. They made love. Itu bukanlah pengalaman pertama bagi Eva, dan bukan juga yang terakhir. Namun dari cara Nathan membawa tubuhnya, tampak sekali kalau ini juga bukan kali pertama bagi lelaki itu. Untungnya, Eva tak ambil pusing atas status keperjakaan laki-laki ini, sebab yang jelas Eva rasakan adalah bersyukur karena telah melakukan treatment brazilian wax
Hari ini hari Minggu, hari di mana orang-orang seharusnya beristirahat dengan santai. Namun Minggu ini berbeda untuk Eva Sania, yang pada jam 9 pagi ini sudah berada satu mobil dengan Ika, berkendara selama satu jam terakhir menembus tengah-tengah kota Bogor. Hari ini Eva ada janji dengan balita berusia 3 tahun yang kemarin ia rebut coklatnya. Sebersit perasaan lega sempat mendarat di hati Eva setelah kemarin melepas beban di rumah Ika—Eva memutuskan untuk menginap disana sore itu. Kebetulan Yogi, suami dari Ika, sedang work trip di Garut. Ika kesepian, katanya. Tak berapa lama, lega itu harus cepat-cepat pergi ketika mobil melaju memasuki jalan utama gerbang perumahan
Ponsel di tangan Eva menampilkan jendela pesan W******p, dengan nama kotak ‘Nathan’. [huy va, gw baru sampe jkt nih. wanna hang?] Pesan itu terbaca dalam satu detik sapuan mata. Eva buru-buru menarikan jemari lentiknya di atas tuts keypad, mengetik balasan: [Hai. Hari ini gue lagi di bogor nih, nemenin ponakan.] Tak berapa lama, ponsel itu kembali bergetar. Nathan membalas. [yah… temenin gw nya kapan dong? :(...] Nathan merajuk dalam chat itu. [HAHAHA. Ya udah liat ntar malem yak, gue bisa free apa kaga.] [ok!] Eva tersenyum membaca persetujuan mereka. Tak ada janji, namun sepertiny
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da