Bastian melamun saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah pintu masuk gedung, di mana terdapat kerumunan manusia bagaikan semut mengerumuni timbunan gula—semut di sini adalah media, wartawan, dengan genggaman kamera serta flash-flash yang berkedip setiap detik, sahut menyahut memanggil nama orang-orang yang berpose untuk menoleh ke arah kamera mereka.
Tian mendesah berat dari kursi belakang.
"Goodluck ya, Mas, semoga perusahaan kita nggak menang apa-apa tahun ini," bisik Gita yang duduk di sampingnya, memasangkan sepasang kacamata bundar di wajah Bastian seraya menyerukan harap yang membuat embusan napas Tian diwarnai tawa ringan.
Penyamaran Tian malam ini cukup simpel: berpakaian rapi seperti biasa, namun sisir rambut belah tengah yang nggak banget, ditambah sematan kacamata bundar yang membuat wajahnya hampir tidak bisa dikenali.
"Iya, amin. Doakan Mas nggak di-notice media manapun, ya."
"Amin juga." Gita mengatupkan tangan.
Dan dengan iringan doa-doa unik tersebut, Tian turun dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang sama sekali tak ia kehendaki malam itu.
Sepanjang perjalanan menuju kerumunan media yang hampir menghambat pintu masuk, Tian tak putus membatin.
Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar,
Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar,Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar.Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan,
Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan,Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan.Mantra doa itu dirapal berulang saat Tian akan mengambil langkah kaki hingga melakukan interaksi apa pun dalam gedung Mitra Award malam itu. Tanpa terasa, Bastian Cokro sudah tiba di depan pintu masuk.
Terdapat gelaran karpet merah berujungkan backdrop logo Mitra Award, di mana barisan orang-orang penting berpakaian glamor sedang dipotret untuk konsumsi media. Tian menyingkir, menyelip di antara punggung fotografer untuk menyelinap ke pintu masuk.
"Maaf, Mas, perwakilan dari mana, ya?"
Langkah kaki tian terhenti. Seorang lelaki dengan walkie-talkie dan ID-card terlampir di dada menghampirinya. Jelas sekali, dia adalah seorang Security.
"Cokro Group, tapi bukan undangan formal. Saya cuma Asisten—Manager. Ehm, Asisten merangkap Manager ... maksudnya, Asisten yang me-manage jadwal Pak Imanuel Cokro, yang mana tidak bisa hadir malam ini karena terjebak delay di Changi Airport, Pak. Jadi ... yah, saya cuma ... mewakilkan." Tian gelagapan. Lelaki itu buru-buru membenahi kacamatanya yang hendak melorot. Pelipisnya jadi licin karena keringat.
"Oke, dengan Mas ...?" Security tadi lanjut bertanya.
"Tian," jawab Bastian singkat.
"Tian saja? Nama panjang?"
Oh shit, lelaki itu mengumpat.
"Emmm … Bastian."
"Tian Bastian?" ulang Security tadi.
"... ya, betul." Persetanlah, pikir Tian.
"Oke. Baik, Mas Bastian, ya. Jadi ini in case Cokro Group masuk nominasi atau menang, kita langsung panggil saja Masnya—"
"Ah, jangan! Ehm, maksud saya … bisa di-skip saja, nggak, bagian seremonialnya? Bilang saja Pak Imanuelnya tidak bisa hadir, terus trophy atau penghargaan apa pun nanti dikirim ke alamat kantor pusat langsung saja, gimana?" tawar Bastian menekan segala kemungkinan.
Kalau dia maju menerima penghargaan di depan publik, bisa kacau penyamarannya.
"Oh, iya, baik. Bisa diatur. Silakan, Mas Bastian." Security itu akhirnya memberi jalan.
Safe! Pintu masuk berhasil dilewati dengan mulus. Tian menghela napas lega.
Satu hal yang Tian syukuri malam itu adalah terwujudnya rapalan doa-doa yang ia panjatkan. Karena status sosialnya yang ia jaga rapat-rapat dan kebiasaan keluarganya untuk ketat menjaga privasi layaknya tupperware kedap udara, hampir tidak ada orang yang mengenali Tian sebagai Bastian Cokro, putra mahkota pewaris Cokro Group, perusahaan raksasa yang berjasa di balik berdirinya gedung-gedung tinggi pencakar langit Jakarta, alasan tertanamnya aspal jembatan tol dan lempengan besi halte Busway.
Cokro Group adalah perusahaan konstruksi dan properti yang menggenggam proyek-proyek vital pertumbuhan ibu kota negara ini, semua dieksekusi dengan rapi dan lowkey, membuat sepak terjang keluarga Cokro hampir tidak tercium oleh khalayak luas selama tiga generasi sejak masa Orde Baru.
Hampir.
"Lho, Bastian? Kamu di sini? Ayah-ibumu kemana?"
Satu lagi hal yang Tian syukuri malam ini, adalah bagaimana ia dipertemukan dengan orang-orang yang tepat.
"Om Moel?"
Tian berpapasan dengan pria yang familiar dengan setelan jas biru gelap dan dasi semerah delima saat ia melewati lorong utama. Bastian tersenyum mendapati pamannya yang bisa mengenali dandanan Tian dengan mudah itu. Ah, keluarga memang matanya pasti jeli.
"... Ayah sama Bunda masih di Singapore." Jawaban pendek itu ia keluarkan ketika melihat pamannya menunggu dengan sabar.
"Walah, jadi kamu sudah mulai mau turun tangan?" Senyum mengembang di wajah jenaka pamannya, membuat ketegangan di bahu Tian melunak sedikit.
"Nggak, Om, saya cuma ikut-ikut saja." Tian tersenyum memamerkan gigi yang sempurna, membuat lawan bicaranya terbahak sekilas—beberapa orang yang lewat melirik mereka sambil lalu.
"Oke, oke, bolehlah. Ikut-ikut saja dulu, terjun perlahan-lahan." Om Moel mengangguk paham.
Tian adalah model lelaki yang tidak ahli dalam hal basa basi, bahkan terhadap keluarganya sekalipun. Jadi, dalam kesempatan ini, ia berpikir akan menanyakan hal yang menurutnya penting tanpa membuang-buang waktu lagi.
"Om." Bastian maju satu langkah.
"Ya, Le?"
"Menurut Om, apa perempuan bisa jadi pemimpin perusahaan sebesar Cokro Group?"
Om Moel meneliti keponakannya, memandangi pria muda itu dari dahi hingga ujung kaki.
"Kamu mau jadi transpuan? HAHAH!" Om Moel malah tergelak tawa.
"Bukan, bukan begitu. Maksud saya, Gita,” ralat Tian sambil menggelengkan kepala.
"Oooh. Bilang toh. Gita ya ...."
Wajah jenaka Om Moel berubah menjadi serius selama beberapa detik, dari kerutan di keningnya tampak jelas jika ia sedang berpikir keras.
"Good. Bisa. Brigita adalah perempuan berkemauan keras, nah, yang jadi pe-er adalah, apakah mewarisi Cokro Group ini sejalan dengan kemauannya? Hehehe."
Kini giliran Tian yang termenung. Rasa bersalah mendadak menyikut ulu hatinya, sebab tak pernah terbesit pikiran mengenai kemauan adiknya hinggap di benak Tian. Selama ini, ia membebankan Gita dengan bayang-bayang tanggung jawab imajinatif sebab mewarisi perusahaan keluarga itu bukan kemauannya.
Tian tidak mau ambil andil masalah grup perusahaan keluarga, jadi target selanjutnya pastilah Gita. Benar, bukan?
Di tengah gamang dadakan yang disebabkan oleh percakapan singkat itu, Om Moel menggelegarkan tawanya kembali. Ia tak tahan melihat keponakannya terlampau serius memikirkan krisis masa depan.
"Gita akan baik-baik saja, Le. Kemauan, kewajiban, tanggung jawab, itu semua harus kalian pelajari sendiri. Kalian alami sendiri. Apa pun hasilnya, pastikan kalian selalu ada untuk satu sama lain, yo?"
Tian mencerna petuah itu sambil mengangguk dalam, membiarkan beberapa detik berlalu ditelan riuh rendah kebisingan. Dapat terdengar gaungan musik diikuti suara host acara mulai membacakan deretan nominasi di hall utama.
Tian segera menutup percakapan dengan ucapan terima kasih, berpamitan dengan pamannya, lalu melanjutkan langkahnya memasuki ruang utama untuk kemudian mencari kursi dengan nama belakang keluarganya.
Enam puluh menit di ruangan megah ini merupakan satu jam paling asing dan tidak nyaman yang pernah Tian alami. Namun, buah kesabarannya sepanjang malam ini terasa juga ketika Cokro Group hanya masuk dalam satu nominasi perusahaan paling tertib pajak tahun itu—yang mana tidak terlalu penting juga, dan tidak menarik banyak perhatian media sebab proses seremonial sudah diminta oleh Tian untuk ditiadakan. Intinya, Tian hanya perlu duduk diam dan menunggu acara ini selesai.
"... dan akhirnya, kita tiba pada penghujung acara—nominasi terakhir pada malam hari ini ...."
Tian menguap pelan, petikan kata 'penghujung' dan 'terakhir' dari pantulan mikrofon sang host di atas panggung memercikkan sedikit harapannya untuk segera meninggalkan tempat ini.
"... most Impactful, On-screen Face Mitra Award selama dua tahun berturut-turut—Eva Sania, Channel 5, dengan acara Flash Headline!"
Hah? Apa?
Benak Tian belum pulih betul dari potongan kalimat yang mengandung nama familiar itu saat riuh rendah tepuk tangan menggema di ruangan ini.
"... Eva Sania telah mengudara dengan konsisten selama tiga tahun terakhir, membawakan informasi mengenai perkembangan ekonomi skala nasional dengan akurat, gurih, dan menarik ...."
Layar raksasa di panggung menangkap wajah wanita yang duduk di antara barisan orang-orang yang sedang bertepuk tangan untuknya, kamera meng-zoom sosok wanita tersebut.
Napas Bastian Cokro serasa tersedot hilang dari paru-parunya.
Pada proyeksi layar raksasa, Eva Sania sedang melongo beradu tatap dengan kamera, dengan kedua tangan menggenggam bagian belakang rambutnya—sebuah low bun yang rontok sebagian menjadi buntut mullet di belakang lehernya. Wajah cantiknya menampakkan ekspresi terkejut yang murni tanpa dibuat-buat. Ia tersenyum gagu sambil berdiri, membenahi gaun panjang satin berwarna rose gold dengan belahan dada rendah dan celah gaun tinggi bertemu di tengah-tengah.
Tian dapat melihat, dari layar raksasa, bahwa wanita itu duduk beberapa baris tepat di belakang kursinya.
Eva Sania, sedang melangkah berjalan menyusuri jalan setapak menuju panggung utama, dengan kaki jenjang yang berjalan anggun, dan ... tanpa alas kaki? Tian terperangah—ia duduk di kursi sisi pinggir setapak itu, bersiap kontak udara dengan feromon berjalan dalam wujud nyata.
I knew you were
You were gonna come to meAnd here you are ...Lonjakan musik instrumental salah satu lagu Katy Perry berjudul Dark Horse itu memantul seiring kaki panjang Eva Sania bergerak menyusuri tangga berkarpet di sisi Tian.
… But you better choose carefully
'Cause I'm capable of anythingOf anything and everythingTepuk tangan autopilot yang Tian layangkan berkedok sebagai pengalihan isu dari dada nya yang bergemuruh riuh saat Eva Sania berpapasan langsung dengan kursinya. Dari jarak satu meter, Tian bisa menghirup aroma segar yang familiar—apa itu? Bunga Kemuning? Melati?
Momen itu merupakan satu detik yang ditarik paksa oleh hukum semesta, bahwa waktu harus berjalan terus. Begitu juga langkah kaki Eva Sania yang terus berjalan membawanya ke atas panggung, menyambut jabatan tangan sang host dan memulutkan kalimat 'terima kasih'.
Untuk pertama kali pada malam itu, perhatian Tian tersedot penuh menuju panggung utama.
"Terima kasih banyak, untuk team Mitra yang telah menganugerahi saya dengan penghargaan ini ... untuk semua kolega, rekan kru yang bertugas di acara Flash Headline, dan untuk para pemirsa yang setia mendukung dari rumah …”
Jeda sebentar, memberikan kesempatan Tian meneliti wajah wanita yang terpampang besar di layar panggung itu. Wajah cantik itu berkedip dan menarik napas.
“... sejujurnya, saya nggak menyangka akan mendapat nominasi apa pun malam ini. Sebuah kejutan yang menyenangkan, dan … seperti yang kalian semua lihat, saya sudah sangat siap untuk pulang dan meninggalkan tempat ini ….”
Ruangan diisi dengan riuh-rendah tawa yang terpantul oleh kalimat jenaka Eva,
“... jadi gimana kalau saya sudahi pidato panjang saya, dan kita tutup malam ini dengan rasa syukur sedalam-dalamnya. Sekali lagi, terima kasih."
Eva Sania berjalan kembali menuju kursinya, ia bagaikan supermodel yang melenggang diatas catwalk, semakin dekat, dan dekat.
Bastian Cokro mempersiapkan indra penciumannya tanpa sadar, menghayati beberapa detik saat ia berpapasan dengan sosok Eva, lagi.
Apa ya ... segar. Tumbuhan kah? Rumput? Ah bukan bukan—teh hijau. Ya. Matcha.
Masih menerka-nerka aroma yang dibawa oleh tubuh wanita itu, Tian menggeleng dalam lamunannya.
Tidak tidak. Ayo Tian, jangan jadi orang aneh yang mengendus-endus aroma perempuan asing.
Dalam helaan napas berikutnya, pria itu merelakan momen tersebut berlalu. Ia mulai menyadari obsesinya pada wanita itu, dan dia harus berhenti—saat itu juga.
Tidak boleh begini. Tidak lagi.
**
Beberapa jam sebelumnya ...."Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?"Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award."Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer."Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan.
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih. Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da