Beberapa jam sebelumnya ....
"Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?"
Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.
Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award.
"Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer.
"Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan.
Dress sutra berwarna emas dengan tone merah jambu yang memantulkan kilatan cahaya halus setiap kali dia bergerak, dengan lengan panjang yang ditutup renda halus pada ujungnya, dan rok yang—benar kata Ika, panjangnya sepanjang jalan kenangan—jatuh dan sedikit menyeret beberapa senti di belakang kaki jenjang Eva, yang nantinya akan terbantu oleh sepatu super tinggi dengan hak 12 senti.
"Eva, Eva ... gue tau lu cantik, pinter, sukses, single, dan ber-chuan banyak. Tapi di balik semua kelebihan lu itu, ada satu kekurangan ...."
Eva menanti tanpa antisipasi akan lanjutan kalimat Ika.
"... lu itu tepos, sorry. Jadi lu nggak perlu khawatir akan sopan-tidak-sopan-nya belahan dada lu, karena emang enggak ada sama sekali!" Tegas sekali Ika mengejek sahabatnya.
Eva hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala mendengar deskripsi Ika akan ukuran dadanya. Kalau saja Eva masih SMA dan berusia belasan tahun, kalimat tadi akan menohok insecurity-nya secara fatal, membuatnya ogah makan dan keluar rumah, boro-boro menghadiri acara Mitra Award yang begitu penting malam ini.
"Emang acara ini penting banget ya?" Kali ini Eva menyuarakan pikirannya sendiri.
"Menurut lu? Hello! Coba bayangin, kerja keras lu sebagai jurnalis bisnis malam ini diapresiasi di depan orang-orang terkaya se-Indonesia Raya. Bayangin, gimana nama lu bakal keangkat, pamor lu bakal meroket, dan koneksi yang bisa lu dapetin di sana—"
"Udah kebayang, udah kejadian, dan gue nggak suka." Eva memotong kalimat Ika sambil menghela nafas, untuk kemudian duduk di kasur kamar apartemennya.
"Gue udah belasan kali hadir di acara beginian, Ka. Awalnya emang excited banget, tapi lama-lama, ya gitulah ... this kind of stuff is not for me." Eva menggeleng jengah.
Kali ini Ika yang memandangi sahabatnya itu dengan sungguh-sungguh, meneliti garis-garis wajah Eva yang telah dipulas riasan lebih tebal dari yang biasa ia kenakan saat on air—eyeshadow smokey coklat tua, bulu mata palsu, dan bibir dipoles lipcream berwarna merah berry gelap.
"Tapi lu nggak bisa cabut gitu aja dong! Nggak setelah lu diundang langsung oleh tim Mitra-nya sendiri kan?" Ika bersikukkuh.
"Iya, sih." Eva menjawab pasrah.
"Dan yang terpenting, lu udah dandan sebegini rupa masa jadi sia-sia sih?" lanjut Ika. Rupanya dia tak rela jika usahanya susah-susah mempermak Eva Sania malam ini terbuang begitu saja.
Eva terkekeh lagi.
"Iya, iya ... kayaknya gue nggak punya pilihan lain, ya?" Akhirnya Eva bangkit dari duduknya.
Ika tersenyum maklum memandang sahabatnya, sementara Eva membalas senyuman itu juga.
"Yaudah lah! Screw it, let’s go. Lagian juga, gue nggak akan mati karena datang ke acara beginian." Eva mengibaskan rambutnya. Kepercayaan diri perempuan itu terpompa kembali.
"Betul! Nah, sekarang, lu mau pake parfum yang mana?" Ika mengalihkan percakapan.
Eva memiringkan kepala dan menyipitkan mata melihat dua botol yang ditimbang-timbang di masing-masing tangan Ika. Rupanya sahabat Eva itu baru saja meraih wewangian dari atas meja rias Eva dengan tangan kilatnya.
"Mana aja lah, bebas," putus Eva ringan, tanpa benar-benar membuat pilihan.
Mendengar itu, Ika tersenyum jenaka dan mendekati Eva dengan dua botol sekaligus, menyemprotkan isinya bertubi-tubi ke arahnya. Eva tertawa dan menutup wajah, menghindari hirupan partikel parfum yang bercampur aduk entah apa itu di sekitarnya.
"Udah, udah, jangan kebanyakan, ntar gue pusing!" Eva mengibaskan telapak tangan di sekitar kepalanya.
"Iye, iye, tapi baunya enak loh …," ucap Ika sambil menghirup udara sekitar, komplit dengan matanya yang terpejam, hingga akhirnya mengangguk penuh approval.
"Peduli amat. Yuk ah, cabut. First to come first to leave. Gue pengen rebahan habis ini." Eva meraih tas tangannya dengan cepat, yang berisikan ponsel pintar dan dompetnya.
Eva menyudahi sesi persiapan pra-acara itu, mengajak Ika meninggalkan kamarnya yang kini dipenuhi bau parfum—campuran segar antara Victoria's Secret Softy-fresh Matcha Lily, dan parfum bunga kemuning dari brand lokal yang dibelinya saat liburan di Jogja lebaran lalu.
**
‘Nightmare, nightmare, nightmare!’
Ini adalah mimpi buruk bagi Eva Sania. Dalam hati, perempuan itu menjerit: aku ingin pulang! Ah tidak—rasanya Evna Ingin mati saja. Sumpah, sepatu hak tinggi itu serasa membunuhnya. Eva yakin, bahwa dirinya positif akan mati sepulang dari acara ini.
Sepanjang jalannya acara Mitra Award, Eva merutuk. Siapa pun yang menciptakan hak setinggi 12 senti adalah orang paling jahat yang ada di muka bumi ini, begitu pikirnya. Tentu saja diikuti kesimpulan lain, bahwa siapa pun yang membeli benda jahanam ini adalah orang paling bodoh yang pernah dia temui (orang itu adalah Ika).
Coba bayangkan, kaki yang dipaksa berjinjit menyalahi kodrat postur alamiahnya, demi menopang seluruh massa badan di bagian ujung telapak kaki, sementara tumit serasa tertusuk paku bercampur krisis kepercayaan terhadap si sepatu itu sendiri setiap kali sang pemakai akan melangkah, itu semua karena heels yang menopang bagian belakang sepatu ini tipisnya bagaikan sebatang lidi yang terbuat dari kaca.
Belum lagi, si bodoh Ika membelikan sepatu ini dengan ukuran satu nomor lebih kecil dari ukuran kaki Eva, membuat jari-jari kaki perempuan itu berdesakan terjepit di bagian depan sepatu.
‘Kalau mimpi buruk bisa menjadi nyata, itulah sepatu ini,’ batin Eva.
Eva memaki di dalam hati sambil melepas alat siksaan itu dari kakinya, untuk kemudian memijit pergelangan kakinya yang (mungkin) keseleo. Duduk manis dan tidak berjalan ke mana-mana adalah rencananya sepanjang sisa malam ini. Dan hal itulah yang sudah ia lakukan selama 2 jam terakhir. Duduk. Manis. Tidak berjalan kemana-mana.
"... dan akhirnya, kita tiba pada penghujung acara—nominasi terakhir pada malam hari ini ...."
Kepala Eva yang berdenyut berat akibat cengkraman hairstyle cepol rendah menangkap sedikit kelegaan dari pengumuman host di atas panggung.
‘Kebebasanku akan segera tiba!’ pikir Eva dengan riang.
Tanpa pikir panjang, Eva menarik satu jepit lidi yang menyandang beban rambutnya—benda kecil nakal yang sedari tadi menusuk-nusuk kulit kepalanya. Kebebasan itu membuat Eva ketagihan, perempuan itu melepaskan satu lagi jepit di sisi lain rambut ....
"... most Impactful, On-screen Face Mitra Award dua-ribu-sekian-belas—Eva Sania, Channel 5, dengan acara Flash Headline ...."
JEDERRR!
Rentetan tepuk tangan berpadu satu dengan suara petir di dalam kepala Eva.
‘Apa barusan? Nominasi apa? Siapa? Aku?’ bingung Eva tanpa bisa berkata-kata.
Menggapai-gapai kesadaran yang beberapa detik tadi terbang entah kemana, Eva bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju panggung—tidak peduli lagi akan penampilannya yang jauh dari kata sempurna, tanpa alas kaki dan tatanan rambut yang luruh separuh, sebab apa yang ada di pikirannya adalah 'cepat lakukan dan selesaikan'.
Eva menerima mikrofon dan mengucapkan kata-kata diplomatis pada umumnya: ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait; orang-orang di balik layar yang yang telah bekerja keras pada malam hari ini.
Mendadak, sebersit rasa emosional menyeruak ketika Eva memandang wajah-wajah jauh yang duduk berjajar di seberang sana.
"Sejujurnya, saya nggak menyangka akan mendapat nominasi apapun malam ini. Sebuah kejutan yang menyenangkan ...." Oke, terlalu emosional. Akhiri sekarang, pikirnya.
"... dan seperti yang kalian semua lihat, saya sudah sangat siap untuk pulang dan meninggalkan tempat ini, jadi gimana kalau saya sudahi pidato panjang saya, dan kita tutup malam ini dengan rasa syukur sedalam-dalamnya. Sekali lagi, terima kasih."
Eva turun dari panggung menggenggam piala mungil berwarna perak, diiringi tepuk tangan yang sesekali sambut menyambut dengan gelagat tawa. Senyum terpampang di wajah cantik Eva Sania, terpasang selebar-lebarnya. Setidaknya, malam ini Eva tidak disiksa untuk hal yang sia-sia.
**
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih. Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Hidup pada era milenium kedua dari tahun masehi, kamu akan terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Begitu juga dengan romansa. Speed dating. Pernah dengar istilah itu? Salah satu sarana untuk menemukan belahan jiwa secara efisien dan hemat waktu adalah Timber, aplikasi dimana kamu bisa bertemu orang-orang yang menarik minatmu dalam sekali swipe. Dari puluhan kandidat yang lolos seleksi, hanya hitungan jari jumlah lelaki yang rela Eva temui di dunia nyata dari app ini—salah satunya adalah Nathan. Yonathan C
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da