⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK.
**
Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih.
Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—membawa wanita berparas peri itu terbang mendekat. Lebih dekat. Sangat dekat.
Sang pria memberanikan diri menatap wajah wanita peri itu—anjrit, wajah Kendall Jenner tampak menatap balik dengan mata tajam setajam belati! Wanita cantik itu menggigit bibir bawah sambil tersenyum manja, memamerkan tulang pipinya yang bagai dipahat seniman Roma.
Jemari lentik peri Kendall Jenner membelai rahang pria yang sedikit ternganga, memainkan telunjuk menelusuri cambang, dagu, dan berakhir di bibir. Sang pria merengkuh dengan pasrah, telapak tangannya menyentuh belakang pinggang sang supermodel—menyebabkan bulu-bulu yang membalut tubuhnya berguguran menjadi luapan cahaya.
Si pria bisa merasakan letupan excitement itu, perlahan, naik. Bagaimana darah di dalam tubuhnya tertarik di satu titik panas, bagaimana peri berbodi supermodel itu menggiring badannya di atas si pria yang sudah pasrah, dan bagaimana kehangatan dan lekukan tubuh yang menggelanyutinya terasa super nyata.
Wajah cantik itu tak putus menatapnya, dan dalam satu kedipan mata, beberapa fitur wajah Kendall Jenner mulai berubah sedikit demi sedikit—bola matanya yang berwarna hazel menggelap menjadi cokelat tua, tone kulitnya yang awalnya berwarna light-tan perlahan berubah menjadi kuning langsat khas Indonesia. Kendall Jenner di hadapannya berubah, menjadi Eva Sania.
Sang pria terkesima, membiarkan wanita itu maju mencondongkan wajah dengan mulut sedikit terbuka, membuat si pria terpejam, menyambut, mengerang ....
BIP ... BIP ... BIP ....
Bastian terlunjak bangun akibat bunyi alarm dari ponsel di meja sisi ranjangnya.
Buliran keringat merembes di kening dan pelipisnya. Ia bisa merasakan punggungnya basah. Dan di tempat lain juga. Sial.
**
Sabtu pagi. Kantor Pandora seharusnya libur, tapi Nisa rela berhujan cahaya mentari pagi-menjelang-siang di atas ojol demi mengasuh bayi besar yang menggajinya setiap bulan. Masbos-nya.
"Kiri sini, Pak!" komando wanita muda itu ketika sampai di depan halaman familiar di antara jejeran hunian perumahan elit.
Setelah menyerahkan helm berwarna hijau, Nisa membuka pintu pagar yang tidak dikunci.
‘Hm, aneh. Apa Mas Tian sudah bangun?’ Benak wanita muda itu berpacu ketika pintu masuk ruang tamu juga tidak dikunci, membuat rantaian kunci cadangan di genggamannya hilang fungsi.
Nisa masuk rumah itu tanpa pikir panjang.
"Nis—"
"YASSALAM!!"
Asisten muda itu hampir saja menjatuhkan smartphone-nya ketika mendadak muncul pria berbungkus handuk dengan rambut basah penuh tetesan air. Bastian Cokro.
"Mas Tian!? Bikin kaget sumpah!" Nisa berusaha mengatur napas dan matanya dari godaan abs Tian yang terkutuk.
"Eh, sori. Ini saya habis mandi." Bastian menjawab cuek sambil membenahi letak handuknya.
"Iya, tau. Tumben Mas, mandi pagi-pagi. Biasanya—"
"Ya udah, saya siap-siap dulu," potong Bastian sebelum asistennya itu genap memberikan komentar.
"Yeu, mangga ...." Nisa beringsut mundur memberi jalan, menelan kalimatnya yang sempat terpotong seraya mengarahkan pandangan ke mana saja asal bukan Tian. Detik berikutnya, pria itu hilang di balik pintu kamar.
Nisa menghela napas.
‘Pagi-pagi, iman sudah digoda. Untung gue asisten profesional yang sadar kasta.’
**
Siang menjelang ketika Tian dan Nisa duduk di kursi panas ruang rapat kantor utama stasiun TV swasta ternama nasional, Channel 5.
Ini bukan kali pertama mereka melakukan meeting dengan orang-orang direksi stasiun TV ini. Yang membedakan dari pertemuan sebelum-sebelumnya adalah, meeting itu selalu terjadi di luar lingkungan kantor. Pertemuan Informal. Obrolan ringan di atas kopi dengan orang-orang penting mengenai project kerjasama antara Channel 5 dan Pandora.
Seiring perkembangannya, mau tak mau Tian harus melangkah lebih jauh ke dalam teritori asing partner bisnisnya. Hari ini langkah itu menjelma menjadi sebuah aksi harfiah, dimana Tian harus menginjakkan kaki di lantai 8 gedung ini.
‘Nggak masalah.’ Bastian Cokro mengatur napasnya,
‘Ini murni keperluan bisnis. Bisnis. Work comes first. Nggak ada hal abnormal yang akan terjadi hari ini. Semua akan berjalan lancar.’ Pria itu menanamkan sugesti positif sambil tersenyum yakin.
"Kita bisa mulai sebentar lagi ya, Mas Tian. Ini tinggal menunggu divisi Broadcast saja." Pak Bramono, anggota direksi Channel 5 membuka bicara.
Pria bertubuh subur dengan kumis tebal itu berjasa menjadi jembatan sekaligus pemantik lampu hijau kerjasama antara perusahaan Tian dan Channel 5. Tian mengangguk sebagai jawaban.
Tidak sampai lima menit berselang, semesta sepertinya sedang menghukum (atau memberi anugerah?) pada Tian atas mimpi nistanya semalam.
Dimulai dengan hentakan bunyi heels dari wedges setebal tujuh senti dengan coverage area yang nyaman memeluk seluruh telapak kaki, sesosok wanita yang seakan ditarik wujudnya dari alam bawah sadar Tian, muncul.
"Loh, Eva? Tumben."
Deg!
Nama itu, sosok itu, membuat Tian diam tak berkutik, mencoba mencerna realitanya dengan mengatur napas dan debaran jantung yang bisa ia dengar sendiri.
"Siang, Pak Bram. Iya, saya disuruh mewakili Pak Adi."
Suara itu lebih jernih dan empuk dari yang biasa ia dengar di televisi, namun tak salah lagi—soprano hangat itu adalah suara Eva Sania.
Gerak gerik wanita itu seakan menggerakkan atmosfer di ruangan rapat, membuat Tian mengamati dengan diam saat Eva duduk di sebelah asistennya. Satu kursi darinya.
CEO dan Asisten yang bekerja sekantor dan seatap selama setengah tahun lebih--Tian dan Nisa--kompak saling tatap antar satu sama lain, seakan sama-sama menyadari kehadiran Eva Sania di ruangan itu.
"Mas, itu ...." Nisa berbisik dengan suara rendah, cukup terdengar di telinga Bastian saja.
"Ya. Saya tau. Diam kamu, jangan norak." Bastian mendesis dengan tegas.
"Mau saya mintain tanda tangannya?" Nisa mencondongkan badan ke arah Masbos-nya, berinisiatif membantu atasannya itu yang tampak mulai salah tingkah.
"Nisa, sudah saya bilang—jangan norak!" Tian bersikeras.
"Tapi Mas ‘kan ngefans?"
"Sok tau kamu!"
"Oh, saya tau, Mas. Kita kan butuh itu ...."
"Itu apa?" Tian menaikkan alis.
Detik berikutnya, Tian memperhatikan Nisa yang mengeja sesuatu dengan bibirnya—apa itu? Pe'ak? Peka? Hah—beha?!
Melihat bosnya yang memicingkan mata dengan alis berkerut tanda tak mengerti, Nisa semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Tian, berbisik agak keras.
"Ini pak, kita butuh BA ...!"
Aksi Nisa itu menangkap perhatian Pak Bramono yang duduk di sebelah Tian—yang otomatis memandang Nisa dan tersenyum, paham.
‘Ooh, Brand Ambassador toh ....’Benak tian akhirnya menyimpulkan.
‘Eh tunggu, apa?!’
"Kebetulan karena kamu belum kenal, ini saya kenalkan. Yang disebelah kamu itu namanya Nisa, asistennya bapak ini ...."
Tiba-tiba terdengar suara Pak Bramono menyela.
Keringat dingin menjalar di punggung Bastian Cokro yang mendadak kaku, dapat ia rasakan bisik-bisiknya dengan Nisa terputus, seiring wanita itu juga mengalami demam panggung instan ketika namanya di-mention oleh Pak Bram.
"... eh, kok bapak. Mas ya, Mas Tian. Nah Mas Tian dan Nisa ini adalah perwakilan dari brand Pandora, itu loh, yang produknya sudah ada di aplikasi e-commerce hijau-hijau, yang bisa bayar pake uang digital juga. Ya mas, ya? Revolusioner sekali, semuanya jadi praktis."
Pak Bram mengangguk ke arah Tian dengan pasti, yang ditanggapi dengan senyum gugup oleh sang empunya brand tersebut.
"Kebetulan nih, Eva, Pandora ini akan soft-launching dekat-dekat ini. Barangkali kamu tertarik untuk menjembatani dua perusahaan ini, rela dikawinkan untuk jadi BA-nya gitu, misalnya. HAHAHA." Ah, rupanya Pak Bram menangkap dengar rencana Nisa dan Tian yang membahas masalah Brand Ambassador itu.
Sementara itu, gelegar tawa Pak Bram menutup basa-basinya yang tak efektif melihat respon Eva Sania adalah pandangan kosong ke arah sosok Bastian Cokro.
Tertangkap basah diperhatikan oleh wanita yang semalam membasahi mimpinya itu, Tian langsung gelagapan tak berkutik.
‘Gawat. Do something, Bastian!’ pikir lelaki itu, panik.
**
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk. "Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...."
Apakah kamu punya sahabat dekat yang selalu menjadi bagian hidupmu selama lebih dari satu dekade terakhir? Eva punya. Rizka namanya. Panggilan sayangnya, Ika. Mereka sudah berteman sejak awal masuk SMA, Eva dan Ika sama-sama masuk kelas IPS dan menghabiskan masa-masa kejayaan remaja bersama. Eva ikut ekskul Jurnalistik, sementara Ika menyalurkan hobi memasak di Tata Boga. Pasca kelulusan, Eva dan Ika saling setuju untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional alias HI di salah satu perguruan tinggi negeri yang, ajaibnya, berhasil mereka masuki berdua. Berbeda dengan Eva yang memiliki surai coklat tua sepunggung, lurus dan elegan, Ika merupakan wanita dengan rambut bob pendek yang membuat perawakannya menjadi manis dan awet muda. Wajahnya berbentuk hati dan hidungnya
"Dah?" Ika menepuk-nepuk pundak sahabatnya pelan. Eva mengangguk sebagai jawaban. Setelah kembali duduk di hadapan Eva, Ika menggelengkan kepala takjub. "Bisa-bisanya lu keselek pas panic attack." Eva menatapnya sambil tersenyum simpul, mengedikkan bahu. Setelah menghela beberapa napas, Eva kembali mengambil potongan pizza terkutuk itu, berniat menghabisinya. Ika memandangi Eva yang mengunyah dengan lebih hati-hati. Tatapannya dalam, membuat kunyahan sahabatnya itu memelan sampai berhenti sepenuhnya. "Apaan?" tanya Eva dengan mulut penuh. "Lu
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Hidup pada era milenium kedua dari tahun masehi, kamu akan terbiasa dengan segala sesuatu yang serba cepat dan instan. Begitu juga dengan romansa. Speed dating. Pernah dengar istilah itu? Salah satu sarana untuk menemukan belahan jiwa secara efisien dan hemat waktu adalah Timber, aplikasi dimana kamu bisa bertemu orang-orang yang menarik minatmu dalam sekali swipe. Dari puluhan kandidat yang lolos seleksi, hanya hitungan jari jumlah lelaki yang rela Eva temui di dunia nyata dari app ini—salah satunya adalah Nathan. Yonathan C
Menurutmu, apa yang akan terjadi jika sepasang lelaki dan perempuan dewasa yang jelas-jelas menguarkan vibrasi ketertarikan antar satu sama lain, diberi kesempatan untuk berduaan dalam satu kamar motel? Yap. Itulah yang terjadi antara Eva dan Nathan. They made love. Itu bukanlah pengalaman pertama bagi Eva, dan bukan juga yang terakhir. Namun dari cara Nathan membawa tubuhnya, tampak sekali kalau ini juga bukan kali pertama bagi lelaki itu. Untungnya, Eva tak ambil pusing atas status keperjakaan laki-laki ini, sebab yang jelas Eva rasakan adalah bersyukur karena telah melakukan treatment brazilian wax
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da