[Aura Finance: Seriusan gosipnya, Kir? Masa sih CEO kita itu ga laku2 karena mandul??]
[Kirana HR: SUMPAH, Ra! Gue denger sendiri dari adeknya yang mampir kapan hari itu, Mr. T tuh beneran infertil!]
[Aura Finance: Ah, gak percaya gue!]
[Kirana HR: Yeuuuhh si Aura. Tanya aja ke Wira. Ya nggak Wir? @Wira Desain]
[Wira Desain: apaan? gatau ah jangan tag gw masalah gosip2an begini. gw banyak kerjaan. skip]
[Aura Finance: Udah deh, Kir. Jangan nyebar gosip yang gak bener gitu, ntar fitnah jatohnya…]
[Kirana HR: ENAK AJA!]
[Kirana HR: Nih ya, kalo ga percaya, gue tag langsung aja asistennya si Tersangka. Woy, Nis, sini lu! Bantu gue klarifikasi! @Nisa PA CEO]
Wanita muda dengan rambut dikuncir kuda menekuni pantulan wajahnya sendiri dalam cermin genggam yang tersembunyi aman tertutup layar monitor di mejanya. Wanita itu, Nisa, sama sekali tak memperhatikan layar kaca monitor yang menyalakan group chat, berkedip memanggil namanya.
'Komedo jahat, makin digerus, makin beranak.' Omelan dalam benak sang empunya wajah itu tidak sampai terwujud dalam kalimat nyata, namun hanya terproyeksi dalam tautan di alis-nya yang tergambar rapi.
Rutinitas menggerundel berbagai imperfection di wajahnya terputus buru-buru ketika pintu ruangan di belakangnya—yang bertempelkan nama ‘Bastian Cokro’—mendadak terbuka, menampakkan dua remaja dengan seragam SMA berbalut jas almamater sekolah berjalan beriringan keluar dari ruangan.
"Kak, makasih, ya." Salah satu dari mereka menyapa wanita bercermin genggam. Gadis remaja dengan poni rata dan senyuman berlesung pipit manis.
Wanita di balik meja itu membalas, "Oh iya, iya, sama-sama."
Interaksi pendek berakhir seiring dengan beranjaknya dua anak sekolahan itu, menghilang di balik pintu keluar.
Tepat saat itu, sang penunggu meja baru menyadari panasnya pembahasan di grup chat W******p yang terhubung web browser di komputernya. Buru-buru ia menutup tab group chat ghibah itu.
Beberapa detik berlalu, seorang pria dengan kemeja putih fit body serta dasi abu-abu muncul dari balik pintu ruangan. Jas tergulung lipat bertengger di salah satu lengannya.
"Nisa, agenda saya setelah makan siang apa aja?" Suara berat menyapa pendengaran wanita yang ia ajak bicara itu—Nisa.
"Jam dua nanti ada meeting dengan vendor dari Jepara, dan setelah itu clear, Mas." Nisa menjawab dengan sigap sambil men-scroll layar ponsel yang ia pungut dari atas meja.
"Itu aja? Tumben. Seingat saya minggu ini kita agak padat." Lelaki itu mengerutkan dahi.
"Tadinya iya sih, Mas, cuma barusan ditelepon sama Bu Cokro untuk ngosongin jadwal Mas Tian hari ini setelah jam 4, katanya disuruh pulang, ada ... acara keluarga." Nisa berkata dengan hati-hati, melihat reaksi bosnya—Bastian—yang mulai kecut.
"Aduh, Nis! Kok kamu ‘iya’-in, sih? Kan jadi banyak kerjaan yang ketunda nanti!" Bastian mulai naik pitam. Nada suara berusaha dikontrolnya agar tetap rendah, namun tak ayal tekanan emosi terdengar pula di sana.
Nisa menunduk dalam, menelan bongkahan omelan Tian di penghujung hari kerjanya.
"Maaf, Mas. Tapi, Bu Cokro tadi agak maksa ...."
Tian menghela nafas dengan berat. Ia benci marah-marah pada karyawan sendiri.
"Oke, nggak papa deh. Kamu boleh pulang sekarang, saya bisa handle meeting sama vendor sendiri. Materinya sudah ada di meja saya ‘kan?"
Mata Nisa membulat mendengar kalimat Tian barusan.
"Iya, tapi ... saya nggak dipecat kan, Mas?"Tian mengembuskan napas tawa. "Ya enggak, lah. Saya cuma nyuruh kamu pulang, bukan mecat kamu. Memangnya kamu nggak pingin istirahat, gitu? Jalan-jalan, refreshing?"
Manik mata Nisa berbinar dengan semangat.
"Wah, Mas Tian mau ngajak saya jalan?"Kali ini tawa Tian pecah. Asistennya yang satu ini memang agak ... unik dan bebal. Apa, ya, istilah gaulnya? Oh, iya! Lola! Loading lama.
"Kapan-kapan ya, Nis, saya kan sudah fully-booked untuk hari ini," tolak Tian dengan nada halus, seakan ucapan Nisa barusan tidaklah kurang ajar dan melewati batas.
Nisa mengangguk diiringi tawa juga, mulai mengemasi harta bendanya yang bertebaran di atas meja. Cermin, pouch makeup, kipas angin portable yang sedang di-charge, dan tas tangan berwarna pink pucat.
"Gimana tadi interview sama anak SMA, Mas?" Nisa mencoba mencairkan suasana sambil memasukkan barang-barang berharganya ke dalam tas, sementara matanya menangkap Basian masih berdiri terpaku dan belum beranjak dari tempatnya.
Rupanya mata Tian tertuju pada layar TV yang tergantung di seberang ruangan.
"Asyik, kok. Nggak seformal biasanya. Mereka malah ngundang saya untuk hadir di acara kelulusan angkatan mereka nanti." Tian menjawab seraya tak melepaskan pandang dari layar kaca.
"Wah, mereka masih kelas 11, ‘kan? Visioner banget." Nisa mengomentari sambil berdiri, siap untuk pergi.
"Uh-huh," jawab Tian seadanya.
"Nonton apa sih, Mas? Serius amat." Nisa mengikuti arah mata Tian. Televisi sedang menampilkan potongan acara berita Flash Headline.
"Oooh, berita …," bisik Nisa, lebih kepada dirinya sendiri.
Gambar berganti kembali menuju scene di studio, saat tiba-tiba Tian bersuara, "Nis, itu pembawa berita yang perempuan, wajahnya ‘tuh ... saya kok kayak pernah lihat gitu, ya?"
Nisa memicingkan mata, pandangannya menangkap seorang wanita dengan balutan blouse berwarna marun gelap, membacakan berita dengan ekspresi yang tajam. Bibir wanita itu bergerak penuh, dan alisnya membingkai wajah berseberangan membentuk garis simetris alami antara satu sama lain, menaungi sepasang mata lentik yang menatap lurus menembus layar kaca. Cantik.
"Mas Tian kenal?" tanya Nisa.
Sang Bos menggeleng.
"Nggak. Cuma kayaknya saya sering lihat wajah macem dia di majalah-majalah Vogue gitu. Wajahnya itu semacam ... mahal, nggak sih?"
Nisa mencerna kalimat rumit Tian dengan dahi berkerut. Mau bilang 'cantik' aja bebelit kali Masbos ini. Wajah mahal? Apa pula itu?
“Saya nggak pernah lihat-lihat majalah mahal begituan, Mas. Tapi saya yakin, yang Mas Tian maksud ‘tuh wajahnya si penyiar itu cantik, ya ‘kan?” Nisa berkata sambil menekankan pada kata 'cantik', seolah mengajari Bastian untuk mengeja.
"Iya. Cantik …," beo Tian pendek.
Akhirnya. Muji 'cantik' aja susah amat sih, Masbos. Pantes aja jomblo terus.
Nisa membatin dalam hatinya, tak habis pikir bagaimana bosnya yang workaholic ini begitu kaku berhadapan dengan wanita cantik—walau hanya di depan layar kaca sekalipun. Sang asisten hanya bisa menggelengkan kepala.
**
"Nah! Ini Masmu, akhirnya pulang ...."
Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore ketika Tian menginjakkan kaki di kediaman keluarganya. Kedatangannya disambut dengan komentar sang Bunda, diikuti pandangan tiga orang tamu dekat yang sedang berkunjung.
Oh, ini toh acara keluarga yang dimaksud Nisa, batin Tian.
"Mas!" Panggilan suara itu memekik.
"Hey, Lis!" balas Tian.
Elizabeth, yang biasa dipanggil Lisa, adalah sepupu Tian dengan tubuh mungil setinggi 155 senti, tampak mungkin meskipun usianya sudah menginjak awal 20. Lisa tersenyum lebar sambil duduk manis melipat kaki di sofa ruang tamu, memangku setoples turkish delight.
"Kok makin kecil aja kamu?" Tian memperhatikan Lisa yang sibuk mengunyah manisan gula itu.
"Mas juga makin jahat, komenin fisik orang." Mulut pintar Lisa membalas kalimat Tian dengan lugas, membuat seisi ruangan tertawa renyah.
"Sehat, Le?"
Pria yang duduk di porsi lain sofa membuka suara, seorang bapak-bapak pertengahan usia 50 dengan uban minimalis, bersetelan baju bunga aloha dan celana pendek santai. Dia adalah Om Moel, suami dari Imelda Cokro alias Bulik Melda. Om Moel adalah ayah Lisa.
"Sehat, Om." Tian menyalami Om Moel dengan sigap.
"Makin gagah ponakanku iki ...." Wanita yang memperhatikan Tian dari sudut sofa berkomentar, membuat tulang pipi Tian membulat akibat senyum yang tiba-tiba timbul.
"Bisa aja, Bulik." Tian mencium pipi Buliknya dengan sayang sekaligus menghitung dalam hati.
Tiga ... dua ... sa—
"Kapan rabi (nikah) kamu?" Suara Bulik Melda terdengar.
**
"Kapan rabi (nikah) kamu?" Suara Bulik Melda terdengar.Nah kan, pikir Tian. Lelaki itu tersenyum maklum."Belum nemu jodo, Bulik," jawabnya."Halah, alasannya begitu , Im! Padahal dia itu nolak terus lho, kalau mau aku kenalin ke anak-anak gadisnya temenku!" Ibunda Tian buka suara."Ealah, Le ... Le …." Bulik Melda hanya bisa menggelengkan kepala."Makanya, Mas Tian jangan kebanyakan body shaming!
Nisa tergopoh membawa setumpuk shopping bag hitam dengan barisan tulisan putih Ermenegildo Zegna. Ia mendorong terbuka pintu ruangan bosnya dengan punggung, berjalan mundur sambil memejamkan mata mengumpulkan keberanian."Tok-tok, ‘salamualaikum, plis jangan ngamuk dulu …," gumamnya penuh harap."Nisa! Kenapa kamu ‘iya’-kan?!" Gelegar Suara Bastian terdengar.Glek! Wanita muda itu merapatkan ka
Bastian melamun saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah pintu masuk gedung, di mana terdapat kerumunan manusia bagaikan semut mengerumuni timbunan gula—semut di sini adalah media, wartawan, dengan genggaman kamera serta flash-flash yang berkedip setiap detik, sahut menyahut memanggil nama orang-orang yang berpose untuk menoleh ke arah kamera mereka.Tian mendesah berat dari kursi belakang."Goodluck ya, Mas, semoga perusahaan kita nggak menang apa-apa tahun ini," bisik Gita yang duduk di sampingnya, memasangkan sepasang kacamata bundar di wajah Bastian seraya menyerukan harap yang membuat embusan napas Tian diwarnai tawa ringan.
Beberapa jam sebelumnya ...."Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?"Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award."Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer."Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan.
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih. Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela
Pintu kaca menyambut kedatangan Eva, di dalamnya terdapat meja panjang dikelilingi kursi yang sebagian besar telah terisi. Ada beberapa wajah familiar yang Eva kenal, namun sebagian lagi merupakan wajah-wajah baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. ‘Meeting apa pula ini?’ pikirnya. Eva membuka pintu, disambut tatapan beberapa orang yang sedang mengobrol santai. Dari atmosfernya, dapat iaterka bahwa meeting ini belum dimulai. "Loh, Eva? Tumben." Pak Bramono, lelaki tambun paruh baya dengan kumis tebal dan dasi biru muda bersuara dari ujung meja. Ia adalah salah satu anggota direksi stasiun TV di mana program berita Eva tersiar.
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da