Sungguh, pengalaman pertama yang sangat luar biasa.
“Kamu cantik sekali.” Farrel memuji sang istri yang berwajah masam.
“Nggak usah ngerayu!” ketus Dinara.
“Sungguh, kamu sangat cantik jika seperti ini.” Farrel tak gentar terus memuji keindahan di sebelahnya.
“Karena pake riasan aja kali.” Dinara menimpal jutek.
“Kita lihat saja nanti malam setelah riasan ini dihapus. Secantik apa istriku malam ini!” Farrel menatap dengan senyuman yang sangat manis.
Dinara mendadak merasakan desiran aneh dalam dirinya saat Farrel mengatakan kalimat yang terakhir.
“Itu artinya ... dia sungguhan menganggap pernikahan ini.” Dinara bergumam gelisah.
Di sisi lain, Yandra tersenyum lega. Karena putrinya telah menjadi seorang istri. Selain itu, ia pun senang karena lelaki yang dipilihnya adalah seseorang yang sangat tepat.
“Papa senang sekali. Kamu harus jadi istri yang baik, Dinara!” Yandra mendekap putrinya.
Dinara sama sekali tidak terharu apalagi menangis. Dasarnya dia memang tidak suka ada kesedihan dan air mata. Dia bukan gadis cengeng dan perasa. Saat ini hanya ada rasa kesal yang terus bergemuruh dalam hati.
Saat Dinara sedang menuju tempat lain, Yandra kembali berbincang dengan Farrel.
“Jaga dia baik-baik ya, Nak. Meskipun dia banyak kurangnya, tolong lengkapi dia dengan kelebihan yang kamu miliki. Hatiku sebagai orang tua sungguh yakin sekali, bahwa kamu lelaki yang tepat untuk menjadi suaminya. Kamu lelaki yang bertanggung jawab, bijaksana juga tegas. Begitu yang selalu mendiang ayahmu katakan padaku.” Yandra menepuk-nepuk bangga bahu Farrel.
Farrel mengangguk dan tersenyum. Ia tak mudah tersanjung dengan sebuah pujian. Baginya, ini adalah tanggung jawab yang sangat berat. Menikah dalam waktu yang begitu cepat tanpa ada pendekatan apa-apa. Ya, walaupun Dinara dan dirinya sudah belasan tahun saling mengenal, tetapi di antara mereka tak pernah ada hubungan yang lebih.
“Doakan kami selalu, Om. Mudah-mudahan aku bisa menjalankan tugasku sebagai suami dengan sebaik-baiknya.” Farrel tersenyum.
“Mulai sekarang jangan panggil Om. Panggil aku Papa. Karena saat ini aku adalah papamu juga, kan?” ujar Yandra.
Farrel tertawa kecil. “Ah, iya. Baiklah ... Papa.”
Ada hati yang terasa senang sekali. Meskipun mendiang ayah kandungnya telah pergi, tapi Farrel merasa Yandra seperti ayahnya sendiri. Bahkan Farrel tak pernah lupa sedikitpun segala kebaikan yang sudah Yandra berikan pada keluarganya setelah sang ayah wafat.
“Dinara itu sebetulnya gadis yang sangat baik. Hanya saja ... mungkin dia masih tersesat dalam mencari jati diri. Terkadang dia agak lugu dan polos! Keluguan itu dia tutupi dengan penampilannya yang urak-urakan itu! Jadi, kamu harus pandai-pandai menilainya!” seru Yandra sembari terkekeh.
“Iya, Pa. Aku mengerti itu.” Farrel pun tertawa. Meskipun biasanya penampilan Dinara sangat kelaki-lakian, tetapi hari ini Farrel melihat jiwa feminim dari sosok istrinya. Dinara dengan gaun pengantin itu terlihat sangat cantik dan manis. Penampilan itu seolah menghapus jejak sisi tomboynya.
Dinara yang sedang duduk di tempat lain sempat menoleh pada Farrel yang ternyata tengah menatapnya. Mata mereka bertemu, Dinara mendadak gugup saat melihat tatapan suaminya yang begitu dalam. Hingga terakhir, Farrel menyunggingkan senyuman seraya mengedipkan sebelah mata genit.
“Ihh. Apa-apaan dia!” Dinara membuang pandangan. Ada debaran aneh dalam dadanya. Hati kecilnya tak bisa berbohong kalau Farrel saat ini terlihat sangat mempesona.
Farrel tersenyum tipis melihat Dinara yang salah tingkah. Dia semakin bersemangat menjalani hari-hari setelah pernikahan itu.
“Papa sampaikan lagi sama kamu, agar hati-hati dalam mengawasi kegiatan istrimu itu. Setelah kalian menikah, belum tentu Dinara dan kekasih lamanya itu menyerah begitu saja. Jadi, sebisa mungkin kamu jangan lengah, Farrel!” Yandra kembali berujar.
“Iya, Pa. Aku paham.” Farrel menyunggingkan senyuman.
Hari yang sangat melelahkan untuk pemilik acara ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ibu Farrel dan adik perempuannya pun masih ada di kediaman Yandra. Mereka sudah menjadi keluarga saat ini, dan tengah menikmati hidangan makan malam.
“Ini sudah malam, Bu Emma. Lebih baik menginap saja dulu di rumah kami, kebetulan masih ada kamar kosong khusus tamu,” ujar Yandra sembari tersenyum ramah.
Emma menoleh pada putranya yang juga mengangguk. “Baiklah, Pak Yandra. Paling besok pagi, saya minta Farrel untuk mengantar kami pulang.”
“Ya, Bu. Aku bukan mengantar kalian, tapi pulang bersama kalian.” Farrel tersenyum. Pernyataan itu membuat Dinara yang sedang lahap makan mendadak terdiam.
‘Pulang? Dia mau pulang?’ Dinara hanya membatin. Namun, dari bibirnya terlihat sebuah senyuman yang tipis. Pikirnya Farrel tak akan betah tinggal bersamanya bahkan sejak pertama mereka menikah.
“Kamu serius, Farrel?” tanya Yandra.
Pria itu mengangguk yakin. “Ya, Om. Eh, Papa. Besok aku akan langsung pulang dan tinggal lagi sama Ibu. Dan ... Dinara akan ikut bersamaku.” Kali ini pernyataan itu membuat Dinara hampir saja tersedak.
“Apa?” Mulutnya masih penuh dengan makanan. Dinara terkejut. “Aku gak mau! Enak aja!”
“Dinara! Jaga sopan santun!” tegur Yandra dengan ekspresi serius. Ia merasa tak enak pada besannya karena sikap Dinara yang menolak.
Emma dan Renata adiknya Farrel, hanya saling pandang dalam diam. Mereka sebenarnya merasa sedikit segan dengan Dinara, karena sejak awal terkesan sangat cuek dan masa bodoan.
“Kamu kan sudah menjadi istriku.” Farrel menatap Dinara yang malah memutar bola mata dengan malas.
Ia hanya membuang napas. Kemudian berdiri dan beranjak menuju kamarnya di lantai atas. Farrel pun memilih menyudahi makan malamnya dan menyusul sang istri.
“Dinara, tunggu dong!” panggil Farrel.
Gadis yang menjadi istrinya itu tak menggubris. Ia terus berjalan sampai tiba di kamarnya.
Di dalam kamar, Dinara tampak kesal sembari duduk mengangkat sebelah kaki di sofa. Wajahnya masih full riasan yang belum sempat dibersihkan. Bahkan, sanggul di kepalanya pun masih terpasang. Meski sedang marah, dia tetap terlihat cantik.
“Nggak sopan loh kamu begitu, Din.” Farrel memasuki kamar itu dan mengunci pintu. “Kamu itu harus ingat, sekarang sudah menjadi seorang istri!”
Dinara mendengus kesal dan berkata, “Emang kenapa kalau aku sudah jadi istrimu?”
Next...
“Kamu harus patuh pada perintah suami. Apa pun yang aku perintahkan, kamu harus nurut!” kata Farrel sembari membuka kemeja pengantinnya.Dinara mengambil sebatang rokok yang tergeletak di atas meja, saat hendak memantik api, Farrel gegas menyambar rokok dari apitan jemari Dinara.“Kak Farrel apa-apaan sih. Sini gak?!” Dinara berdiri dan protes saat Farrel menghancurkan rokok itu dalam genggamannya.“Buang kebiasaan burukmu ini!” tegas Farrel.Dinara membuang napas kasar. Ekspresinya geram sekali tetapi dia malas untuk banyak berdebat. Karena hari ini sungguh melelahkan untuknya.“Terserah!” gumamnya.“Kamu paham tidak apa tujuannya menikah?” Farrel mendekat dan bertanya santai.“Nggak tau. Aku sih cuma karena gak mau kehilangan warisan!” jawab Dinara santai. Saat rokoknya di buang, kini ia beralih bermain game di ponsel. Sembari tiduran dengan posisi sebelah kaki di timpa ke kaki sebelahnya.Farrel tersenyum miris melihat keadaan istrinya itu. Matanya pun mengedar ke segala penjuru di
Farrel pun tertawa lepas. Puas melihat ekspresi terkejut di wajah cantik itu. Hingga membuat dekapannya kembali longgar. Dinara tak membuang kesempatan dan langsung mendorong Farrel ke sisi tempat tidur. Membuat dia bebas dari kungkungan sang suami.“Ahh, kamu cerdik sekali, Dinara.” Farrel mengaku kalah saat Dinara memanfaatkan situasi agar terlepas dari pelukannya.“Ini belum seberapa. Masih ada hari esok yang udah aku siapin buat bikin kamu nyesel udah nikahin aku!” kata Dinara percaya diri.Farrel hanya tersenyum fokus menatap kemelokan tubuh Dinara dalam balutan handuk putih. Lekuk tubuhnya terlihat indah, kulitnya bersih dan cerah. Rambutnya terurai ikal dan panjang. Cantik dan seksi sekali.“Lakukanlah apa yang kamu inginkan. Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus merasakan dulu kejantananku. Dan kamu lihat sendiri nanti, siapa yang akan menyesal!” Farrel menyeringai erotis. Membuat Dinara bergidik geli. Kini Farrel malah senang menggoda istrinya.“Aku bakal buat kamu menyesal ud
Dinara berusaha keras untuk kembali berpikir jernih. Mengenyampingkan pikiran joroknya yang sangat jauh. Dia mendadak teringat Theo. Sudah beberapa hari ini mereka tidak bertukar kabar. Tentu saja Dinara tidak memberitahu perihal pernikahannya itu.Ponselnya bergetar di atas nakas. Gegas ia meraih benda itu dan ada sebuah pesan yang masuk. Ia baru melihat ada puluhan pesan yang masuk. Dari teman-temannya yang mengucapkan selamat atas pernikahan itu, juga sebuah pesan dari Theo.Pernikahan itu memang tidak disembunyikan dari public. Jadilah teman-teman Dinara di kampus pun mengetahui hal ini. Karena seseorang yang sedang menempuh pendidikan sarjana pun sebetulnya tidak masalah jika ingin menikah. Asalkan nantinya tetap fokus dan menyelesaikan studinya dengan baik.‘Jahat kamu, Dinara. Kok tega sih kamu bohongin aku? Katanya kamu sibuk rawat ayahmu yang sakit, taunya malah kawin!’Itu pesan dari Theo yang Dinara baca. Dia bingung harus jawab apa saat tak bisa lagi menyembunyikan kenyata
Farrel menghela napas panjang. Tadinya dia sempat berniat untuk menghapus chat dari Theo. Tetapi ponsel Dinara terkunci. Pesan itu memang hanya tampil di layar utama saja.“Biarlah. Hitung-hitung aku ingin lihat sendiri bagaimana Dinara menyikapi chat dari lelaki ini. Aku ingin tau, seberani apa dia akan membohongi aku, atau ... dia akan sangat berani dan terang-terangan ingin menghianati pernikahan ini!” Farrel bergumam.Kemudian ia berjalan menuju tempat tidur dan melihat istrinya sudah tertidur pulas tanpa bersalah. Wajahnya tetap manis dan cantik meski tengah terlelap. Farrel menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah Dinara. Bulu matanya lentik dengan alis yang tebal dan rapih. Kulitnya lembut seperti perempuan yang gemar perawatan wajah.Lalu yang membuat Farrel sangat terpesona adalah saat menatap bibir tipis dan merah muda milik Dinara. Teringat saat pertama kali mengecupnya. Manis dan lembut sekali. Rasanya ingin selalu mengulangnya.
“Kalian cuma bertiga? Maksudku ... gak ada pembantu atau tukang kebun? Ya walaupun rumahnya gak sebesar rumah papaku, tapi tetep aja rumah kan butuh di urus dan dibersihkan!”“Sejak dulu kami gak terbiasa sewa asisten rumah tangga. Karena kami biasa beres-beres sendiri,” ujar Farrel. Ini membuat Dinara agak terkejut.“Kok gitu? Emangnya kalian bisa beres-beres rumah ditengah-tengah kesibukan kalian masing-masing?” tanya Dinara.“Apa masalahnya? Semua tergantung kita bisa mengatur waktu atau tidak. Kalau bangun lebih awal, semua pekerjaan pasti bisa diselesaikan.” Farrel tersenyum lagi. Dia terlihat begitu santai.“Masa? Alasan klasik. Paling juga kalau aku udah tinggal di sini, nanti aku yang suruh beres-beres rumah. Kerjain semua kerjaan rumah! Kan katanya mertua dan ipar itu selalu seperti itu sama menantu perempuan. Semena-mena sikapnya!” kata Dinara dengan nada ketus.Farrel tertawa ke
“Ah nggak tau! Pokoknya aku mau istirahat! Kasih aku waktu 1-2 jam ke depan buat istirahat! Fisik aku emang gak capek-capek banget, tapi hati aku yang capek!” balas Dinara.Farrel pun hanya tersenyum dan mengangguk paham. Alasan Dinara yang terakhir masih dapat ia maklumi dengan baik.“Baiklah. Aku ke depan dulu kalau gitu. Dan misal butuh apa-apa tinggal bilang. Jangan sungkan.” Farrel kemudian beranjak dari kamarnya.Dinara merasa lega sekali. Ia langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kamar ini cukup nyaman untuknya. Vibes-nya terasa tenang dan damai. Udaranya juga cukup sejuk. Tentu saja jauh berbeda dengan di Jakarta. Karena rumah Farrel terletak di kawasan Bandung yang dikenal dengan cuacanya yang lebih sejuk dan alami.Dalam hatinya mendadak tercipta rasa takut yang entah apa solusi menghilangkannya. Dinara hanya bingung, akan berapa lama pernikahan ini berlangsung dan apakah ini langkah yang tepat untuk masa depannya?
“Hm ... kayaknya nggak deh, Kak. Aku mau di rumah aja. Minggu depan aku ada ujian kuliah, aku harus selesain tugas-tugas dulu.” Dinara pandai mencari alasan.Farrel mengangguk paham. “Oke. Kalau ada apa-apa, kamu bilang aja sama Ibu. Dia selalu ada di rumah.”Dinara tak menggubris. Dia merasa lega karena malam ini pasti akan menjadi malam kemenangannya karena akan bertemu kembali dengan Theo. Kemudian ia teringat soal perhiasan di nakas tadi.“Kak Farrel kenapa harus bohong sih?” kata Dinara yang mendadak membuat Farrel menautkan kedua alis.“Maksudnya?” Farrel bingung. Ia baru saja akan bergegas menuju kamar mandi.Dinara mengambil kotak perhiasan mahal itu dan menunjukkannya pada Farrel. Andaikan itu benar milik wanita lain, maka Dinara akan membuat perjanjian dan menuntut kebebasan dari suaminya. Agar sama-sama adil.“Ini punya pacar kamu kan? Cantik banget. Dan beruntungnya dia punya
Dinara melipat bibir. Ada rasa gugup yang mulai menyergap. Ia menarik napas lalu menjelaskan. “Pernikahan ini bukan dasar cinta. Aku hanya sedang berjuang agar tetap mendapatkan warisan.”“Kalau begitu buat apa kita bertemu? Kalau ternyata cinta akan tetap kalah dengan warisan!” Theo tampak kesal dan seolah menyindir.“Theo, aku gak bisa gitu aja melawan keinginan papaku. Dia sakit sungguhan. Aku gak mungkin ninggalin dia, kan? Aku juga gak mau hidup melarat setelah namaku dihapus dari daftar warisan! Nggak adil kalau begitu. Ayolah, ngertiin aku, Theo!” Dinara terus menjelaskan.Theo hanya terdiam dan menyunggingkan senyuman tipis. “Harusnya kalau kamu cinta ya buktikan sama orang tuamu. Kalau hubungan kita ini layak untuk diperjuangkan! Lagian kenapa papamu benci banget sih sama aku?”Dinara menarik napas dalam. “Karena kamu anak dari lawan bisnisnya. Dia mengira kamu manfaatin hubungan kita buat menghancurkan bisnisnya. Tapi aku gak percaya itu semua!”Theo terkekeh. “Sejahat ituka