Farrel menghela napas panjang. Tadinya dia sempat berniat untuk menghapus chat dari Theo. Tetapi ponsel Dinara terkunci. Pesan itu memang hanya tampil di layar utama saja.
“Biarlah. Hitung-hitung aku ingin lihat sendiri bagaimana Dinara menyikapi chat dari lelaki ini. Aku ingin tau, seberani apa dia akan membohongi aku, atau ... dia akan sangat berani dan terang-terangan ingin menghianati pernikahan ini!” Farrel bergumam.
Kemudian ia berjalan menuju tempat tidur dan melihat istrinya sudah tertidur pulas tanpa bersalah. Wajahnya tetap manis dan cantik meski tengah terlelap. Farrel menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah Dinara. Bulu matanya lentik dengan alis yang tebal dan rapih. Kulitnya lembut seperti perempuan yang gemar perawatan wajah.
Lalu yang membuat Farrel sangat terpesona adalah saat menatap bibir tipis dan merah muda milik Dinara. Teringat saat pertama kali mengecupnya. Manis dan lembut sekali. Rasanya ingin selalu mengulangnya.
“Kalian cuma bertiga? Maksudku ... gak ada pembantu atau tukang kebun? Ya walaupun rumahnya gak sebesar rumah papaku, tapi tetep aja rumah kan butuh di urus dan dibersihkan!”“Sejak dulu kami gak terbiasa sewa asisten rumah tangga. Karena kami biasa beres-beres sendiri,” ujar Farrel. Ini membuat Dinara agak terkejut.“Kok gitu? Emangnya kalian bisa beres-beres rumah ditengah-tengah kesibukan kalian masing-masing?” tanya Dinara.“Apa masalahnya? Semua tergantung kita bisa mengatur waktu atau tidak. Kalau bangun lebih awal, semua pekerjaan pasti bisa diselesaikan.” Farrel tersenyum lagi. Dia terlihat begitu santai.“Masa? Alasan klasik. Paling juga kalau aku udah tinggal di sini, nanti aku yang suruh beres-beres rumah. Kerjain semua kerjaan rumah! Kan katanya mertua dan ipar itu selalu seperti itu sama menantu perempuan. Semena-mena sikapnya!” kata Dinara dengan nada ketus.Farrel tertawa ke
“Ah nggak tau! Pokoknya aku mau istirahat! Kasih aku waktu 1-2 jam ke depan buat istirahat! Fisik aku emang gak capek-capek banget, tapi hati aku yang capek!” balas Dinara.Farrel pun hanya tersenyum dan mengangguk paham. Alasan Dinara yang terakhir masih dapat ia maklumi dengan baik.“Baiklah. Aku ke depan dulu kalau gitu. Dan misal butuh apa-apa tinggal bilang. Jangan sungkan.” Farrel kemudian beranjak dari kamarnya.Dinara merasa lega sekali. Ia langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kamar ini cukup nyaman untuknya. Vibes-nya terasa tenang dan damai. Udaranya juga cukup sejuk. Tentu saja jauh berbeda dengan di Jakarta. Karena rumah Farrel terletak di kawasan Bandung yang dikenal dengan cuacanya yang lebih sejuk dan alami.Dalam hatinya mendadak tercipta rasa takut yang entah apa solusi menghilangkannya. Dinara hanya bingung, akan berapa lama pernikahan ini berlangsung dan apakah ini langkah yang tepat untuk masa depannya?
“Hm ... kayaknya nggak deh, Kak. Aku mau di rumah aja. Minggu depan aku ada ujian kuliah, aku harus selesain tugas-tugas dulu.” Dinara pandai mencari alasan.Farrel mengangguk paham. “Oke. Kalau ada apa-apa, kamu bilang aja sama Ibu. Dia selalu ada di rumah.”Dinara tak menggubris. Dia merasa lega karena malam ini pasti akan menjadi malam kemenangannya karena akan bertemu kembali dengan Theo. Kemudian ia teringat soal perhiasan di nakas tadi.“Kak Farrel kenapa harus bohong sih?” kata Dinara yang mendadak membuat Farrel menautkan kedua alis.“Maksudnya?” Farrel bingung. Ia baru saja akan bergegas menuju kamar mandi.Dinara mengambil kotak perhiasan mahal itu dan menunjukkannya pada Farrel. Andaikan itu benar milik wanita lain, maka Dinara akan membuat perjanjian dan menuntut kebebasan dari suaminya. Agar sama-sama adil.“Ini punya pacar kamu kan? Cantik banget. Dan beruntungnya dia punya
Dinara melipat bibir. Ada rasa gugup yang mulai menyergap. Ia menarik napas lalu menjelaskan. “Pernikahan ini bukan dasar cinta. Aku hanya sedang berjuang agar tetap mendapatkan warisan.”“Kalau begitu buat apa kita bertemu? Kalau ternyata cinta akan tetap kalah dengan warisan!” Theo tampak kesal dan seolah menyindir.“Theo, aku gak bisa gitu aja melawan keinginan papaku. Dia sakit sungguhan. Aku gak mungkin ninggalin dia, kan? Aku juga gak mau hidup melarat setelah namaku dihapus dari daftar warisan! Nggak adil kalau begitu. Ayolah, ngertiin aku, Theo!” Dinara terus menjelaskan.Theo hanya terdiam dan menyunggingkan senyuman tipis. “Harusnya kalau kamu cinta ya buktikan sama orang tuamu. Kalau hubungan kita ini layak untuk diperjuangkan! Lagian kenapa papamu benci banget sih sama aku?”Dinara menarik napas dalam. “Karena kamu anak dari lawan bisnisnya. Dia mengira kamu manfaatin hubungan kita buat menghancurkan bisnisnya. Tapi aku gak percaya itu semua!”Theo terkekeh. “Sejahat ituka
“Papa?” Theo menelan ludah saat melihat ayahnya berdiri tepat di depan mobilnya. Ia pun keluar dan menghampiri pria paruh baya itu.“Aku pikir Papa masih di luar negeri.” Theo menatap heran dan cenderung gugup.Pria dihadapannya tersenyum tipis dan melirik singkat ke arah mobil Theo yang didalamnya terdapat seorang perempuan tengah mabuk berat.“Apa kamu sudah tau tentang dia?” tanya Marva, ayah Theo. Nada bicaranya terkesan dingin dan mengintimidasi.Theo mengangguk dan menunduk. “Aku tau, Pa.”Marva menyeringai dan mendengus. “Lantas untuk apa kamu bersama dia sekarang?”Theo mengangkat wajah dan berusaha bersikap tegas. “Aku cinta sama dia, Pa. Kami saling mencintai. Tidakkah kalian sebagai orang tua memahami hal itu?”“Cinta? Heh. Omong kosong!” gumam Marva dengan seringaian mengejek. “Kalau dia cinta sama kamu, kenapa dia nikah sama orang la
Sementara Dinara tak henti meracau dan ingin sekali dituntaskan hasratnya. Berulang kali ia mendesis dan mendesah. Gejolaknya kian memuncak seiring detik terus berlalu. Ia setengah sadar merasakan semuanya.“Dinara? Kamu dengar aku?” Theo menepuk pipi. Memastikan kesadaran Dinara.“Ayo, lakukanlah. Aku ... tidak tahan!” Dinara menggeliyat resah dan tampak erotis.“Sepertinya Dinara salah minum tadi. Ya, ada yang salah dengan minuman itu.” Theo mendadak canggung. Hatinya berkali-kali berusaha mengingatkan bahwa memang ada yang janggal malam ini. Terutama dengan Dinara yang mendadak begitu terangsang setelah minum.Theo sendiri masih bingung sebenarnya. Darimana asal minuman itu sehingga membuat Dinara seperti ini. Namun, tak mau ambil pusing. Kebahagiaan dan kenikmatan sudah ada di depan mata.“Pasti minuman itu untuk orang lain yang sudah dicampur obat. Tapi salah sasaran! Entahlah, ini sepertinya anugerah
Sebelumnya Ervin memberitahu Farrel di kamar mana Theo memesan kamar. Ia juga menyelidiki apa yang terjadi di klub malam melalui temannya yang memiliki koneksi besar di beberapa club. Setelah Farrel tiba di hotel dan bergegas menuju kamar Theo, Ervin sudah sigap bersama sekuriti untuk mengikuti Farrel, karena sudah dipastikan akan terjadi keributan.Sementara itu Farrel berusaha menenangkan diri setelah perseteruannya tadi dengan Theo. Ternyata dugaan Yandra selama ini benar, kalau Theo hanya memanfaatkan hubungannya dengan Dinara demi kepentingan pribadi. Entah cinta Theo tulus atau tidak, yang jelas Farrel tak akan lagi memberikan celah untuk Dinara dan lelaki itu bertemu lagi.“Kak Farrel ....” Dinara masih merengkuh di atas pembaringan. Semakin lama hasratnya kian memuncak dan sulit lagi untuk dikendalikan. “Kak ... aku pengen.”Farrel menoleh cepat dan melihat istrinya sedang mengulurkan tangan padanya. “Dia semakin kacau saja.
“Kamu itu mau jadi pengusaha hebat kok cepat banget menyerah sih? Gimana mau sukses menaklukan lawan bisnis kalau sifat kamu saja seperti pecundang!” cibir Marva.“Dengar, jangan karena Dinara malam ini bisa tidur dengan suaminya, dia akan luluh secepat itu! Bukankah kalian saling mencintai? Gunakan alasan itu. Dan jadikan si kacung itu kambing hitam atas kejadian ini.” Marva berujar serius.Theo sempat tak mengerti, tetapi setelah dipikir kembali, ide sang ayah cukup cemerlang juga.“Ini bukan masalah tubuh Dinara sudah dipakai oleh suaminya atau belum, tapi soal kalian dapat bersatu atau tidak, demi perusahaan dan masa depan kalian, Theo! Rebut Dinara! Karena dia hanya milikmu, dia hanya cocok denganmu. Kalian sama-sama anak pengusaha besar. Tidak akan bisa disandingi dengan Farrel si kacung itu!” Marva terus menghujani hasutan-hasutan pada putranya agar terus berjuang.Theo pun selalu goyah dengan hasutan halus sang