“Papa?” Theo menelan ludah saat melihat ayahnya berdiri tepat di depan mobilnya. Ia pun keluar dan menghampiri pria paruh baya itu.“Aku pikir Papa masih di luar negeri.” Theo menatap heran dan cenderung gugup.Pria dihadapannya tersenyum tipis dan melirik singkat ke arah mobil Theo yang didalamnya terdapat seorang perempuan tengah mabuk berat.“Apa kamu sudah tau tentang dia?” tanya Marva, ayah Theo. Nada bicaranya terkesan dingin dan mengintimidasi.Theo mengangguk dan menunduk. “Aku tau, Pa.”Marva menyeringai dan mendengus. “Lantas untuk apa kamu bersama dia sekarang?”Theo mengangkat wajah dan berusaha bersikap tegas. “Aku cinta sama dia, Pa. Kami saling mencintai. Tidakkah kalian sebagai orang tua memahami hal itu?”“Cinta? Heh. Omong kosong!” gumam Marva dengan seringaian mengejek. “Kalau dia cinta sama kamu, kenapa dia nikah sama orang la
Sementara Dinara tak henti meracau dan ingin sekali dituntaskan hasratnya. Berulang kali ia mendesis dan mendesah. Gejolaknya kian memuncak seiring detik terus berlalu. Ia setengah sadar merasakan semuanya.“Dinara? Kamu dengar aku?” Theo menepuk pipi. Memastikan kesadaran Dinara.“Ayo, lakukanlah. Aku ... tidak tahan!” Dinara menggeliyat resah dan tampak erotis.“Sepertinya Dinara salah minum tadi. Ya, ada yang salah dengan minuman itu.” Theo mendadak canggung. Hatinya berkali-kali berusaha mengingatkan bahwa memang ada yang janggal malam ini. Terutama dengan Dinara yang mendadak begitu terangsang setelah minum.Theo sendiri masih bingung sebenarnya. Darimana asal minuman itu sehingga membuat Dinara seperti ini. Namun, tak mau ambil pusing. Kebahagiaan dan kenikmatan sudah ada di depan mata.“Pasti minuman itu untuk orang lain yang sudah dicampur obat. Tapi salah sasaran! Entahlah, ini sepertinya anugerah
Sebelumnya Ervin memberitahu Farrel di kamar mana Theo memesan kamar. Ia juga menyelidiki apa yang terjadi di klub malam melalui temannya yang memiliki koneksi besar di beberapa club. Setelah Farrel tiba di hotel dan bergegas menuju kamar Theo, Ervin sudah sigap bersama sekuriti untuk mengikuti Farrel, karena sudah dipastikan akan terjadi keributan.Sementara itu Farrel berusaha menenangkan diri setelah perseteruannya tadi dengan Theo. Ternyata dugaan Yandra selama ini benar, kalau Theo hanya memanfaatkan hubungannya dengan Dinara demi kepentingan pribadi. Entah cinta Theo tulus atau tidak, yang jelas Farrel tak akan lagi memberikan celah untuk Dinara dan lelaki itu bertemu lagi.“Kak Farrel ....” Dinara masih merengkuh di atas pembaringan. Semakin lama hasratnya kian memuncak dan sulit lagi untuk dikendalikan. “Kak ... aku pengen.”Farrel menoleh cepat dan melihat istrinya sedang mengulurkan tangan padanya. “Dia semakin kacau saja.
“Kamu itu mau jadi pengusaha hebat kok cepat banget menyerah sih? Gimana mau sukses menaklukan lawan bisnis kalau sifat kamu saja seperti pecundang!” cibir Marva.“Dengar, jangan karena Dinara malam ini bisa tidur dengan suaminya, dia akan luluh secepat itu! Bukankah kalian saling mencintai? Gunakan alasan itu. Dan jadikan si kacung itu kambing hitam atas kejadian ini.” Marva berujar serius.Theo sempat tak mengerti, tetapi setelah dipikir kembali, ide sang ayah cukup cemerlang juga.“Ini bukan masalah tubuh Dinara sudah dipakai oleh suaminya atau belum, tapi soal kalian dapat bersatu atau tidak, demi perusahaan dan masa depan kalian, Theo! Rebut Dinara! Karena dia hanya milikmu, dia hanya cocok denganmu. Kalian sama-sama anak pengusaha besar. Tidak akan bisa disandingi dengan Farrel si kacung itu!” Marva terus menghujani hasutan-hasutan pada putranya agar terus berjuang.Theo pun selalu goyah dengan hasutan halus sang
“Apa aku punya kesempatan untuk menjelaskan sesuatu sama kamu?” Farrel kembali bersuara.Mati-matian Dinara menahan tangis, pada akhirnya air mata itu tak bisa lagi ia bendung. Hatinya terlanjur sakit. Kalau semalam ia terbakar api gairah, tetapi pagi ini ia malah terbakar emosi setelah mengetahui kenyataan ini.Farrel langsung menekan tombol on di remot tv. Kemudian layar tv itu memperlihatkan sebuah rekaman video yang tampak sekilas seperti di kamar itu. Dinara mengangkat wajah dan melihat sendiri apa yang terjadi dalam video itu.“Theo?” Dinara menyipitkan mata saat ia memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi semalam.Dia melihat sendiri bagaimana Theo yang sengaja merekam dan menghampirinya di atas kasur. Dinara malu melihat dirinya tengah kacau semalam, seperti wanita murahan yang merengek dituntaskan hasratnya. Sampai pada Farrel datang dan dua pria itu berseteru. Dalam video itu, Dinara melihat jelas Theo memuk
“Tapi papamu tadi baru saja pergi. Kamu mau bertemu siapa di rumah?” tanya Farrel.“Tidak apa. Antar saja aku ke sana. Aku hanya rindu dengan suasana rumah.” Dinara tersenyum getir.Farrel mengangguk dan berkata, “Baiklah, tapi sebelum itu, kita sarapan dulu ya?”Hening. Dinara masih tak lapar sebetulnya. Namun, Farrel terus memaksa agar ia mau makan. Karena semakin tak tega melihat wajah sang istri yang tampak pucat.“Aku khawatir kamu sakit loh, Din. Atau makanannya di siapkan di kamar aja, mau?” Farrel terus membujuk.Dinara menatap suaminya. Ia mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau ia menyetujui usul suaminya.“Oke. Kalau gitu aku mau minta pelayan buat bawain makanan kita.” Farrel beranjak dan menghubungi pelayan hotel agar mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan.Tak lama kemudian, makanan pun sudah tersaji di meja kamar. Dinara
Wajahnya memasang rona kemarahan dengan mata yang memicing tajam. Tangannya mengepal erat di atas wastafel. Membayangkan dirinya mencabik-cabik tubuh Theo dan melemparnya ke kandang macan yang lapar.“Awas saja kamu, Theo.” Dinara semakin mengepal erat tangannya. Hingga suara ketukan di balik pintu kamar membuyarkan khayalannya dalam misi menghancurkan Theo.“Din, kamu di dalam kan?” Farrel mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.Dinara memejamkan mata dan membuang napas perlahan.“Iya, Kak.”“Cepatlah, aku mau bicara sama kamu,” ucap Farrel.Dinara membuka pintu kamar mandi, memperlihatkan wajahnya yang hanya bereskpresi datar dan dingin. Farrel semakin tercengang saat melihat wajah Dinara kembali pucat.“Loh, kamu kok pucat lagi, Din? Kamu sakit?” Farrel tampak cemas.Dinara sendiri sebenarnya hanya merasa kelelahan ditambah ia pun cemas karena melihat bercak darah dari b
Farrel menyunggingkan senyuman. Hatinya merasa tersentuh mendengar hal itu.“Kenapa kamu harus takut hamil? Andaikan kamu hamil kan gak masalah. Toh, kita juga sudah sah menjadi suami istri.” Farrel tampak memancing arah pembicaraan.“Kamu tau aku perempuan seperti apa, kan? Ngurus diri sendiri aja belum becus, gak kebayang kalau harus hamil dan punya anak!” Dinara menatap kosong dan gelisah.Farrel merangkul sang istri. Mengusap untaian hitam legam itu dengan lembut. Bahkan, dengan gerakan perlahan Dinara pun tak menolak sentuhan suaminya. Ia terlihat lebih tenang dan merasa nyaman jika berada di sisi Farrel. Mungkin sejak kecil ia sudah terbiasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Farrel layaknya seorang kakak.Namun, untuk hal sekarang, Dinara masih tak mengerti dengan perasaannya. Apakah ia akan namai hubungan ini sebagai kakak adik, atau layaknya suami dan istri? Yang jelas, semenjak kejadian kemarin, hati Dinara seper