“Kamu harus patuh pada perintah suami. Apa pun yang aku perintahkan, kamu harus nurut!” kata Farrel sembari membuka kemeja pengantinnya.
Dinara mengambil sebatang rokok yang tergeletak di atas meja, saat hendak memantik api, Farrel gegas menyambar rokok dari apitan jemari Dinara.
“Kak Farrel apa-apaan sih. Sini gak?!” Dinara berdiri dan protes saat Farrel menghancurkan rokok itu dalam genggamannya.
“Buang kebiasaan burukmu ini!” tegas Farrel.
Dinara membuang napas kasar. Ekspresinya geram sekali tetapi dia malas untuk banyak berdebat. Karena hari ini sungguh melelahkan untuknya.
“Terserah!” gumamnya.
“Kamu paham tidak apa tujuannya menikah?” Farrel mendekat dan bertanya santai.
“Nggak tau. Aku sih cuma karena gak mau kehilangan warisan!” jawab Dinara santai. Saat rokoknya di buang, kini ia beralih bermain game di ponsel. Sembari tiduran dengan posisi sebelah kaki di timpa ke kaki sebelahnya.
Farrel tersenyum miris melihat keadaan istrinya itu. Matanya pun mengedar ke segala penjuru di kamar yang lumayan besar tetapi aneh menurutnya.
“Menikah itu artinya kita punya teman hidup untuk berbagi cerita dan keluh kesah. Kita akan melengkapi satu sama lain. Dan mulai sekarang, apa pun yang mau kamu lakukan, kamu harus izin dulu sama aku. Kamu bukan single lagi sekarang! Jadi, kamu tanggung jawabku!” ujar Farrel bersungut-sungut.
“Hmm. Ah, sial!” Dinara asyik sendiri dengan game-nya. Ia mendengar ucapan suaminya, tetapi benaknya tetap tertuju pada layar ponsel.
Farrel hanya menggeleng pelan. Dinara benar-benar akan sulit di atur jika dia tidak segera bertindak tegas.
Farrel melangkah cepat dan langsung mengambil ponsel Dinara. “Cukup!!! Kamu bukan anak kecil lagi! Sekarang bersihkan dirimu. Malam ini adalah malam pengantin kita. Jadi, kamu harus dengarkan semua kata-kataku!”
Dinara pun berdiri. Dia menatap wajah Farrel yang terlihat marah. Apalagi dengan kalimat terakhirnya.
“Jangan liat aku begitu. Cepat mandi! Atau mau mandi bareng?” Farrel menaikkan sebelah alis tebalnya. Itu membuat Dinara mendadak mengerjapkan mata.
“Males ah. Kamu aja mandi sana!” Dinara membuang muka dan melipat tangan di dada.
“Ohh, jadi mulai bantah perintah suami? Kamu ... menolak melayani suami malam ini?” Farrel menantang. Ekspresi wajahnya pun sengaja dibuat begitu percaya diri.
“Kak Farrel ngomong apa sih! Jangan ngaco deh! Inget ya. Kita itu nikah tanpa cinta. Jadi, jangan berharap bisa ML sama aku!” pungkas Dinara sembari berjalan menuju kamar mandi.
Farrel tersenyum sendiri. Gadis itu sangat unik menurutnya. Dia memang sering membantah, tetapi ujungnya akan nurut juga.
Di dalam kamar mandi, Dinara menatap dirinya dalam pantulan cermin. Wajahnya masih terbalut make up yang cukup tebal. Dalam hatinya pun mengakui, bahwa dirinya sangat cantik jika berdandan seperti ini. Namun, sayang sekali, dia lebih senang berpenampilan seperti laki-laki daripada mengenakan pakaian feminim.
Ia mengambil salah satu skincare untuk menghapus make up dan pembersih wajahnya. Sesuai dengan arahan perias tadi pagi. Dinara tidak terlalu buta pada make up dan perawatan semacamnya, tetapi dia hanya menggunakan sebutuhnya saja.
Tidak seperti gadis-gadis lain yang gemar mengoleksi skincare dan make up hingga berbagai merk. Bukan karena tak mampu beli, tapi memang dia tidak terlalu suka saja. Dia lebih suka mengoleksi motor, kaus oblong, celana jeans dan sepatu-sepatu sneakers.
Dinara mulai membuka pakaian sampai tubuhnya tak memakai sehelai benang pun. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi, memastikan sudah menguncinya. Takut jika tiba-tiba suaminya menerobos masuk tanpa izin. Ah, itu mengerikan sekali. Dinara langsung menyalakan shower dan berguyur di bawahnya.
Selesai mandi, Dinara segera membalut tubuhnya dengan handuk.
“Aduh! Mampus deh gue! Lupa bawa baju ganti!” gumamnya dengan panik. Bagaimana ini?
“Ah bodo amat deh. Keluar aja begini. Toh, Kak Farrel gak mungkin macem-macem kan? Kalau dia macem-macem gue tonjok aja!” Dinara menarik napas panjang. Ia memang tidak suka banyak berpikir dan berdrama. Pikirannya selalu saja spontan seperti lelaki.
Pintu kamar mandi terbuka. Dinara melihat suaminya sedang duduk di sofa sembari bersandar dan terlihat memajamkan mata. Dinara dapat melihat raut lelah di wajah suaminya yang tertidur. Di sisi lain ia merasa lega, tetapi di sisi lain, merasa kasihan.
Sejauh ini, mereka belum pernah berkomunikasi secara intens, walau hanya sekedar menanyakan mengapa Farrel bisa menyetujui pernikahan ini.
Dinara melangkah ke arah lemari besar. Mencari pakaian tidurnya, ia terperanjat kaget saat ada seseorang yang mendekapnya dari belakang.
“Kak Farrel? Lepas, gak!” Dinara memberontak cepat. Hingga posisi mereka saling berhadapan saat ini.
“Kenapa? Kamu sudah sah menjadi milikku seutuhnya!” kata Farrel dengan lembut. “Aku jadi ingat ciuman pertama kita di altar tadi. Manis bukan?!”
“Iyuhhh!!”
“Aku udah bilang tadi. Jangan berharap bisa menyentuh aku tau!! Minggir, aku mau pake baju!” Dinara gegas melangkah ke arah kamar mandi, tetapi lengannya berhasil dicekal oleh Farrel.
Posisi mereka semakin dekat saat ini, tubuh mereka hanya terhalang kain-kain yang mereka kenakan. Dinara mendadak tercekat saat melihat tatapan mata suaminya. Farrel sangat tampan.
“Kak ... jangan macem-macem!” tekan Dinara, berusaha berontak. Namun, tenaganya tak cukup kuat untuk melawan Farrel yang kini malah mendekapnya.
Farrel dengan cepat mengangkat Dinara dan membaringkannya di atas kasur.
“Eh, eh, eh. Jangan kurang ajar!” geram Dinara.
“Siapa yang kurang ajar? Mau nikmatin malam pertama sama istri kok dibilang kurang ajar!” timpal Farrel.
Napas Dinara naik turun dengan berat. Ia tak ingin menyerahkan kesuciannya pada Farrel. Ya, Dinara memang masih perawan. Meskipun pergaulannya cukup liar, tetapi dia mempunyai prinsip untuk tidak mendekati seks bebas.
“Kamu cantik sekali, Dinara. Kamu sangat menawan dan mempesona.” Farrel memuji sang istri yang kini berada di bawah kungkungannya.
Dinara berkali-kali menelan ludah. Rasanya mendadak tak berdaya untuk melawan. Ia pun tengah lelah sekali akhir-akhir ini. Tak bertenaga untuk bersitegang dengan keinginan orang tua hingga membawanya ke titik sekarang ini.
Farrel mendekatkan wajahnya. Hanya tinggal beberapa inci saja jarak wajah mereka berdua. Mata mereka saling terkunci. Dinara merasakan sensasi hangat di sekujur tubuhnya. Pemandangan di depan wajahnya pun sungguh mengagumkan. Farrel memiliki alis mata yang tebal, hidung mancung, dan bibirnya yang tipis berwarna segar.
Dinara bahkan membayangkan sesuatu yang lebih jauh. Melumat bibir itu dengan rakus dan enggan melepasnya.
“Apa yang kamu bayangkan, hm?” Suara sensual Farrel berhasil membuyarkan lamunan Dinara. Hampir saja dia terbuai dengan suasana. Cepat-cepat Dinara menepis semua pikiran joroknya.
“Aku gak nyangka ya. Cowok yang terkenal cool, lugu, dan polos ini ternyata cukup liar kalau di kamar!” cibir Dinara. Dia selalu terlihat tenang dan santai. Kalau gadis lain pasti sudah berteriak ketakutan saat diperlakukan seperti itu oleh pria asing yang tak dicintainya.
Farrel menyunggingkan senyuman manis. “Ya kamu benar. Aku akan menunjukkan sisi liar dan gairahku hanya pada yang berhak memiliki.”
“Halahh, modus!! Aslinya emang begini aja! Kadang cowok kayak kamu tuh cuma sok polos. Aslinya mah mesum abizz!” kekeh Dinara.
Namun, saat itu juga Farrel semakin merekatkan tubuh mereka. Bahkan ia mulai berniat ingin menanggalkan handuk yang melilit di tubuh istrinya. Membuat Dinara memekik.
“Jangan!!”
Next...
Farrel pun tertawa lepas. Puas melihat ekspresi terkejut di wajah cantik itu. Hingga membuat dekapannya kembali longgar. Dinara tak membuang kesempatan dan langsung mendorong Farrel ke sisi tempat tidur. Membuat dia bebas dari kungkungan sang suami.“Ahh, kamu cerdik sekali, Dinara.” Farrel mengaku kalah saat Dinara memanfaatkan situasi agar terlepas dari pelukannya.“Ini belum seberapa. Masih ada hari esok yang udah aku siapin buat bikin kamu nyesel udah nikahin aku!” kata Dinara percaya diri.Farrel hanya tersenyum fokus menatap kemelokan tubuh Dinara dalam balutan handuk putih. Lekuk tubuhnya terlihat indah, kulitnya bersih dan cerah. Rambutnya terurai ikal dan panjang. Cantik dan seksi sekali.“Lakukanlah apa yang kamu inginkan. Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus merasakan dulu kejantananku. Dan kamu lihat sendiri nanti, siapa yang akan menyesal!” Farrel menyeringai erotis. Membuat Dinara bergidik geli. Kini Farrel malah senang menggoda istrinya.“Aku bakal buat kamu menyesal ud
Dinara berusaha keras untuk kembali berpikir jernih. Mengenyampingkan pikiran joroknya yang sangat jauh. Dia mendadak teringat Theo. Sudah beberapa hari ini mereka tidak bertukar kabar. Tentu saja Dinara tidak memberitahu perihal pernikahannya itu.Ponselnya bergetar di atas nakas. Gegas ia meraih benda itu dan ada sebuah pesan yang masuk. Ia baru melihat ada puluhan pesan yang masuk. Dari teman-temannya yang mengucapkan selamat atas pernikahan itu, juga sebuah pesan dari Theo.Pernikahan itu memang tidak disembunyikan dari public. Jadilah teman-teman Dinara di kampus pun mengetahui hal ini. Karena seseorang yang sedang menempuh pendidikan sarjana pun sebetulnya tidak masalah jika ingin menikah. Asalkan nantinya tetap fokus dan menyelesaikan studinya dengan baik.‘Jahat kamu, Dinara. Kok tega sih kamu bohongin aku? Katanya kamu sibuk rawat ayahmu yang sakit, taunya malah kawin!’Itu pesan dari Theo yang Dinara baca. Dia bingung harus jawab apa saat tak bisa lagi menyembunyikan kenyata
Farrel menghela napas panjang. Tadinya dia sempat berniat untuk menghapus chat dari Theo. Tetapi ponsel Dinara terkunci. Pesan itu memang hanya tampil di layar utama saja.“Biarlah. Hitung-hitung aku ingin lihat sendiri bagaimana Dinara menyikapi chat dari lelaki ini. Aku ingin tau, seberani apa dia akan membohongi aku, atau ... dia akan sangat berani dan terang-terangan ingin menghianati pernikahan ini!” Farrel bergumam.Kemudian ia berjalan menuju tempat tidur dan melihat istrinya sudah tertidur pulas tanpa bersalah. Wajahnya tetap manis dan cantik meski tengah terlelap. Farrel menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah Dinara. Bulu matanya lentik dengan alis yang tebal dan rapih. Kulitnya lembut seperti perempuan yang gemar perawatan wajah.Lalu yang membuat Farrel sangat terpesona adalah saat menatap bibir tipis dan merah muda milik Dinara. Teringat saat pertama kali mengecupnya. Manis dan lembut sekali. Rasanya ingin selalu mengulangnya.
“Kalian cuma bertiga? Maksudku ... gak ada pembantu atau tukang kebun? Ya walaupun rumahnya gak sebesar rumah papaku, tapi tetep aja rumah kan butuh di urus dan dibersihkan!”“Sejak dulu kami gak terbiasa sewa asisten rumah tangga. Karena kami biasa beres-beres sendiri,” ujar Farrel. Ini membuat Dinara agak terkejut.“Kok gitu? Emangnya kalian bisa beres-beres rumah ditengah-tengah kesibukan kalian masing-masing?” tanya Dinara.“Apa masalahnya? Semua tergantung kita bisa mengatur waktu atau tidak. Kalau bangun lebih awal, semua pekerjaan pasti bisa diselesaikan.” Farrel tersenyum lagi. Dia terlihat begitu santai.“Masa? Alasan klasik. Paling juga kalau aku udah tinggal di sini, nanti aku yang suruh beres-beres rumah. Kerjain semua kerjaan rumah! Kan katanya mertua dan ipar itu selalu seperti itu sama menantu perempuan. Semena-mena sikapnya!” kata Dinara dengan nada ketus.Farrel tertawa ke
“Ah nggak tau! Pokoknya aku mau istirahat! Kasih aku waktu 1-2 jam ke depan buat istirahat! Fisik aku emang gak capek-capek banget, tapi hati aku yang capek!” balas Dinara.Farrel pun hanya tersenyum dan mengangguk paham. Alasan Dinara yang terakhir masih dapat ia maklumi dengan baik.“Baiklah. Aku ke depan dulu kalau gitu. Dan misal butuh apa-apa tinggal bilang. Jangan sungkan.” Farrel kemudian beranjak dari kamarnya.Dinara merasa lega sekali. Ia langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Kamar ini cukup nyaman untuknya. Vibes-nya terasa tenang dan damai. Udaranya juga cukup sejuk. Tentu saja jauh berbeda dengan di Jakarta. Karena rumah Farrel terletak di kawasan Bandung yang dikenal dengan cuacanya yang lebih sejuk dan alami.Dalam hatinya mendadak tercipta rasa takut yang entah apa solusi menghilangkannya. Dinara hanya bingung, akan berapa lama pernikahan ini berlangsung dan apakah ini langkah yang tepat untuk masa depannya?
“Hm ... kayaknya nggak deh, Kak. Aku mau di rumah aja. Minggu depan aku ada ujian kuliah, aku harus selesain tugas-tugas dulu.” Dinara pandai mencari alasan.Farrel mengangguk paham. “Oke. Kalau ada apa-apa, kamu bilang aja sama Ibu. Dia selalu ada di rumah.”Dinara tak menggubris. Dia merasa lega karena malam ini pasti akan menjadi malam kemenangannya karena akan bertemu kembali dengan Theo. Kemudian ia teringat soal perhiasan di nakas tadi.“Kak Farrel kenapa harus bohong sih?” kata Dinara yang mendadak membuat Farrel menautkan kedua alis.“Maksudnya?” Farrel bingung. Ia baru saja akan bergegas menuju kamar mandi.Dinara mengambil kotak perhiasan mahal itu dan menunjukkannya pada Farrel. Andaikan itu benar milik wanita lain, maka Dinara akan membuat perjanjian dan menuntut kebebasan dari suaminya. Agar sama-sama adil.“Ini punya pacar kamu kan? Cantik banget. Dan beruntungnya dia punya
Dinara melipat bibir. Ada rasa gugup yang mulai menyergap. Ia menarik napas lalu menjelaskan. “Pernikahan ini bukan dasar cinta. Aku hanya sedang berjuang agar tetap mendapatkan warisan.”“Kalau begitu buat apa kita bertemu? Kalau ternyata cinta akan tetap kalah dengan warisan!” Theo tampak kesal dan seolah menyindir.“Theo, aku gak bisa gitu aja melawan keinginan papaku. Dia sakit sungguhan. Aku gak mungkin ninggalin dia, kan? Aku juga gak mau hidup melarat setelah namaku dihapus dari daftar warisan! Nggak adil kalau begitu. Ayolah, ngertiin aku, Theo!” Dinara terus menjelaskan.Theo hanya terdiam dan menyunggingkan senyuman tipis. “Harusnya kalau kamu cinta ya buktikan sama orang tuamu. Kalau hubungan kita ini layak untuk diperjuangkan! Lagian kenapa papamu benci banget sih sama aku?”Dinara menarik napas dalam. “Karena kamu anak dari lawan bisnisnya. Dia mengira kamu manfaatin hubungan kita buat menghancurkan bisnisnya. Tapi aku gak percaya itu semua!”Theo terkekeh. “Sejahat ituka
“Papa?” Theo menelan ludah saat melihat ayahnya berdiri tepat di depan mobilnya. Ia pun keluar dan menghampiri pria paruh baya itu.“Aku pikir Papa masih di luar negeri.” Theo menatap heran dan cenderung gugup.Pria dihadapannya tersenyum tipis dan melirik singkat ke arah mobil Theo yang didalamnya terdapat seorang perempuan tengah mabuk berat.“Apa kamu sudah tau tentang dia?” tanya Marva, ayah Theo. Nada bicaranya terkesan dingin dan mengintimidasi.Theo mengangguk dan menunduk. “Aku tau, Pa.”Marva menyeringai dan mendengus. “Lantas untuk apa kamu bersama dia sekarang?”Theo mengangkat wajah dan berusaha bersikap tegas. “Aku cinta sama dia, Pa. Kami saling mencintai. Tidakkah kalian sebagai orang tua memahami hal itu?”“Cinta? Heh. Omong kosong!” gumam Marva dengan seringaian mengejek. “Kalau dia cinta sama kamu, kenapa dia nikah sama orang la