“Firdaus, awas,” teriak melinda yang langsung menarik lengan Firdaus. Laki-laki itu kaget dengan ucapan Melinda. Dan mereka terjatuh ketika Melinda menarik lengan Firdaus dn tidak menahan tubuh Firdaus.
Brukkkk
Firdaus dan Melinda jatuh, Melinda berada di bawah Firdaus, mata mereka saling bertemu.
“Tidak terasa sakit ya kalau jatuh sambil menatap pacarnya,” sindir salah seorang yang melintas. Lagi-lagi mereka kena sindir orang. Firdaus langsung bangun dan membantu Melinda bangun. Perempuan itu terlihat kesakitan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Firdaus dengan mengamati Melinda yang menangis dan berusaha membersihkan baju bagian belakangnya. Firdaus memutar tubuh Melinda dan membantu membersihkan. Ketika itu Melinda terdiam, sejak bertemu dengan Firdaus ia mengalami beberapa hal aneh dalam dirinya.
“Sudah,” ucap Firdaus menyadarkan Melinda yang tengah melamun. Mulutnya terdiam membisu. Ia merasa tidak enak dengan kejadian yang baru saja dialami bersama Firdaus.
“Aduh,” keluh Melinda dengan memegangi sikunya. Firdaus langsung menatap ke arah Melinda, pun sama Melinda tengah menatap ke arah Firdaus. Tanpa menunggu aba-aba Firdaus menarik tangan Melinda dan menggendongnya menuju sebuah kursi yang tidak jauh dari mereka. Firdaus hendak menaikkan lengan baju Melinda, tapi ditahan sama Melinda. Dengan perlahan Melinda menggeleng, Firdaus yang tidak paham dengan maksud Melinda menatap Melinda dengan tatapan penuh tanya. Tanpa menjawab sepatah kata pun, Melinda langsung menurunkan lengan baju yang tadi sedikit disingkap oleh Firdaus.
“Ini di tempat umum, Fir,”
“Di Mushola aja yuk,” ajak Melinda dengan meringis kesakitan. firdaus mengangguk mengerti. Ia kemudian membawa kedua tasnya dan juga sekalian tasnya Melinda. Semua mata kini tertuju pada keduanya.
“Mudah-mudahan selalu sama-sama sampai maut memisahkan ya, Nak,” ucap salah seorang perempuan yang sudah memasuki usia tua. Firdaus dan Melinda saling tatap, mereka kemudian tersenyum dengan senyum paksaan.
Perlahan Melinda membuka lengan bajunya, di sikunya terlihat lecet sehingga mengeluarkan darah. Firdaus langsung membelikan plester yang ada di sebuah toko yang tidak jauh dari Mushola.
“Cowoknya dijaga dengan baik ya, Nak, dia kelihatannya sayang banget sama kamu juga perhatian,” ucap perempuan itu lagi. melinda kaget, ia melongo mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh perempuan yang tidak diketahui namanya oleh Melinda.
“Iya,” jawab Melinda dengan tebata. Ia bingung harus memanggil apa, perawakannya sudah seperti nenek-nenek tapi terlihat masih cukup muda.
“Saya pergi dulu ya, sudah dijemput cucu,” ucapnya yang kemudian pergi meninggalkan Melinda sendiri.
“Hati-hati, Nek,” ucapnya berani memanggil nenek setelah perempuan itu memberi kode panggilannya. Wanita itu tersenyum dan mengangguk. melinda melepas kepergian nenek itu hingga hilang dari pandangan bersama cucunya.
“Mel, melihat apa sih?” tanya Firdaus yang mengagetkan Melinda.
“Ah, nggak,” jawab Melinda dengan cepat. Ia kemudian melihat Firdaus yang ternyata sudah duduk di sebelahnya.
“Mana,” ucap Firdaus dengan plester yang sudah siap ia tempelkan di sikunya Melinda. Dengan menatap ke arah Firdaus Melinda mengulurkan tangannya ragu-ragu.
“Ayolah, Mel,” ucap Firdaus tidak sabar. Melinda mengulurkan tangannya dan Firdaus dengan cepat menempelkan plester di siku Melinda yang lecet. Selesai menempelkan plester Melinda langsung menutup kembali lengan bajunya. Firdaus tersenyum paham meski ia sendiri merasa agak kaku.
“Thank you ya, Fir,” ucap Melinda lagi. firdaus kembali dengan sikap sok cueknya meski sebenarnya ia adalah orang yang penuh perhatian. Keduanya kembali saling diam, tidak tahu harus ngomong apa.
“Oh iya, ibu-ibu yang tadi mana?” tanya Firdaus mencairkan suasana.
“Udah pulang tadi di jemput cucunya,” jawab Melinda menyadarkan tentang suatu hal, yaitu tentang ucapan nenek tadi.
“Cucu?” tanya Firdaus tidak percaya. Melinda hanya mengangguk dan menatap Firdaus aneh.
“Awalnya aku sendiri juga sempet bingung, Fir, mau manggil apa,”
“Waktu kamu peri beli plester dia ngomong banyak, jadi ya dia bilang kalau dia sudah punya cucu, ya udah kupanggil nenek aja,” jawab Melinda dengan menahan senyum. Firdaus ikut tersenyum setelah mendengar cerita dari Melinda.
“Pulang yuk, Mel, capek,” kini Firdaus tanpa sadar menunjukkan jati dirinya. Perlahan-lahan Melinda mengenal siapa Firdaus yang sebenarnya.
“Hayuk,” jawab Melinda dengan antusias. Tubuhnya memang capek dan juga terasa sakit karena jatuh beberapa waktu yang lalu.
Firdaus berjalan bersama Melinda. Mereka saling tertawa cekikikan di sepanjang jalan. Hubungan mereka yang sudah lama tidak terjalin dengan baik kini sudah membaik. Bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Seperti ketika berangkat, Melinda duduk dibelakang Firdaus. Firdaus yang mengerti tangannya Melinda yang sakit ia kemudian memasangkan helm untuk Melinda. Awalnya mereka biasa saja, tapi setelah beberapa kejadian yang membuat mereka saling kaku.
“Thank you, Fir,” ucap Melinda lagi. Firdaus tersenyum dan menggeleng pada Melinda.
“Kenapa?” tanya Melinda dengan sedikit merajuk. Firdaus berbalik mengamati Melinda yang terlihat baik-baik saja. Alisnya bertumpu jadi satu.
“Kenapa sih?” tanya Melinda lagi semakin tidak mengerti dengan maksudnya Firdaus.
“Kamu sudah ngomong thank you berapa kali sih, Mel?” tanya Firdaus.
“ Em ... “ Melinda berpikir, ia berusaha menghitung berapa kali ia mengucapkan thank you pada Firdaus.
“Sudah ayo naik,” ajak Firdaus dan Melinda langsung menurut, ia langsung naik ke atas sepeda motor Firdaus yang sudah siap pergi.
Setelah mendengar aba-aba siap dari Melinda, Firdaus langsung menarik gas sepedanya. Sepeda motor tua yang dimodifikasi ulang oleh Firdaus membawa Melinda dan Firdaus meninggalkan tempat wisata yang tidak terasa mereka habiskan seharian.
“Awas, Fir, hati-hati,” ucap Melinda ketika Firdaus hendak menabrak sebuah mobil yang ada di depannya.
“Sorry, Mel. Kamu nggak aoa-apa, Mel?” tanya Firdaus dengan wajah yang memperlihatkan rasa kekhawatirannya. Melinda justru bengong, ia tidak segera menjawab, ia justru melamun melihat beberapa kebaikan Firdaus yang tidak pernah ia lihat dulu.
“Mel,” panggil Firdaus dan segera menyadarkan Melinda.
“Ah iya, aku nggak apa-apa,” ucap Melinda dengan segera menguasai dirinya. Firdaus langsung melajukan kembali sepeda motornya di jalanan yang ramai. Sepeda motor itu meliuk-liuk di kemacetan. Melinda mengawasi setiap selipan yang dilakukan oleh Firdaus.
“Kenapa, Fir?” tanya Melinda khawatir ketika Firdaus tiba-tiba menepi.
“Haus, mau minum,” jawab Firdaus dan segera merogoh botol minum yang tadi diberikan oleh Melinda. Melinda tersenyum dan mengangguk. ia mengamati kota besar yang selalu menjadi langganannya ketika ia ingin menulis yang langsung mendapatkan banyak imajinasi.
Firdaus memasukkan kembali botol minum ke dalam tasnya dan langsung melajukan kembali sepeda motornya. Melinda merapatkan pelukannya pada perut Firdaus, laki-laki yang selalu bersikap cuek itu diam-diam menyukai jika Melinda memeluk dirinya. Firdaus menggelengkan kepalanya ketika ia menyadari apa yang baru saja ia pikirkan.
“Kenapa, Fir?” tanya Melinda yang menyadari sikap Firdaus yang tiba-tiba saja seperti sadar dari lamunan. Sepeda motor yang dikemudikan Firdaus berhenti perlahan, ia mengantri menuju loket, hendak masuk kawasan stasiun.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, setelah mendapatkan kartu parkir Firdaus langsung melajukan sepeda motornya dan mengantarkan Melinda menuju ruang tunggu. Keduanya duduk bersebelahan, mereka saling diam, tidak ada yang berbicara.
“Mel,”
“Fir,” ucap keduanya berbarengan. Mereka saling tersenyum dan tersipu menyadari kekakuan diantara mereka.
“Kamu duluan,” ucap keduanya barengan lagi. firdaus dan Melinda tertawa, menertawakan kelucuan mereka.
“Kamu hati-hati,” ucap Firdaus sebelum Melinda hendak mengatakan sesuatu. Ia
“Kamu juga,” jawab Melinda dan Firdaus segera pamit pergi. Melinda melepas kepergian Firdaus dengan senyum. Ia terus memandangi kepergian Firdaus hingga Laki-laki itu tidak terlihat lagi oleh pandangan Melinda.
‘Terima kasih, Tuhan, untuk hari ini,’ ucap Melinda Dalam hati setelah melewati hari yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Melinda duduk di ruang tunggu, tapi ingatannya melayang bersama kepergian Firdaus. Hilir mudik orang-orang yang ada di salah satu stasiun besar yang ada di kota Semarang tidak dihiraukan oleh Melinda. Sejak tadi Melinda senyam-senyum sendiri.“Penumpang yang kami hormati ... “ suara pengumuman dari petugas kereta menyadarkan Melinda dari lamunan. Ia langsung beranjak dari duduknya dan langsung menuju kereta yang sudah siap membawanya kembali pulang.Sebelum memasuki peron, Melinda kembali menoleh ke belakang. Dalam bayangannya ada Firdaus yang melepas kepergian Melinda. Setelah menyadari bahwa Firdaus telah pergi beberapa menit yang lalu, Melinda kembali melangkah menuju peron yang sudah terbuka sedari tadi.Melinda langsung menuju gerbong nomor 6. Gerbong favoritnya di kereta Maharani dengan tipe terbar
Melinda memulai hari seperti biasa meski perasaan yang begitu resah karena merindukan Firdaus tapi ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Mila dan kedua orangtuanya.Pagi ini seperti biasa Melinda hendak mengerjakan kegiatannya yaitu menulis ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk menulis naskah cerita.Beberapa kali Melinda melihat handphonenya yang tergeletak di meja, ia berharap ada pesan masuk melalui media sosial dari Firdaus. Namun, nihil tidak ada notifikasi apapun dari ponselnya. Melinda mendengus kesal, ia tidak tahu harus kemana melampiaskan rasa ingin tahunya.Melinda segera menyiapkan beberapa yang ia butuhkan ketika travelling. Dari laptop yang sudah terisi baterai dengan penuh hingga air minum dalam botol yang selalu dibawanya."Mbak Meli, mau kemana?" tanya Mila yang berdiri di depan pintu kamar Melinda."Mau kerja, Dik," ucap Melinda terlihat cuek. Ia tetap melanjutkan kegiatannya tanpa menoleh ke arah adiknya yang t
Jalanan mulai ramai tidak seperti beberapa saat yang lalu ketika Firdaus mengantarkan Melinda ke stasiun. Di sepanjang jalan Firdaus merasa kepalanya agak terasa berat. Firdaus berusaha menahan sedikit kepalanya mulai terasa pusing.Firdaus pergi meninggalkan Melinda yang tengah menatap kepergiannya, ia menengok ke belakang ke arah Melinda yang juga tengah mengawasinya. Dengan cepat Firdaus bergabung di jalanan beraspal yang ramai. Firdaus meninggalkan stasiun dengan beberapa kali memegangi kepalanya.Sepeda motor Firdaus terus melaju dan berhenti di lampu merah. Beberapa kali Firdaus menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan kunang-kunang pada pandangannya."Ini kenapa sih?" tanya Firdaus pada dirinya sendiri. Lampu sudah berubah menjadi hijau dan Firdaus langsung menarik gas yang ia genggam sedari tadi. Namun, tib
Beberapa kali Firdaus harus kerepotan karena ia telah lama menutup akun media sosialnya. Dan sekarang ia harus membukanya kembali hanya karena Melinda. Firdaus sibuk dengan media sosial untuk mencari Melinda."Ngapain sih aku nyari Melinda?""Nanti juga bakal berantem lagi," ucap Firdaus dengan dengan menghentikan kegiatannya. Namun, dorongan perasaan membuatnya mengalah, ia tidak ingin dikejar rasa penasaran perihal Melinda. Beberapa kali Firdaus mengetikkan sebuah nama yang berhubungan dengan Melinda, tapi ternyata tidak mudah. Firdaus hampir saja putus asa dengan apa yang ia lakukan. Ia membanting ponselnya di kasur depannya."Bodo amat sama Melinda," Firdaus langsung meninggalkan ponselnya yang tadi ia banting di depannya. Ia meringkuk, matanya berkedip-kedip menunjukkan ia tengah berpikir.
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tem
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tempat duduknya dan sekejap kemudian suasana menjadi sepi. Kereta telah siap
Melinda cengar-cengir menyadari apa yang baru saja ia kerjakan. Ia membalikkan perjalanan dan langsung menuju Semarang setelah mendengar berita bahwa Firdaus sakit. Melinda berhenti di tengah jalan dengan mendadak, hal ii membuat pejalan kaki yang ada dibelakangnya menbraknya seketika.“Jangan berhenti mendadak di tengah jalan dong, Mbak,” tegur laki-laki yang terlihat kesal dengan kelakuan Melinda.“Iya, maaf, Mas,” jawab Melinda dengan mengangguk seraya meminta maaf.Setelah kepergian laki-laki tersebut Melinda kembali menatap layar HP nya. Ia membaca alamat yang dikirim oleh Firdaus.“Berlebihan nggak ya kalau aku ke sana?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-rau hendak melanjutkan perjalanannya ataukah kembalu pulang.“Kalau aku kembali pulang, percuma dong aku sekarag sampai Semarang,”“Tapi kalau Firdaus berpikir aku khawatir banget sama dia atau dia tahu kalau aku kangen dia gimana
Untuk masalah dapur Melinda sudah cukup ahli dalam menanganinya. Hal itu dikarenakan Melinda memliki hobi memasak. Kalau hanya membuat makanan apa adanya sesuai permintaan Firdaus itu bukanlah hal yang sulit baginya.Sejak baru mulai melangkah ke dapur Firdaus sudah terkagum dengan Melinda. Gadis yang sejak dulu bahkan hingga hari lalu dan beberapa waktu yang lalu masih sering berdebat dengannya tenyata ia bukanlah gadis seperti kebanyakan perempuan.“Kelihatannya sejak aku baru mulai masak sampai selesai memperhatiin aku terus, kenapa?”“Naksir atau kagum?” kini giliran Melinda yang menggoda. Meski Firdaus sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya, tapi sorot mata Firdaus tidak bisa berbohong. Ponsel yang sedari tadi ia mainkan hanyalah sebagai sarana agar ia tidak ketahuan .“Siapa yang memperhatikan situ terus?”“Ini anak pede banget ya,” jawab Firdaus seperti biasa yang selalu dengan blagaknya yang