Melinda duduk di ruang tunggu, tapi ingatannya melayang bersama kepergian Firdaus. Hilir mudik orang-orang yang ada di salah satu stasiun besar yang ada di kota Semarang tidak dihiraukan oleh Melinda. Sejak tadi Melinda senyam-senyum sendiri.
“Penumpang yang kami hormati ... “ suara pengumuman dari petugas kereta menyadarkan Melinda dari lamunan. Ia langsung beranjak dari duduknya dan langsung menuju kereta yang sudah siap membawanya kembali pulang.
Sebelum memasuki peron, Melinda kembali menoleh ke belakang. Dalam bayangannya ada Firdaus yang melepas kepergian Melinda. Setelah menyadari bahwa Firdaus telah pergi beberapa menit yang lalu, Melinda kembali melangkah menuju peron yang sudah terbuka sedari tadi.
Melinda langsung menuju gerbong nomor 6. Gerbong favoritnya di kereta Maharani dengan tipe terbaru. Karena disanalah yang paling dekat dengan restoran. Melinda menyusuri lorong gerbong kereta dan langsung menemukan nomor kursinya, 16A. Melinda langsung duduk dan menyandarkan tubuhnya di kursi.
Ia menoleh ke arah jendela, ia melihat bayangannya dalam kaca yang ada di dekatnya. Beberapa kali Melinda mengamati wajahnya, dan tidak menemukan apapun yang berbeda.
‘Mungkin Cuma perasaanku saja,’ ucap Melinda dalam hati.
Suara peluit panjang pun terdengar. Kereta menuju kota kelahiran Melinda siap berangkat. Perlahan kereta Maharani mulai berjalan. Suara pengumuman dari petugas kereta pun terdengar. Melinda mulai menyamankan duduknya lalu memasang earphone ke telinganya.
Melinda kembali melek ketika lagu pertama yang muncul dalam list lagu yang ia dengar adalah lagunya Judika yang tadi ia dengarkan sewaktu makan bersama Firdaus. Melinda menggeleng dengan cepat, ia tidak mungkin terbayang-bayang tentang Firdaus seperti ini terus menerus. Melinda mengusap wajahnya dengan kasar, memastikan bahwa yang ia lihat bukanlah bayang-bayang Firdaus seperti beberapa detik yang lalu.
Melinda menarik napasnya dengan lega setelah apa yang dilihat bukanlah Firdaus. Namun, entah mengapa ada rasa kecewa dalam hatinya karena yang dapatkan bukanlah Firdaus.
Kereta terus melaju membawa Melinda terus menjauh dari kota Atlas. Namun pikirannya masih tertinggal di Semarang. Tiba-tiba Melinda tersenyum, bagaimana ia bisa bertemu dengan Firdaus tadi pagi. Ia sungguh tidak menyangka jika akan bertemu dengan Firdaus lagi dan rupanya ia masih mengingat Melinda.
Melinda membuka galeri ponselnya. Ia tadi sempat mencuri foto Firdaus ketika laki-laki itu sibuk kameranya. Dan tiba-tiba ada satu hal yang dilupakan oleh Melinda. Melinda menepuk jidatnya merupakan hal yang begitu penting.
“Kenapa aku tadi nggak minta nomor hp nya dia sih,” ucap Melinda dengan sesal. Tubuhnya terasa lemas mengingat kebodohan yang baru saja ia perbuat. namun, sejenak kemudian rasa bersalah itu menghilang. Ada ego yang melambung tinggi dalam pikiran Melinda.
“Aku ‘kan cewek, jadi harusnya dia dong yang minta nomor ponselku,” ucap Melinda membela diri pada diri sendiri. Ia melirik e arah pemandangan area persawahan yang hijau. Indahnya persawahan itu mmebuat Melinda sedikit melupakan tentang Firdaus.
Namun tidak berapa lama bayang-bayang sesal itu muncul kembali. Melinda kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia dibuat gelagapan karena Firdaus. Melinda beberapa kali memukulkan ponselnya di telapak tangannya. Ia berusaha berpikir bagaimana cara mendapatkan nomor ponsel Firdaus.
Sebuah ide tiba-tiba terbersit dalam benak Melinda. Ia langsung membuka media sosial i*******mnya. Berusaha mencari Firdaus dari sana. Melinda beberapa kali mengetikkan sebuah nama Firdaus, tapi tidak ada satu pun yang ia kenal. Melinda cemberut karena tidak mendapati akun Firdaus dari i*******m.
“Mungkin nggak ya di masih main F*?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-ragu membuka ponselnya dan langsung membuka akun F* nya. Ia mengetikkan kata kunci menggunakan nama Firdaus.
Hatinya begitu bahagia ketika mendapati akun F* Firdaus. Melinda langsung membuka akun tersebut, ia terus berusaha melihat tentang isinya, tapi tiba-tiba tubuhnya kembali lemas. Akun itu sudah tidak pernah dijamah olehnya. Terakhir diperbarui sudah beberapa tahun yang lalu.
Melinda membuang napasnya dengan kasar. Ia hampir menyerah. Ia tidak mendapatkan kontaknya Firdaus. Melinda langsung merebahkan dirinya di kursi. Beberapa kali petugas informan sudah memberikan informasi terkait stasiun pemberhentian, tapi Melinda mengabaikannya.
“Penumpang yang kami hormati ... “ ucap petugas informan sekali lagi. Melinda terlihat sedih, tanpa terasa kereta telah membawanya tiba di stasiun tempat tujuannya berhenti. Melinda pun bersiap.
Stasiun yang membawakan lagu iringan musik khas tradisional jawa tengah pun terdengar. Melinda berjalan bersama para penumpang lain menuju pintu keluar. Melinda sempat berhenti ketika ia melihat ruang tunggu yang ada di dalam. Di sanalah ia bertemu Firdaus, tapi mereka hanya saling menatap, tidak saling sapa. Lebih tepatnya seperti orang yang tidak saling kenal.
“Auw,” Melinda hampir tersungkur karena penumpang lain yang tidak sengaja menabraknya.
“Maaf, Mbak,” ucap perempuan yang tadi tidak sengaja menyenggolnya. Melinda langsung mengangguk dan merapikan kembali bajunya. Orang-orang terus berjalan melewati Melinda. Dengan cepat ia tersadar dan langsung masuk dalam gerombolan yang menuju pintu keluar.
Melinda meraih ponselnya, ia menghubungi adiknya yang hendak menjemputnya. Beberapa kali Melinda berusaha menghubungi, tapi tidak ada jawaban.
“Adik kemana sih?” tanya Melinda dengan kesal.
Seorang cewek dengan sepeda matic berwarna merah berhenti di depan pintu keluar. Melinda yang sudah hafal dengan adik dan sepeda motornya langsung berjalan menuju adiknya.
“Lama banget sih, Dik,” protes Melinda yang terlihat bete.
“Macet, Mbak Melinda,” jawab adiknya Melinda dengan menahan kesal pada Melinda. Melinda tidak menjawab, adiknya, Mila, langsung melaju membawa Melinda menjauh dari stasiun.
“Berat, Mbak Mel,” ucap Mila dengan sedikit dongkol karena Melinda nemplok di punggung Meli.
“Mbak mu capek baneget, Dik,” ucap Melinda dengan singkat. Lebih tepatnya ia capek hati bukan capek fisik. Melinda capek hati karena ia tidak mendapat nomornya Firdaus. Setibanya di rumah Melinda langsung masuk kamar setelah mencium tangan kedua orang tuanya.
Melinda juga tidak makan malam. Mau tidak mau Meli yang harus bertugas untuk memanggil Mbak-nya. Beberapa kali Meli mengetuk pintu kamar Melinda, tapi tidak ada jawaban. Meli langsung membuka pintu kamar Melinda yang kebetulan tidak dikunci.
“Mbak Melinda ... !” teriak Mila dan langsung memukul Melinda dengan bantal dan guling Melinda.
“Apa sih, Dik?” tanya Melinda dengan mengedipkan matanya. Ia rupanya langsung tidur setelah mandi. Meli berusaha menyeret tubuh Mbak nya sekuat tenaga. Melinda juga dengan sekuat tenaga menolak. Setelah Meli berhasil menyeret Melinda hingga ke tepi kasur, Melinda kembali naik lagi di atas kasur.
“Capek ah, Ma,” ucap Mila dengan berteriak pada mamanya.
“Apaan sih, Dik?” tanya Melinda dengan kesal.
“Di suruh makan sama mama,” ucap Mila yang tidak kalah dongkol dengan Melinda. Tidak ada jawaban, Melinda hanya menggeliat.
“Ponselmu bunyi tuh, Mbak,” ucap Mila setelah melihat ponsel Melinda beberapa kali berkedip. Dengan cepat Melinda bangun, ia berharap yang menghubunginya adalah Firdaus, teman masa kecilnya sewaktu mereka sekolah di taman pendidikan Al-Qur’an.
Melinda membuang napas dengan perlahan. Matanya kembali meredup setelah tiba-tiba melek. Meli yang melihat ada hal aneh yang terjadi pada Mbak nya pun ikut curiga. Mila sedari tadi memperhatikan Melinda ketika tidur, tapi ia tidak mendapatkan sesuatu.
Mila berinisiatif melihat ponsel Mbak nya. Ia ingin mencari tahu apa yang membuat Melinda yang semula susah bangun tiba-tiba langsung melek ketika mendengar ponselnya berbunyi.
‘Berarti Mbak Melinda menunggu kabar dari seseorang ini,’ ucap Mila dalam hati. Ia meringis, terbersit sebuah ide yang ada di dalam kepala Mila. Ia lalu membuka ponsel Melinda yang memilih melanjutkan tidurnya ketimbang makan.
Mila melihat galeri yang ada di ponsel Melinda. Namun ia tidak mendapatkan apapun. Hanya ada beberapa bangunan dengan cat merah yang berjumlah sekitar sepuluh. Mila lalu menutup galeri ponsel Melinda. Ia kemudian membuka akun sosial media Melinda. Dari i*******m, F* hingga w* nya. Mila juga tidak mendapatkan apapun.
“Lalu kabar siapa yang ditunggu Mbak Melinda?” tanya Mila yang terus dihantui rasa penasaran dan langsung meletakkan kembali ponsel Melinda di tempatnya semula.
Melinda memulai hari seperti biasa meski perasaan yang begitu resah karena merindukan Firdaus tapi ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Mila dan kedua orangtuanya.Pagi ini seperti biasa Melinda hendak mengerjakan kegiatannya yaitu menulis ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk menulis naskah cerita.Beberapa kali Melinda melihat handphonenya yang tergeletak di meja, ia berharap ada pesan masuk melalui media sosial dari Firdaus. Namun, nihil tidak ada notifikasi apapun dari ponselnya. Melinda mendengus kesal, ia tidak tahu harus kemana melampiaskan rasa ingin tahunya.Melinda segera menyiapkan beberapa yang ia butuhkan ketika travelling. Dari laptop yang sudah terisi baterai dengan penuh hingga air minum dalam botol yang selalu dibawanya."Mbak Meli, mau kemana?" tanya Mila yang berdiri di depan pintu kamar Melinda."Mau kerja, Dik," ucap Melinda terlihat cuek. Ia tetap melanjutkan kegiatannya tanpa menoleh ke arah adiknya yang t
Jalanan mulai ramai tidak seperti beberapa saat yang lalu ketika Firdaus mengantarkan Melinda ke stasiun. Di sepanjang jalan Firdaus merasa kepalanya agak terasa berat. Firdaus berusaha menahan sedikit kepalanya mulai terasa pusing.Firdaus pergi meninggalkan Melinda yang tengah menatap kepergiannya, ia menengok ke belakang ke arah Melinda yang juga tengah mengawasinya. Dengan cepat Firdaus bergabung di jalanan beraspal yang ramai. Firdaus meninggalkan stasiun dengan beberapa kali memegangi kepalanya.Sepeda motor Firdaus terus melaju dan berhenti di lampu merah. Beberapa kali Firdaus menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan kunang-kunang pada pandangannya."Ini kenapa sih?" tanya Firdaus pada dirinya sendiri. Lampu sudah berubah menjadi hijau dan Firdaus langsung menarik gas yang ia genggam sedari tadi. Namun, tib
Beberapa kali Firdaus harus kerepotan karena ia telah lama menutup akun media sosialnya. Dan sekarang ia harus membukanya kembali hanya karena Melinda. Firdaus sibuk dengan media sosial untuk mencari Melinda."Ngapain sih aku nyari Melinda?""Nanti juga bakal berantem lagi," ucap Firdaus dengan dengan menghentikan kegiatannya. Namun, dorongan perasaan membuatnya mengalah, ia tidak ingin dikejar rasa penasaran perihal Melinda. Beberapa kali Firdaus mengetikkan sebuah nama yang berhubungan dengan Melinda, tapi ternyata tidak mudah. Firdaus hampir saja putus asa dengan apa yang ia lakukan. Ia membanting ponselnya di kasur depannya."Bodo amat sama Melinda," Firdaus langsung meninggalkan ponselnya yang tadi ia banting di depannya. Ia meringkuk, matanya berkedip-kedip menunjukkan ia tengah berpikir.
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tem
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tempat duduknya dan sekejap kemudian suasana menjadi sepi. Kereta telah siap
Melinda cengar-cengir menyadari apa yang baru saja ia kerjakan. Ia membalikkan perjalanan dan langsung menuju Semarang setelah mendengar berita bahwa Firdaus sakit. Melinda berhenti di tengah jalan dengan mendadak, hal ii membuat pejalan kaki yang ada dibelakangnya menbraknya seketika.“Jangan berhenti mendadak di tengah jalan dong, Mbak,” tegur laki-laki yang terlihat kesal dengan kelakuan Melinda.“Iya, maaf, Mas,” jawab Melinda dengan mengangguk seraya meminta maaf.Setelah kepergian laki-laki tersebut Melinda kembali menatap layar HP nya. Ia membaca alamat yang dikirim oleh Firdaus.“Berlebihan nggak ya kalau aku ke sana?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-rau hendak melanjutkan perjalanannya ataukah kembalu pulang.“Kalau aku kembali pulang, percuma dong aku sekarag sampai Semarang,”“Tapi kalau Firdaus berpikir aku khawatir banget sama dia atau dia tahu kalau aku kangen dia gimana
Untuk masalah dapur Melinda sudah cukup ahli dalam menanganinya. Hal itu dikarenakan Melinda memliki hobi memasak. Kalau hanya membuat makanan apa adanya sesuai permintaan Firdaus itu bukanlah hal yang sulit baginya.Sejak baru mulai melangkah ke dapur Firdaus sudah terkagum dengan Melinda. Gadis yang sejak dulu bahkan hingga hari lalu dan beberapa waktu yang lalu masih sering berdebat dengannya tenyata ia bukanlah gadis seperti kebanyakan perempuan.“Kelihatannya sejak aku baru mulai masak sampai selesai memperhatiin aku terus, kenapa?”“Naksir atau kagum?” kini giliran Melinda yang menggoda. Meski Firdaus sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya, tapi sorot mata Firdaus tidak bisa berbohong. Ponsel yang sedari tadi ia mainkan hanyalah sebagai sarana agar ia tidak ketahuan .“Siapa yang memperhatikan situ terus?”“Ini anak pede banget ya,” jawab Firdaus seperti biasa yang selalu dengan blagaknya yang
“Aku carikan perawat yang khusus buat ngerawat kamu aja ya, Fir,” Melinda masih menawar permintaan Firdaus. wajahnya terlihat penuh harap Firdaus akan mengiyakan penawarannya. Namun, wajah laki-laki itu tetap datar seperti ketika awal mengajukan permintaan pada Melinda.“Wes gini aja, mau mu gimana we?” tanya Melinda dengan suara yang kesal. Ia duduk dengan menatap penuh harap pada Firdaus.“Aku tadi kan sudah bilang, Mel,”“Aku maunya yang ngerawat itu kamu, bukan orang lain,” ucap Firdaus lagi. dan kali ini terlihat serius dari raut wajahnya. Sorot mata Firdaus menunjukkan keseriusan yang tidak pernah dilihat oleh Melinda sebelumnya.“Tapi kamu tahu kan, Fir, aku juga harus kerja,” ucap Melinda yang tetap beru