Melinda memulai hari seperti biasa meski perasaan yang begitu resah karena merindukan Firdaus tapi ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Mila dan kedua orangtuanya.
Pagi ini seperti biasa Melinda hendak mengerjakan kegiatannya yaitu menulis ia mencari tempat yang bisa digunakan untuk menulis naskah cerita.
Beberapa kali Melinda melihat handphonenya yang tergeletak di meja, ia berharap ada pesan masuk melalui media sosial dari Firdaus. Namun, nihil tidak ada notifikasi apapun dari ponselnya. Melinda mendengus kesal, ia tidak tahu harus kemana melampiaskan rasa ingin tahunya.
Melinda segera menyiapkan beberapa yang ia butuhkan ketika travelling. Dari laptop yang sudah terisi baterai dengan penuh hingga air minum dalam botol yang selalu dibawanya.
"Mbak Meli, mau kemana?" tanya Mila yang berdiri di depan pintu kamar Melinda.
"Mau kerja, Dik," ucap Melinda terlihat cuek. Ia tetap melanjutkan kegiatannya tanpa menoleh ke arah adiknya yang tengah cemberut.
"Kenapa?" tanya Melinda akhirnya setelah cukup lama Mila tidak merespon jawaban mbaknya.
"Nggak apa-apa sih, kirain mau kencan," jawab Mila yang tidak kalah cuek. Melinda menghentikan kegiatannya, ia melirik ke arah adiknya yang tengah membuang muka dengan berpura-pura tidak melihat Melinda.
"Kamu bukain hp ku ya?" tanya Melinda dengan tatapan yang curiga pada Mila.
"Apaan sih, Mbak," sergah Mila tidak terima terhadap apa yang diungkapkan oleh Melinda.
"Kenapa pula kamu tiba-tiba tanya gitu?" tanya Melinda menyelidik. Mila celingukan mencari ide, ia beberapa kali terlihat tengah berpikir alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Melinda.
"Mila, bantuin mama, Nduk," suara perempuan paruh baya yang dipanggil mama oleh Mila dan Melinda menyelamatkan Mila dari interogasi Melinda.
"Iya, Ma," jawab Mila yang melempar senyum pada Melinda yang melotot tajam padanya. Mila langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Melinda yang terlihat curiga padanya.
Melinda geleng-geleng melihat adiknya yang menjauh meninggalkannya dan menuju ibunya yang ada di dapur. Melinda kembali melirik ponselnya, ia langsung meraihnya dan melihat beberapa foto yang ada pada galeri. Tanpa ia sadari Melinda tersenyum melihat fotonya yang tengah tertawa bersama Firdaus, juga foto-foto jahil yang sengaja ia ambil ketika Firdaus dengan wajahnya yang cemberut.
"Kirim ah," ucap Melinda lupa jika ia tidak memiliki kontak Firdaus.
"Ah iya," ucap Melinda lagi dengan nada yang tidak bersemangat. Ia hanya melihat-lihat barisan foto yang ada di depannya. Ia masih tidak menyangka jika ia bisa sebegitu dekat dengan Firdaus.
"Jangan-jangan Firdaus punya cewek lagi sehingga dia tidak mencari ku di sosial media," ucap Melinda seperti menyadarkan dirinya. Wajahnya yang tadi sempat terlihat kaget kini berubah lagi menjadi sedih.
Mila datang lagi ke kamarnya Melinda. Ia melakukan seperti yang tadi ia lakukan. Ia bersedekap dan berdiri di depan pintu kamar mbak nya.
"Ada apa lagi sih, Dik?" Tanya Melinda dengan wajah yang malas. Mila terdiam ia menatap Mbaknya dengan dengan tatapan penuh tanya.
"Ditanya malah gak jawab," protes Melinda. Mila kemudian berjalan mendekat kepada Melinda, ia duduk disebelah Melinda.
"Dipanggil mama," jawabnya singkat. Melinda tidak langsung menjawab ia mengernyitkan dahinya setelah mendengar jawaban dari adiknya, Mila.
"Dibilangin gak percaya," jawab Mila dengan cuek. Akhirnya mereda mengalah ia kemudian pergi meninggalkan kamarnya sekaligus menyeret Mila keluar dari kamarnya. Lari dan berjalan ke arah dapur yang sudah ditunggu oleh ibunya.
"Iya,.Ma," ucap Melinda seraya mendekati mamanya.
"Apanya yang iya, Mel?" Tanya mamanya yang seolah tidak mengerti. Melinda kaget sontak kedua alisnya yang hitam berpadu jadi satu. Iya menyadari bahwa ia telah dikerjai oleh Mila.
"Bukannya tadi mama bilang ke Mila kalau mama memanggil Melinda?" Tanya Melinda pada mamanya.
Mamanya tidak menjawab ia justru tertawa. Iya semakin yakin bahwa Mila telah mengerjainya.
"Ya sudah kalau gitu Melinda sekalian pamit, Ma" pamit melintas kemudian meraih tangan ibunya untuk dicium.
"Mau ke mana?" Tanya ibunya lagi.
"Biasa, Ma," jawaban Melinda dengan mengedipkan kedua matanya dan langsung pergi meninggalkan mamanya.
Sesampainya di kamar Melinda kembali duduk di ranjangnya. Iya melihat tas ranselnya yang sudah siap untuk diajak traveling kembali. Namun entah mengapa travelling kali ini membuat Melinda terasa berat. Mungkin karena Melinda mengingat ia pernah traveling bersama Firdaus.
"Mbak, dipanggil, Mama," ucap Mila yang sudah berdiri di depan pintu kamar Melinda lagi. Melinda kali ini tidak menanggapi setelah Mila mengerjakannya.
"Mbak, dipanggil, Mama," ucap Mila kedua kalinya setelah Melinda tidak merespon apa yang dikatakan Mila.
"Ogah paling-paling juga Kamu kerjain lagi," jawab Melinda dengan ketus.
"Ya sudah kalau nggak percaya," ucap Mila yang kemudian langsung pergi meninggalkan Melinda. Melinda kemudian bersiap dan hendak pergi meninggalkan rumah.
"Mel," panggil mamanya. Melinda Melinda kaget ketika ia melihat mamanya sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Kalau mau pergi sarapan dulu," ucap sang mama. Melinda mengangguk seraya menjawab ia pada mamanya. Ia kemudian berjalan membuntuti mamanya yang meninggalkan kamarnya Melinda.
Di ruang makan sudah ada bapaknya dan juga Mila yang telah menunggu untuk sarapan bersama. Dengan malas Melinda duduk disebelah Mila yang tengah menertawakan Melinda setelah ia mengerjainnya.
"Kamu nggak boleh gitu sama Mbak mu, Mil,"
"Bener aja Mbak mau nggak percaya sama kamu karena kamu tadi sudah membohonginya," ucap sang mama menasehati Mila. Melinda tidak merespon Ia hanya melirik Mila yang tengah mengambil nasi.
"Niatnya sih nggak ngerjain, Ma, tapi cuma menghibur karena Mbak Melinda sejak kemarin sepulang dari Semarang ia terlihat murung terus," Mila memberi alasan dengan melirik kearah Melinda yang juga tengah melirik ke arahnya dengan mata yang melotot.
"Kok murung kenapa memangnya, Mil?" Tanya bapaknya yang tengah memasukkan sesendok nasi di mulutnya.
"Mila nggak tahu, Pak, coba aja tanya Mbak Melinda," jawablah dan melirik kearah Mbaknya.
"Ada masalah, Mel?" Tanya bapaknya yang menatap kearah Melinda dengan serius.
"Tidak Pak enggak ada masalah apa-apa," jawaban Linda dengan menggelengkan kepala dan melirik kearah Mila.
"Tapi kemarin waktu Mbak Melinda baru pulang dari Semarang waktu Mbak tidur mendengar HP itu seperti mengharap seseorang telah menghubungi deh," tanya Mila dengan cengar-cengir. Melinda menelan air ludah nya karena ia tidak tahu harus menjawab apa ada pertanyaan Mila. Iya tidak mungkin Jika iya nunggu kabar dari Firdaus, teman kecilnya dulu.
"Terus Mbak Melinda nunggu apa?" Tanya Mila lagi. Kedua orang tua Melinda pun menatapnya dan menunggu jawaban dari Melinda.
"Menunggu panggilan dari penerbit yang hendak mengontrak naskahnya, Dek," jawab Melinda dengan menarik nafas yang panjang. Mila beserta kedua orang tuanya mengangguk-ngangguk. Melinda merasa lega karena memberi jawaban yang tepat atas pertanyaan yang diberikan oleh Mila.
Sarapan pun usai Melinda langsung beranjak dan hendak pergi untuk traveling kembali. Tidak tidak lupa ia berpamitan kepada orang tuanya dan juga Mila.
"Seperti biasa ya besok kalau di telpon langsung angkat jangan lupa jemput di stasiun," pesan Melinda pada Mila ya langsung dijawab anggukan oleh adiknya. Melinda memasuki kawasan stasiun yang tidak pernah sepi. ingatannya langsung tertuju pada Firdaus.
‘Fir, kamu lagi apa?’
Jalanan mulai ramai tidak seperti beberapa saat yang lalu ketika Firdaus mengantarkan Melinda ke stasiun. Di sepanjang jalan Firdaus merasa kepalanya agak terasa berat. Firdaus berusaha menahan sedikit kepalanya mulai terasa pusing.Firdaus pergi meninggalkan Melinda yang tengah menatap kepergiannya, ia menengok ke belakang ke arah Melinda yang juga tengah mengawasinya. Dengan cepat Firdaus bergabung di jalanan beraspal yang ramai. Firdaus meninggalkan stasiun dengan beberapa kali memegangi kepalanya.Sepeda motor Firdaus terus melaju dan berhenti di lampu merah. Beberapa kali Firdaus menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan kunang-kunang pada pandangannya."Ini kenapa sih?" tanya Firdaus pada dirinya sendiri. Lampu sudah berubah menjadi hijau dan Firdaus langsung menarik gas yang ia genggam sedari tadi. Namun, tib
Beberapa kali Firdaus harus kerepotan karena ia telah lama menutup akun media sosialnya. Dan sekarang ia harus membukanya kembali hanya karena Melinda. Firdaus sibuk dengan media sosial untuk mencari Melinda."Ngapain sih aku nyari Melinda?""Nanti juga bakal berantem lagi," ucap Firdaus dengan dengan menghentikan kegiatannya. Namun, dorongan perasaan membuatnya mengalah, ia tidak ingin dikejar rasa penasaran perihal Melinda. Beberapa kali Firdaus mengetikkan sebuah nama yang berhubungan dengan Melinda, tapi ternyata tidak mudah. Firdaus hampir saja putus asa dengan apa yang ia lakukan. Ia membanting ponselnya di kasur depannya."Bodo amat sama Melinda," Firdaus langsung meninggalkan ponselnya yang tadi ia banting di depannya. Ia meringkuk, matanya berkedip-kedip menunjukkan ia tengah berpikir.
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tem
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tempat duduknya dan sekejap kemudian suasana menjadi sepi. Kereta telah siap
Melinda cengar-cengir menyadari apa yang baru saja ia kerjakan. Ia membalikkan perjalanan dan langsung menuju Semarang setelah mendengar berita bahwa Firdaus sakit. Melinda berhenti di tengah jalan dengan mendadak, hal ii membuat pejalan kaki yang ada dibelakangnya menbraknya seketika.“Jangan berhenti mendadak di tengah jalan dong, Mbak,” tegur laki-laki yang terlihat kesal dengan kelakuan Melinda.“Iya, maaf, Mas,” jawab Melinda dengan mengangguk seraya meminta maaf.Setelah kepergian laki-laki tersebut Melinda kembali menatap layar HP nya. Ia membaca alamat yang dikirim oleh Firdaus.“Berlebihan nggak ya kalau aku ke sana?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-rau hendak melanjutkan perjalanannya ataukah kembalu pulang.“Kalau aku kembali pulang, percuma dong aku sekarag sampai Semarang,”“Tapi kalau Firdaus berpikir aku khawatir banget sama dia atau dia tahu kalau aku kangen dia gimana
Untuk masalah dapur Melinda sudah cukup ahli dalam menanganinya. Hal itu dikarenakan Melinda memliki hobi memasak. Kalau hanya membuat makanan apa adanya sesuai permintaan Firdaus itu bukanlah hal yang sulit baginya.Sejak baru mulai melangkah ke dapur Firdaus sudah terkagum dengan Melinda. Gadis yang sejak dulu bahkan hingga hari lalu dan beberapa waktu yang lalu masih sering berdebat dengannya tenyata ia bukanlah gadis seperti kebanyakan perempuan.“Kelihatannya sejak aku baru mulai masak sampai selesai memperhatiin aku terus, kenapa?”“Naksir atau kagum?” kini giliran Melinda yang menggoda. Meski Firdaus sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya, tapi sorot mata Firdaus tidak bisa berbohong. Ponsel yang sedari tadi ia mainkan hanyalah sebagai sarana agar ia tidak ketahuan .“Siapa yang memperhatikan situ terus?”“Ini anak pede banget ya,” jawab Firdaus seperti biasa yang selalu dengan blagaknya yang
“Aku carikan perawat yang khusus buat ngerawat kamu aja ya, Fir,” Melinda masih menawar permintaan Firdaus. wajahnya terlihat penuh harap Firdaus akan mengiyakan penawarannya. Namun, wajah laki-laki itu tetap datar seperti ketika awal mengajukan permintaan pada Melinda.“Wes gini aja, mau mu gimana we?” tanya Melinda dengan suara yang kesal. Ia duduk dengan menatap penuh harap pada Firdaus.“Aku tadi kan sudah bilang, Mel,”“Aku maunya yang ngerawat itu kamu, bukan orang lain,” ucap Firdaus lagi. dan kali ini terlihat serius dari raut wajahnya. Sorot mata Firdaus menunjukkan keseriusan yang tidak pernah dilihat oleh Melinda sebelumnya.“Tapi kamu tahu kan, Fir, aku juga harus kerja,” ucap Melinda yang tetap beru
Melinda melihat jam dinding yang menggantung di atas TV, sudah menunjukkan pukul empat sore. ‘Benar saja Firdaus bangunin aku,’ gumamnya. Ia kemudian tersenyum menatap ke arah kamar yang tadi ia gunakan untuk istrahat, kamar yang kini ada Firdaus di dalamnya.Laki-laki itu tiba-tiba keluar dari kamarnya ketika Melinda tengah mesam-mesem dengan menatap ke arah kamar. Dengan cepat Melinda membalikkan muka, tapi kepalang tanggung, Firdaus sudah melihatnya.“Kenapa mesam-mesem begitu?” tanya Firdaus dengan menatap aneh pada Firdaus.“Nggak,” Melinda langsung pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Firdaus yang masih menatap aneh pada Firdaus.Melinda keluar drai kamar mandi dengan wajah yang shock ketika melihat Firdaus sudah siap dengan baju muslim lengkap dengan sajadah yang ada di pundaknya. M“Kenapa? Gantengku menambah 100 derajat?”Melinda langsung tersadar dan tersenyum kecut ketika mendengar