Jalanan mulai ramai tidak seperti beberapa saat yang lalu ketika Firdaus mengantarkan Melinda ke stasiun. Di sepanjang jalan Firdaus merasa kepalanya agak terasa berat. Firdaus berusaha menahan sedikit kepalanya mulai terasa pusing.
Firdaus pergi meninggalkan Melinda yang tengah menatap kepergiannya, ia menengok ke belakang ke arah Melinda yang juga tengah mengawasinya. Dengan cepat Firdaus bergabung di jalanan beraspal yang ramai. Firdaus meninggalkan stasiun dengan beberapa kali memegangi kepalanya.
Sepeda motor Firdaus terus melaju dan berhenti di lampu merah. Beberapa kali Firdaus menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan kunang-kunang pada pandangannya.
"Ini kenapa sih?" tanya Firdaus pada dirinya sendiri. Lampu sudah berubah menjadi hijau dan Firdaus langsung menarik gas yang ia genggam sedari tadi. Namun, tib
Beberapa kali Firdaus harus kerepotan karena ia telah lama menutup akun media sosialnya. Dan sekarang ia harus membukanya kembali hanya karena Melinda. Firdaus sibuk dengan media sosial untuk mencari Melinda."Ngapain sih aku nyari Melinda?""Nanti juga bakal berantem lagi," ucap Firdaus dengan dengan menghentikan kegiatannya. Namun, dorongan perasaan membuatnya mengalah, ia tidak ingin dikejar rasa penasaran perihal Melinda. Beberapa kali Firdaus mengetikkan sebuah nama yang berhubungan dengan Melinda, tapi ternyata tidak mudah. Firdaus hampir saja putus asa dengan apa yang ia lakukan. Ia membanting ponselnya di kasur depannya."Bodo amat sama Melinda," Firdaus langsung meninggalkan ponselnya yang tadi ia banting di depannya. Ia meringkuk, matanya berkedip-kedip menunjukkan ia tengah berpikir.
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tem
Suasana stasiun stasiun terasa ramai, tapi begitu sepi bagi Melinda. Lalu lalang orang-orang tidak terlihat di matanya. Hanya kesepian dan juga perasaan rindu akan sosok Firdaus yang baru saja ia temuai tempo hari sudah mengganggunya. Suara pengumuman akan berangkatnya kereta dengan jurusan Cepu Surabaya Pasar Turi mulai terdengar. Gaungan khas ular besi pun menambah kecepatan orang-orang dalam melangkah. Namun berbeda dengan Melinda, ia tetap duduk di tempatnya seraya menunggu sepi.Getar di ponselnya tidak menghentikan langkah Melinda. Ia mengabaikan pesan tersebut dan tetap melangkah dengan malas. Gerbong 7 dengan nomor kursi 12A adalah tempatnya. Ia menyusuri lorong kereta untuk mencari keberadaan tempat duduknya. Tidak berapa lama Melinda mendapati dua kursi yang masih kosong, Melinda langsung duduk didekat jendela, tempat favoritnya. Ia mengabaikan orang-orang yang terus hilir mudik untuk mencari tempat duduknya dan sekejap kemudian suasana menjadi sepi. Kereta telah siap
Melinda cengar-cengir menyadari apa yang baru saja ia kerjakan. Ia membalikkan perjalanan dan langsung menuju Semarang setelah mendengar berita bahwa Firdaus sakit. Melinda berhenti di tengah jalan dengan mendadak, hal ii membuat pejalan kaki yang ada dibelakangnya menbraknya seketika.“Jangan berhenti mendadak di tengah jalan dong, Mbak,” tegur laki-laki yang terlihat kesal dengan kelakuan Melinda.“Iya, maaf, Mas,” jawab Melinda dengan mengangguk seraya meminta maaf.Setelah kepergian laki-laki tersebut Melinda kembali menatap layar HP nya. Ia membaca alamat yang dikirim oleh Firdaus.“Berlebihan nggak ya kalau aku ke sana?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-rau hendak melanjutkan perjalanannya ataukah kembalu pulang.“Kalau aku kembali pulang, percuma dong aku sekarag sampai Semarang,”“Tapi kalau Firdaus berpikir aku khawatir banget sama dia atau dia tahu kalau aku kangen dia gimana
Untuk masalah dapur Melinda sudah cukup ahli dalam menanganinya. Hal itu dikarenakan Melinda memliki hobi memasak. Kalau hanya membuat makanan apa adanya sesuai permintaan Firdaus itu bukanlah hal yang sulit baginya.Sejak baru mulai melangkah ke dapur Firdaus sudah terkagum dengan Melinda. Gadis yang sejak dulu bahkan hingga hari lalu dan beberapa waktu yang lalu masih sering berdebat dengannya tenyata ia bukanlah gadis seperti kebanyakan perempuan.“Kelihatannya sejak aku baru mulai masak sampai selesai memperhatiin aku terus, kenapa?”“Naksir atau kagum?” kini giliran Melinda yang menggoda. Meski Firdaus sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya, tapi sorot mata Firdaus tidak bisa berbohong. Ponsel yang sedari tadi ia mainkan hanyalah sebagai sarana agar ia tidak ketahuan .“Siapa yang memperhatikan situ terus?”“Ini anak pede banget ya,” jawab Firdaus seperti biasa yang selalu dengan blagaknya yang
“Aku carikan perawat yang khusus buat ngerawat kamu aja ya, Fir,” Melinda masih menawar permintaan Firdaus. wajahnya terlihat penuh harap Firdaus akan mengiyakan penawarannya. Namun, wajah laki-laki itu tetap datar seperti ketika awal mengajukan permintaan pada Melinda.“Wes gini aja, mau mu gimana we?” tanya Melinda dengan suara yang kesal. Ia duduk dengan menatap penuh harap pada Firdaus.“Aku tadi kan sudah bilang, Mel,”“Aku maunya yang ngerawat itu kamu, bukan orang lain,” ucap Firdaus lagi. dan kali ini terlihat serius dari raut wajahnya. Sorot mata Firdaus menunjukkan keseriusan yang tidak pernah dilihat oleh Melinda sebelumnya.“Tapi kamu tahu kan, Fir, aku juga harus kerja,” ucap Melinda yang tetap beru
Melinda melihat jam dinding yang menggantung di atas TV, sudah menunjukkan pukul empat sore. ‘Benar saja Firdaus bangunin aku,’ gumamnya. Ia kemudian tersenyum menatap ke arah kamar yang tadi ia gunakan untuk istrahat, kamar yang kini ada Firdaus di dalamnya.Laki-laki itu tiba-tiba keluar dari kamarnya ketika Melinda tengah mesam-mesem dengan menatap ke arah kamar. Dengan cepat Melinda membalikkan muka, tapi kepalang tanggung, Firdaus sudah melihatnya.“Kenapa mesam-mesem begitu?” tanya Firdaus dengan menatap aneh pada Firdaus.“Nggak,” Melinda langsung pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Firdaus yang masih menatap aneh pada Firdaus.Melinda keluar drai kamar mandi dengan wajah yang shock ketika melihat Firdaus sudah siap dengan baju muslim lengkap dengan sajadah yang ada di pundaknya. M“Kenapa? Gantengku menambah 100 derajat?”Melinda langsung tersadar dan tersenyum kecut ketika mendengar
Firduas sedari tadi wira-wiri ke kamar mandi meski susah payah berjalan. Keadannya memang sudah membaik, tapi karena ulah Melinda kini perutnya bermasalah. Melinda ketar-ketir melihat keadaan Firdaus yang sedari tadi merintih karena ulahnya.“Masih sakit ya?” Melinda mendekat dengan perasaan takut.“Menurutmu?”“Kalau kamu tahu nggak doyan pedes kenapa nekat dimakan?”“Kamu tadi sudah tahu ‘kan kalau aku nggak doyan pedes, kenapa kamu masak pedes sih, Mel?” nadanya sedikit meninggi dengan memegangi perutnya yang terasa perih.Melinda mendekat, ia berniat hendak menolong Firdaus. namun, Firdaus menolak pertolongan dari Melinda. Wajahnya terihat datar. Raut wajah kekecewaan yang telah ia tunjukkan padanya.“Fir, aku belikan obat ya,”Firdaus masih tidak menjawab. Ia langsung masuk kamar dan menutup pintunya. Melinda hanya berdiam dibalik pintu yang telah ditutup oleh Fird