Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Mas Pandu belum juga menunjukkan tanda-tanda kepulangan. memang, suasana luar rumah masih terdengar cukup rame. Tetangga yang mengobrol di teras rumah, juga suara anak-anak berlarian di halaman cukup membuatku merasa sedikit tenang.
Biasanya Mas Pandu juga pulang malam, paling cepat jam 10. Karena pekerjaannya yang kadang lembur tiba-tiba, mengharuskannya begitu, dan tidak jadi masalah bagiku. Toh ia sedang mencari nafkah tentunya untuk kelangsungan masa depan kami. Aku begitu bangga dengan suamiku yang pekerja keras pernikahan kami yang baru seumur jagung tidak lantas membuatnya bermalas-malasan.
Hanya saja pikiranku sedikit terganggu dengan pernyataan Irma pagi tadi, seharian ini hatiku selalu gelisah mengingat hal itu.
Tamu, hampir setiap malam ke rumah kami? Dan pergi menjelang subuh!
Sungguh tidak masuk akal ...
[Mas ... ]
Dalam kegelisahan yang kian menganggu, kukirimkan pesan kepada Mas Pandu melalui aplikasi berlogo hijau , diiringi dengan emoticon love.
[Iya ... sayang.]
Senang rasanya pesanku cepat terbalas, itu tandanya ia tidak lagi sedang bekerja. Apa ia sudah dalam perjalanan pulang?
[Mas, masih di kantor? Atau sudah dalam perjalanan pulang?]
[Maaf, sayangku. Seperti biasa Alhamdulillah aku dapat job lembur lagi. Mungkin sekitar jam sebelas aku baru nyampe rumah.]
Hatiku mendesah kecewa, jam sebelas itu masih sangat lama, sementara saat ini baru Jam delapan.
[Nggak apa-apa kan, sayang?]
Seharusnya tentu tidak masalah, tetapi kegelisahan yang terlanjur mengendap dipikiran membuat aku berpikir yang aneh-aneh.
[Nggak kok, Mas. Nggak apa-apa]
[Ya sudah. Tidur lagi, sana. Nanti aku bangunin.]
Diiringi dengan emoticon kedip sebelah mata.
Aku tidak mau mengungkapkan hal yang mengganggu pikiran lewat chat, takutnya nanti suamiku tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya, biarlah nanti saja ketika ia sudah pulang.
Aku beranjak dari sofa, menyibak gorden. Di luar sana suasana masih terlihat cukup rame, aku spontan menghembuskan nafas lega. Namun, sedetik kemudian aku menyadari kalau sikapku ini begitu parno dan berlebihan.
Memangnya kenapa kalau Irma melihat ada seseorang di luar? Mungkin saja tidak dari rumahku. Ah, yang jelas kami tidak pernah kedatangan tamu satu malam pun. Itu yang sebenarnya, titik.
--------------------
Aku masih betah menatap gawai pipih di tangan. Dengan bantal yang ditumpuk menjadi tinggi sangat nyaman untuk jadi sandaran punggung. Selimut tebal membungkus tubuhku selaras dengan nyala AC yang cukup dingin.
Aku tidak lagi begitu memikirkan kata-kata Irma. Logikaku akhirnya bicara kalau memang ada tamu maka tentu ia akan masuk ke dalam rumah ini, dan kenyataannya memang tidak ada siapapun yang pernah datang ke sini malam-malam. Jadi sudah jelas, orang yang dilihat Irma itu bukan ke sini.
Atau ia penguntit?
Ah, aku cepat-cepat mengalihkan perhatian kembali ke Drakor yang sedang terpampang di layar ponsel, dan akupun kembali larut dengan cerita apik yang di sajikan.
Gelap.
Astaga, aku barusan ketiduran. Dan sekarang mungkin sedang mati lampu.
Aku merasa sesak di tengah kegelapan yang tiba-tiba mendominasi ruangan kamar ini, kuraba-raba sekitar tempat tidur bermaksud mencari ponsel. Tetapi tidak kutemukan, aku semakin tersengal karena takut gelap.
Tiba-tiba aku merasakan kasur di sebelahku melesak, pertanda beban berat sedang menimpanya. Seketika hati merasa lega, indra penciuman di serbu oleh bau khas Mas pandu.
Aku mengerti, suamiku ini akan menjalan tugasnya sebagai suami sejati, dan dalam setiap tugas pentingnya ini, lampu harus selalu mati. Keadaan kamar harus selalu gelap. Itu peraturannya, dan selama bersamanya aku oke-oke saja gelap-gelapan.
"Mas ..." Kupanggil lirih, sambil meraba tubuh yang tepat berada di depanku.
Terasa dada liat yang ditumbuhi bulu halus, rasa hangat seketika mengalir di pembuluh darah tanganku, mengalirkan debar yang begitu memabukkan ke seluruh tubuh.
Aku terus mengusap tubuh itu, dengan tangan gemetar melewati bahunya lalu mulai naik naik ke leher. Sementara deru nafasnya yang mulai ter*ngah menahan g*jolak menghadirkan sens*si lain di setiap jengkal kulitku.
Belum berapa lama aku menikmati usapan di dagu serta di rahangnya yang terasa keset karena bakal janggut yang akan tumbuh. Jemariku di raihnya lalu dikecupnya sekilas setelahnya ia mulai merebahkan tubuh pasrahku di baw*hnya.
Lalu aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi, selain rasa yang membuatku terbang melayang, suamiku ini benar-benar sangat perk*sa. Tiada ampun ia membuatku sampai begitu lemas. Aku bahkan tidak sadar kalau hari sudah menjelang pagi.
"Bangun, Tuan Putri. Ini sudah begitu siang..."
Bisikan mesra perlahan membangunkanku dari tidur yang terasa sangat kurang itu, Rasanya baru saja memejamkan mata.
"Mas ..." Aku merentang tangan ke arahnya dengan mimik manja. Mas Pandu yang sudah terlihat rapi itu terkekeh pelan, lalu meraih tubuhku untuk duduk.
"Capek sekali ..." Bisikku parau. Bersandar di dadanya yang sudah dibungkus kemeja abu dasi pun sudah terpasang rapi di lehernya.
"Apa aku terlalu keras, padamu?" Tanyanya, dengan nada yang begitu khawatir.
Aku menggeleng cepat.
"Aku senang membahagiakanmu, Mas."
"Apa, kamu juga bahagia?" kali ini pertanyaan bernada serius.
"Tentu, Mas. Aku sangat bahagia." Aku menangkup rahangnya yang licin dengan kedua tanganku.
"Syukurlah, Mala. Aku sempat khawatir kalau aku tidak akan bisa membuat istriku bahagia," ucapnya sembari meraba lembut pipiku, serta mendaratkan ciuman di sana.
"Mana mungkin aku tidak akan bahagia hidup bersama seorang yang begitu pekerja keras, dan ..." Aku sengaja menggantungkan ucapanku.
"Dan ..." lanjutnya Terseyum penuh godaan.
"Apa, ya?" Aku menyembunyikan muka dalam selimut.
"Hmmm..." Ia bergumam nakal.
"Begitu perk*sa." ucapku di sambut kekehan pelan darinya.
Ia meraihku ke dalam pelukannya. Aku tenggelam dalam dada bidang itu, iseng aku membuk* kancing kemejanya, lalu menyusupkan tangan ke dadanya yang tanpa kaus dalam itu.
Licin.
Lalu kenapa semalam aku merasakan dada ini di tumbuhi bulu halus? Kalau bulu di rahang aku tidak akan terkejut, ia begitu rajin bercukur setiap hari. Apa bulu di dada juga ia cukur pagi ini?
Tunggu ... aku baru ingat , Mas Pandu tidak pernah memelihara jambang sekalipun, rahangnya itu selalu terlihat licin setiap hari. Tetapi kenapa setiap malam aku merasa....
"Mas ... bercukur lagi ya?" tanyaku mengusap lembut rahang itu."Iya dong, sayang. Suamimu harus selalu terlihat rapi di tempat kerja." "Lalu, apa, Mas juga mencukur ini?" Aku mengusap dadanya.Tiba-tiba ia beranjak cepat dari tempat tidur. Mas Pandu mengancingkan bajunya cepat."Ayolah, sayang. Cepat mandi. Temani aku sarapan, aku hampir terlambat," ucapnya sambil berlalu keluar kamar.Aku masih terbengong di tempat tidur. Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke mana-mana. Seingatku, selama ini aku hampir tidak pernah melihat suamiku itu bertel*nj*ng dada. Setiap kali aku bangun, ia sudah mandi dan rapi. Sementara kalau berc*nta selalu saja dalam keadaan gelap gulita.Oh ya, Tuhan. Aku segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur cepat kepala dengan air dingin. Agar pikiran aneh ini cepat menghilang."Mas. Masa iya, jeng Irma tetangga sebelah rumah kita itu bilang kalau ia selalu lihat ada tamu tiap tengah malam ke rumah kita, dan perginya hampir menjelang sub ...""Uhuk ... uhuk ..."U
BUKAN H*SR*T SUAMIKU 4"Tanda itu tercipta karena gesekan jambang kasar yang kira-kira tidak dicukur selama satu bulan ... ".Aku mematut wajah di cermin, pandanganku terfokus pada leher yang dipenuhi bercak kemerahan sebesar ujung jarum. Menyebar hampir di seluruh leher kulit dadaku juga tidak luput dari tanda itu.Aku tidak akan mempermasalahkan tanda ini, karena memang hal ini selalu ada sejak tiga bulan lalu, dan aku merasa bahagia karenanya.Tanda kepemilikan, begitu yang selalu tertulis di novel-novel roman yang sering kubaca.Akan tetapi, penjelasan Dara siang tadi membuatku jadi tidak mengerti. Tanda ini bukan karena gigitan atau apalah namanya itu. Tanda ini diakibatkan tekanan atau gesekan jambang yang lebat dan kasar. Sedangkan, Suamiku selalu mencukur licin rahangnya.Aku mengingat-ingat, dalam setiap percinta*n kami aku sempat beberapa kali menyentuh rahang suamiku, dan memang terasa kasar tapi aku tidak memperdulikannya. Mungkin saja aku dalam pengaruh asm**a yang da
Apakah yang mengg*uliku dengan begitu perk*s* setiap malam, bukanlah Suamiku? ....Cahaya matahari pagi yang memasuki celah ventilasi kamar, menyilaukan mataku yang masih saja enggan terbuka.Seluruh persendian yang terasa remuk, membuatku semakin enggan untuk segera beranjak ke kamar mandi. Sepertinya bergelung sebentar lagi adalah pilihan terbaik.Tetapi tiba-tiba aku teringat peristiwa tadi malam. Yang membuat rasa lelah serta kantuk segera menghilang.Kubuka selimut yang menutupi tubuh, memakai kimono yang teronggok di lantai lalu segera berlari keluar.Aku memukan Mas Pandu begitu rapi dengan setelan kerjanya. Duduk santai di pantry dapur, sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan asap."Mas ..." panggilku. Ia segera menoleh ke arahku, lalu tersenyum sangat manis."Jam berapa Mas pulang semalam? Katanya mau lembur sampai pagi?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.Ia menyodorkan segelas teh dengan cangkir yang sama ke arahku."Sekitar jam 12, sayang. Ternyata pekerja
Tanganku gemetar meraih kamera yang nyaris tidak berbentuk itu lagi. Pecahan berserakan di sekitar ubin.Jangan-jangan ketidak beradaan Irma pagi ini ada hubungannya dengan tamu yang di lihat datang ke rumahku.Mungkin saja seseorang misterius yang terlihat oleh Irma itu, mengetahui niatnya ingin merekam. Lalu orang itu menculik Irma dan anak-anaknya. (Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai pelaut)Tiba-tiba aku merinding, rasa takut menguasai pikiran. Orang yang dilihat Irma mungkin adalah seorang begal yang mengintai pintu-pintu rumah warga sekitar sini.Ya Tuhan...b*dohnya aku. Tega sekali aku mengantarkan Irma pada sebuah musibah. Seandainya aku tidak menantangnya kemaren tentu ia dan anak-anaknya masih aman di sini.Sekarang pada siapa harus kulaporkan semua ini?Kalau kulaporkan pada warga di sini, aku yakin akan terjadi kehebohan dan ketakutan. Namun, kalau didiamkan saja bisa-bisa Irma dan anak-anaknya tidak akan selamat.Apa aku bilang saja pada suamiku dulu? Ya, ras
"Mas, cepat pulang ya. Aku takut ..."Terdengar kekehan khas suamiku dari seberang sana."Serius, Mas. Ada sesuatu yang terjadi di sini."Aku berusaha meyakinkannya. "Memangnya apa, yang terjadi?" Kali ini nada suaranya lumayan terdengar serius.Aku berpikir sebentar. Haruskah aku bilang hal ini pada suamiku? "Irma, Mas ...""Irma?""Itu, tetangga sebelah rumah ...""Lalu, kenapa dengan tetangga kita itu, sayang? Hingga dirimu terdengar cemas begitu?""Dia, pergi tiba-tiba, Mas.""Lho, dia yang pergi kok, kamu yang ketakutan?" "Tap-tapi seperti terjadi sesuatu, Mas."Terdengar hembusan nafas kesal dari seberang. Apa aku terlalu berlebih-lebihan? Tetangga yang pergi, aku yang panik sendiri. Mungkin ia berpikir seperti itu."Apa yang mungkin terjadi padanya, Mala? Lagi pula itu bukan urusan kita. Inilah maksudku kemaren. Jangan terlalu mendengarkan omongan tetangga. Jadi, kamu jugakan yang repot sekarang. Memikirkan hal-hal yang tidak perlu ...""Mas ...""Akan aku usahakan pulang ce
Dingin.Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Lalu saat mencoba bangun dari tempat tidur, seakan tulang ini tiada penyangga, begitu ringan ...BukkkkAku terhempas ke ubin yang licin, semakin mengirimkan sinyal dingin ke setiap inci kulit. Lututku terasa ngilu, karena membentur lantai keras itu.Pandanganku terasa berputar. Keringat dingin mulai terasa di sekitar dahi. Oh apa aku demam?"Mala ...."Aku rasa suamiku datang dan kembali membopongku ketempat tidur. Namun, setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi. -------------------------"Dia, masih tertidur ...."."Ya, ya aku akan mengingatnya ...."."Tidak ... tidak. Ia hanya sedikit demam, pagi tadi ia sudah bangun tapi mungkin karena suhu tubuhnya meningkat ia kembali tertidur."."Akan kupastikan nanti."."Baiklah, aku akan melakukan seperti yang anda katakan."..Percakapan Mas Pandu yang entah siapa terdengar samar di telinga. Namun, sepertinya setiap kalimatnya ditangkap jelas oleh pendengaranku."Ya, aku ak
Sejak tiga bulan pernikahan kami, baru kemarin dan hari ini aku benar-benar merasa diperhatikan oleh suamiku. Yang biasanya ia selalu pergi pagi pulang malam, selalu disibukkan oleh pekerjaan.Aku begitu tersanjung dengan perlakuan terhadapku. Begitu manis, sangat telaten merawat dan memanjakanku yang masih belum pulih sepenuhnya.Melihat perlakuannya yang begitu gentelmen itu, menghadirkan rasa bersalah yang begitu besar ketika mengingat apa yang kukatakan padanya kemaren.Sungguh memalukan dan tidak termaafkan bila di ingat-ingat.Semoga ia tidak mengingat lagi apa yang telah istrinya ini ucapkan padanya.Aku masih menatapnya penuh haru me arahnya yang sedang sibuk mengaduk-aduk bubur kacang hijau. Satu-satunya bubur kesukaanku, dan ia bersikeras untuk membuatkannya.Bahu lebarnya, serta otot lengan itu,terlihat begitu kokoh di pandang dalam posisi ia membelakangi seperti ini. Tubuh tinggi berkulit putih, berambut cepak yang hitam legam. Senyuman yang menawan yang selalu tercipta d
"Mas ... sepertinya, kamu terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Kita tidak bercinta baru dua malam? Tapi, entah kenapa ekspresimu seperti tidak melakukannya selama setahun?" Suaraku bergetar. Aku takut dengan nya tetapi aku juga tidak mengerti dengan sikapnya ini. "Diamlah, Mala. Ikuti saja keinginanku." Nada dingin, dengan penegasan yang begitu mutlak."Tidak ... kita tidak akan pernah lagi bercinta kalau kamu masih mau dengan teorimu yang tidak lazim itu!" tegasku. Sementara dadaku masih berdebar sangat keras. Kapas bekas pembersih wajah kusapukan bolak-balik ke telapak tangan, untuk mengurangi rasa takut serta gugup." Baiklah. Aku tidak butuh izinmu, Mala ... selama ini, yang kau lihat dariku cuma kebaikan saja bukan? Apa, kau ingin lihat juga kemarahanku, kekerasanku?" tiba-tiba saja, telapak tangannya sudah menjepit rahangku dengan keras.Jantung seakan berhenti berdetak."Ma ... Mas ..." Aku sungguh tidak percaya ia akan berbuat begini."Aku ini, suamimu! Dengar itu, 'suami