BUKAN H*SR*T SUAMIKU 4
"Tanda itu tercipta karena gesekan jambang kasar yang kira-kira tidak dicukur selama satu bulan ... "
.Aku mematut wajah di cermin, pandanganku terfokus pada leher yang dipenuhi bercak kemerahan sebesar ujung jarum. Menyebar hampir di seluruh leher kulit dadaku juga tidak luput dari tanda itu.
Aku tidak akan mempermasalahkan tanda ini, karena memang hal ini selalu ada sejak tiga bulan lalu, dan aku merasa bahagia karenanya.
Tanda kepemilikan, begitu yang selalu tertulis di novel-novel roman yang sering kubaca.
Akan tetapi, penjelasan Dara siang tadi membuatku jadi tidak mengerti. Tanda ini bukan karena gigitan atau apalah namanya itu. Tanda ini diakibatkan tekanan atau gesekan jambang yang lebat dan kasar. Sedangkan, Suamiku selalu mencukur licin rahangnya.
Aku mengingat-ingat, dalam setiap percinta*n kami aku sempat beberapa kali menyentuh rahang suamiku, dan memang terasa kasar tapi aku tidak memperdulikannya. Mungkin saja aku dalam pengaruh asm**a yang dahsyat, sehingga tidak bisa membedakan rabaan yang benar.
Ting ...
Nada pesan masuk membuyarkan lamunanku. Segera kuraih benda pipih di atas ranjang.
[Sayang ...]
Mas Pandu.
[Mas ... ] Diiringi emoticon love.
[ Sepertinya malam ini, Mas lembur sampai pagi, ya.]
[ Apa, Mas? Kok tumben?]
Aku cukup kaget dengan hal ini, selama pernikahan baru kali ini suamiku akan menjalani lembur semalaman.
[ Iya, sayang ... ini sudah hampir memasuki akhir tahun, jadi harus segera menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk.]
[Ya, sudah, Mas. Baik-baik kerjanya] Diiringi emoticon menangis.
[Kenapa, Mala? Kamu tidak takut sendirian di rumah bukan? Aku suruh Dara menemani, ya.]
Dara? Bukan ide yang buruk, sebenarnya gadis itu cukup manis untuk dijadikan teman bicara. Tetapi mengingat kejadian siang tadi, dengan segala pertanyaan bar-bar yang membuatku gelisah sepanjang hari ini, mungkin saja kalau ia tidur di sini nanti malam akan banyak lagi interogasi anehnya yang akan semakin berpikir tidak karuan.
[Ah, nggak kok, Mas. Di sini kan banyak tetangga. Rumah-rumah juga sangat berdekatan, tidak mungkin aku akan takut.] Emoticon tertawa.
[Baiklah, sayang. Mas kembali kerja. Jangan lupa makan, shalat dan kunci pintu.]
Kemudian tidak berapa lama ia terlihat lebih dulu menyudahi chat kami.
Aku kembali menaruh ponsel di atas ranjang dan kembali mematut diri di kaca.
Ah, persetan dengan segala perkataan Dara. Aku tidak akan memikirkan lagi hal yang membuatku jadi gelisah begini. Tentu saja tanda ini dari suamiku, sudah jelas setiap malam ia menggauliku. Mengenai tanda ini, itu bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan.
Mungkin saja suamiku memiliki berbagai cara untuk membuatnya, bukan harus dengan jambang kasar seperti ocehan Dara. Imajinasi anak itu saja yang terlalu melambung, yah mungkin karena ia sudah dalam usia matang untuk menikah.
------------------------------------Bagaimanapun berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, tetap saja hingga malam sudah larut begini mata ini masih belum juga mau terpejam.
Pikiranku mengembara ke mana-mana, dan tertambat pada hari itu, di saat pertama kali bertemu dengan Mas Pandu.
Di sebuah acara pernikahan sahabatku, Lina. Mas Pandu merupakan salah satu kerabat dekat temanku itu.
Aku yang dulu bertindak sebagai salah satu brydest maid, Lina dan Mas Pandu juga salah best man, membuat kami dekat dalam sehari saja.
Mas Pandu yang begitu tampan dan murah senyum dengan cepat membuatku terpesona. Dan tanpa di duga ia juga menaruh rasa padaku.
Lelaki yang sudah cukup mapan dengan gajinya sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan yang lumayan besar langsung melamarmu sebulan setelah perkenalan kami itu. Keluarga besar kedua belah pihak menyambut niat baik kami dengan suka cita.
Lalu aku diboyongnya ke sini. Ke rumah yang tidak terlalu besar namun sangat nyaman untuk ditinggali. Rumah yang kata Mas Pandu sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk pendamping hidupnya. seluruh perabotan sepertinya di pesan dari toko furniture terbaik. Semuanya terlihat berkelas, membuatku segera betah menempatinya.
Halamannya juga cukup luas, sangat cocok untukku yang memang hobi menanam bunga.
Berbagai macam tanaman hias terlihat selalu bermekaran di teras dan juga bagian tanah yang dulu kosong.Gelap.
Ah, lagi-lagi aku ketiduran sambil melamun dan terjaga saat lampu padam. Kali ini tidak mungkin ulah Mas Pandu, karena suamiku itu sudah bilang akan pulang pagi hari. Ini mungkin benar-benar karena gangguan teknis PLN.
Aku meraih selimut yang tadi teronggok di paha, menutupi kepala. Sungguh aku tidak suka gelap, kecuali gelap-gelapan dengan suamiku.
Entah berapa lama lampu akan menyala lagi.
Nafasku terasa sesak di bawah selimut, di tambah gerah membuat keringatku bercucuran.Aku tetap bertahan di bawah selimut. Aku semakin membungkus kepala dengan kain tebal itu. Walau rasa gerah dan sesak seperti mencekikku.
Oh, lampu cepatlah menyala. Batinku mulai diliputi ketakutan.
Tiba-tiba aku merasakan kasur di sebelahku melesak ke bawah, menandakan beban berat menindihnya. Tapi katanya kan, Mas Pandu akan pulang pagi hari?
Apa ia berubah pikiran? Atau pekerjaannya selesai lebih awal. Makanya ia pulang seperti biasanya.
Terasa selimut di tarik pelan. Lalu aku mendesah lega, tatkala wangi khas suamiku menyeruak indra penciuman.
"Mas ... aku takut!" seruku, langsung mendekap kepalanya erat.
Ia terdengar terkekeh. Aku sangat bisa membedakan kekehan saat ia dilanda g*ir*h dengan kekehan saat bercanda biasa.
Kekehan saat ia dilanda ga*r*h, terdengar sangat berat dan seksi.
"Mas ... jangan pernah tinggalkan aku lagi malam-malam begini." Rengekku masih membenamkan kepalaku di lehernya.
Lalu aku secara spontan meraba rahangnya, seketika jantungku seakan berhenti ketika terasa bulu yang sangat kasar di sana ...
"Mas ... bukankah, kamu selalu bercukur? Lalu ...."
Ucapanku terpotong seiring jemari yang segera disambarnya, lalu terasa ia menbekap rakus bibirku. Seperti biasanya.
Tanganku kemudian ia tekan ke bantal, masih seperti yang lalu-lalu, aku seakan tidak dibiarkan menyentuh tubuh suamiku sendiri. sebenarnya baru kali ini aku menyadari semua keganjilan dan ingin menolak sentuhannya kali ini. Namun, setengah dari diriku malah mendamba.
Nafasnya yang memb*ru membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya pasrah menikm*ti sens*si yang selalu terasa lebih dari biasanya.
Di sel*-sela nafasku yang terseng*l di tengah asmara dahsyat yang melanda, terlintas suatu pertanyaan yang membuat hatiku bergetar.
Apakah yang selalu menidiriku dengan g*gah perk*s* setiap malam bukan, Suamiku?
.Apakah yang mengg*uliku dengan begitu perk*s* setiap malam, bukanlah Suamiku? ....Cahaya matahari pagi yang memasuki celah ventilasi kamar, menyilaukan mataku yang masih saja enggan terbuka.Seluruh persendian yang terasa remuk, membuatku semakin enggan untuk segera beranjak ke kamar mandi. Sepertinya bergelung sebentar lagi adalah pilihan terbaik.Tetapi tiba-tiba aku teringat peristiwa tadi malam. Yang membuat rasa lelah serta kantuk segera menghilang.Kubuka selimut yang menutupi tubuh, memakai kimono yang teronggok di lantai lalu segera berlari keluar.Aku memukan Mas Pandu begitu rapi dengan setelan kerjanya. Duduk santai di pantry dapur, sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan asap."Mas ..." panggilku. Ia segera menoleh ke arahku, lalu tersenyum sangat manis."Jam berapa Mas pulang semalam? Katanya mau lembur sampai pagi?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.Ia menyodorkan segelas teh dengan cangkir yang sama ke arahku."Sekitar jam 12, sayang. Ternyata pekerja
Tanganku gemetar meraih kamera yang nyaris tidak berbentuk itu lagi. Pecahan berserakan di sekitar ubin.Jangan-jangan ketidak beradaan Irma pagi ini ada hubungannya dengan tamu yang di lihat datang ke rumahku.Mungkin saja seseorang misterius yang terlihat oleh Irma itu, mengetahui niatnya ingin merekam. Lalu orang itu menculik Irma dan anak-anaknya. (Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai pelaut)Tiba-tiba aku merinding, rasa takut menguasai pikiran. Orang yang dilihat Irma mungkin adalah seorang begal yang mengintai pintu-pintu rumah warga sekitar sini.Ya Tuhan...b*dohnya aku. Tega sekali aku mengantarkan Irma pada sebuah musibah. Seandainya aku tidak menantangnya kemaren tentu ia dan anak-anaknya masih aman di sini.Sekarang pada siapa harus kulaporkan semua ini?Kalau kulaporkan pada warga di sini, aku yakin akan terjadi kehebohan dan ketakutan. Namun, kalau didiamkan saja bisa-bisa Irma dan anak-anaknya tidak akan selamat.Apa aku bilang saja pada suamiku dulu? Ya, ras
"Mas, cepat pulang ya. Aku takut ..."Terdengar kekehan khas suamiku dari seberang sana."Serius, Mas. Ada sesuatu yang terjadi di sini."Aku berusaha meyakinkannya. "Memangnya apa, yang terjadi?" Kali ini nada suaranya lumayan terdengar serius.Aku berpikir sebentar. Haruskah aku bilang hal ini pada suamiku? "Irma, Mas ...""Irma?""Itu, tetangga sebelah rumah ...""Lalu, kenapa dengan tetangga kita itu, sayang? Hingga dirimu terdengar cemas begitu?""Dia, pergi tiba-tiba, Mas.""Lho, dia yang pergi kok, kamu yang ketakutan?" "Tap-tapi seperti terjadi sesuatu, Mas."Terdengar hembusan nafas kesal dari seberang. Apa aku terlalu berlebih-lebihan? Tetangga yang pergi, aku yang panik sendiri. Mungkin ia berpikir seperti itu."Apa yang mungkin terjadi padanya, Mala? Lagi pula itu bukan urusan kita. Inilah maksudku kemaren. Jangan terlalu mendengarkan omongan tetangga. Jadi, kamu jugakan yang repot sekarang. Memikirkan hal-hal yang tidak perlu ...""Mas ...""Akan aku usahakan pulang ce
Dingin.Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Lalu saat mencoba bangun dari tempat tidur, seakan tulang ini tiada penyangga, begitu ringan ...BukkkkAku terhempas ke ubin yang licin, semakin mengirimkan sinyal dingin ke setiap inci kulit. Lututku terasa ngilu, karena membentur lantai keras itu.Pandanganku terasa berputar. Keringat dingin mulai terasa di sekitar dahi. Oh apa aku demam?"Mala ...."Aku rasa suamiku datang dan kembali membopongku ketempat tidur. Namun, setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi. -------------------------"Dia, masih tertidur ...."."Ya, ya aku akan mengingatnya ...."."Tidak ... tidak. Ia hanya sedikit demam, pagi tadi ia sudah bangun tapi mungkin karena suhu tubuhnya meningkat ia kembali tertidur."."Akan kupastikan nanti."."Baiklah, aku akan melakukan seperti yang anda katakan."..Percakapan Mas Pandu yang entah siapa terdengar samar di telinga. Namun, sepertinya setiap kalimatnya ditangkap jelas oleh pendengaranku."Ya, aku ak
Sejak tiga bulan pernikahan kami, baru kemarin dan hari ini aku benar-benar merasa diperhatikan oleh suamiku. Yang biasanya ia selalu pergi pagi pulang malam, selalu disibukkan oleh pekerjaan.Aku begitu tersanjung dengan perlakuan terhadapku. Begitu manis, sangat telaten merawat dan memanjakanku yang masih belum pulih sepenuhnya.Melihat perlakuannya yang begitu gentelmen itu, menghadirkan rasa bersalah yang begitu besar ketika mengingat apa yang kukatakan padanya kemaren.Sungguh memalukan dan tidak termaafkan bila di ingat-ingat.Semoga ia tidak mengingat lagi apa yang telah istrinya ini ucapkan padanya.Aku masih menatapnya penuh haru me arahnya yang sedang sibuk mengaduk-aduk bubur kacang hijau. Satu-satunya bubur kesukaanku, dan ia bersikeras untuk membuatkannya.Bahu lebarnya, serta otot lengan itu,terlihat begitu kokoh di pandang dalam posisi ia membelakangi seperti ini. Tubuh tinggi berkulit putih, berambut cepak yang hitam legam. Senyuman yang menawan yang selalu tercipta d
"Mas ... sepertinya, kamu terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Kita tidak bercinta baru dua malam? Tapi, entah kenapa ekspresimu seperti tidak melakukannya selama setahun?" Suaraku bergetar. Aku takut dengan nya tetapi aku juga tidak mengerti dengan sikapnya ini. "Diamlah, Mala. Ikuti saja keinginanku." Nada dingin, dengan penegasan yang begitu mutlak."Tidak ... kita tidak akan pernah lagi bercinta kalau kamu masih mau dengan teorimu yang tidak lazim itu!" tegasku. Sementara dadaku masih berdebar sangat keras. Kapas bekas pembersih wajah kusapukan bolak-balik ke telapak tangan, untuk mengurangi rasa takut serta gugup." Baiklah. Aku tidak butuh izinmu, Mala ... selama ini, yang kau lihat dariku cuma kebaikan saja bukan? Apa, kau ingin lihat juga kemarahanku, kekerasanku?" tiba-tiba saja, telapak tangannya sudah menjepit rahangku dengan keras.Jantung seakan berhenti berdetak."Ma ... Mas ..." Aku sungguh tidak percaya ia akan berbuat begini."Aku ini, suamimu! Dengar itu, 'suami
"Nanti malam kita akan pergi ke pesta yang di selenggarakan oleh perusahaan. Berdandanlah yang cantik. Sekitar Jam tujuh malam aku akan menjemputmu." Begitu kata Mas Pandu melalui via telpon siang tadi saat aku lagi bermalas-malasan di atas ranjang. Ya pagi tadi semuanya sudah kembali membaik di antara kami.Seperti biasanya ia yang selalu bangun lebih dulu bersikap jauh lebih manis. Menyiapkankan sarapan kesukaanku lalu ia memohon maaf atas sikapnya tadi malam.Apa yang bisa kulakukan selain memaafkannya. Sudah kubilang aku orangnya memang segampang itu, tidak akan pernah bisa berlama-lama marah pada seseorang. Apalagi ia adalah sosok tempat hati dan hidup ini bersandar.Walau setelah dipikir lagi, hati kecil ini begitu sangat yakin, kejadian yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang harus dianggap enteng. Ketakutan itu masih ada. Keraguan apa lagi, tetapi logika seakan memaksa untuk berhenti berprasangka negatif."Tanamkan dalam logikamu kalau semua itu hanya mimpi. Jang
Aku bergeming. Entah kenapa tubuh ini terasa kaku. Bahkan untuk membuang pandangan pun rasanya tidak mampu. Aku benar-benar terasa membeku. Entahlah ...aku begitu gugup, ditatap oleh orang yang sepertinya menyimpan energi hipnotis dalam sorot matanya itu, kemisteriusan terlihat sangat nyata dalam dirinya. Tidak bisa dipungkiri wajah yang seperti memiliki campuran garis timur tengah itu cukup sedap untuk dipandang. Pantas saja para gadis-gadis itu tadi sangat bersemangat. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku bisa melihat bentuk wajah itu. Mungkin gambaran seperti tokoh-tokoh pemain utama di novel-novel atau film-film luar. Aku pikir begitu. Alis tebal yang saling bertaut. Mata yang seperti dibilang tadi begitu tajam dengan sorot sedingin es. Hidung mancung selaras dengan bibir tipisnya yang kecoklatan. Lalu ... Rahang tegas itu, hingga bawah dagu ditumbuhi bulu-bulu kasar yang tidak terlalu tebal, Tapi sangat jelas. Berkulit sawo matang dengan tubuh menjulang y
"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah m
Pov narator ( Bagian akhir) "Kalau kau terus saja melakukan ini, bisa-bisa bayi kita lahir prematur...." Lirih ucapan Nirmala di sela helaan nafas memburu, seluruh tubuhnya tidak lagi memiliki tenaga, pasrah ketika sang suami mengangkat dirinya untuk menyingkirkan seprey yang telah basah oleh cairan cinta yang berasal darinya. Giantara terkekeh senang, setelah kain putih itu teronggok di lantai sepenuhnya, ia kembali meraup tubuh polos istrinya ke dalam pelukan, mengecup pucuk kepala dan dibagian manapun ia suka, jemarinya pun membelai perut buncit yang terasa masih menegang akibat pelepasan beruntun yang di alami wanita itu. "Nggak lah sayang, justru bayi kita akan semakin kuat dan lincah, lagipula kan dokter menyarankan jika di trimester terakhir ini kita harus sering melakukannya," Giantara mengusap sisa-sisa keringat yang masih menempel di sekitar wajah Nirmala, merapikan rambut panjang yang lembab, menyatukan ke belakang hingga dada dan leher seputih pualam dan sehalus sutera
Tidak dapat kuhindari, lengan kekar itu telah meraup tubuhku ke dalam dekapan dadanya, dan dapat terdengar jelas gemuruh hebat dari dalam sana, helaan nafasnya pun begitu berat begitu sesak terhempas di pucuk kepala. Ia mengecup berkali-kali di ubun-ubun, memeluk begitu erat seakan kami tidak berjumpa bertahun-tahun. "Pergilah Joana, aku mohon bawa putrimu, biarkan dia hidup dengan tenang di sisiku ... aku siap menerima hukuman apapun karena telah mengusir anakku tapi sungguh aku tidak bisa ditinggalkan oleh wanita ini," Ia bicara putus-putus di tengah helaan nafasnya yang memburu.Aku terbungkam, yang tadi hendak membebaskan diri dari pelukannya yang memabukkan menjadi tidak bisa lagi menggerakkan otot-otot tangan. Ia tengah menyeruak pada ceruk leherku, begitu terasa nafas berat terhempas membelai, seiring pelukannya yang kian mengetat, lalu kulitku menemukan rasa hangat yang lain tersebab tetesan air matanya. Aku termenung, tidak lagi mampu bicara atau melakukan sesuatu, seme
Seperempat jam sejak panggilan di ponsel itu, suara kedatangan mobil telah terdengar menderu. Aku yang memang sengaja menanti kedatangannya di balkon melihat kendaraan tersebut diparkir asal di perkarangan. sekejap kemudian lelaki itu telah mengeluarkan diri dari sana, menghempas pintu mobil dengan kekuatan penuh lalu langkah panjang setengah berlari membawa tubuhnya dengan cepat memasuki rumah.Hitungan menit dia sudah muncul di kamar yang begitu kacau, barang-barang Joanna berserakan dan barang-barangku masih belum selesai mereka kemas. Raut pria itu begitu mengeras, denyut di rahangnya nampak begitu kentara, sesaat matanya menyapu seluruh ruangan beserta isinya membuat mereka yang masih berusaha nampak mengkerut ketakutan dan menegang, setelahnya tatapan tajamnya itu hanya tertuju padaku meminta penjelasan."Sayang ...." Suaranya berat dan tercekat, aku tahu dia tengah menahan amarah yang amat sangat.Sekejap dia telah merengkuhku, membawa tubuhku tenggelam dalam pelukannya, gemur
"Mari kita buktikan, Kak. Apa memang yang kau katakan itu benar. Jika iya, dengan suka rela aku akan pergi dari kehidupan Giantaramu itu!"Aku benar-benar tidak tahan hingga melenyapkan segala kesabaran dalam jiwa ini. Aku menyambar lengannya, ingin segera menyeretnya ke dalam kamarku.Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksiku, itu bisa dilihat dari ekspresinya, tatapannya yang tadinya begitu percaya diri menghujaniku kini telah berubah menjadi sorot penuh cemas."Mala, apa-apaan?" Ia menepis cengkramanku di saat langkah kaki kami sudah hampir keluar dari area taman."Kenapa, Kak? Takutkah? Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu tadi!" jelasku berusaha mempertahankan cengkraman di lenganku."Jangan macam-macam, Mala. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!""Oh ya? Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku tidak akan lagi bisa berada di dalam rumah ini sebelum sebuah kejelasan!" tegasku membuat matanya begitu membola."Apa maksudmu?""Seperti yang kau inginkan, Kak.
Bukan Hasrat Suamiku 66"Aku tahu apa aku pikirkan dan apa yang akan kau lakukan, Mala?" Ia berujar tenang, matanya masih tidak lepas mengawasiku.Aku membuang tatapan dari wajah penuh kebohongan ini, sungguh hal buruk tentangnya yang selama ini hanya menjadi prasangka rasa cemburuku benar-benar nyata."Oh ya?" suaraku terdengar seret, dada berdebar kesal, kesal karena tadi lupa membawa ponsel, kalau benda itu ada di sini sudah kupastikan akan merekam segala ucapannya."Silahkan saja, kau katakan pada G sekarang juga, toh ia tidak akan percaya padamu bukan? Ia akan menganggap kau hanya mengada-ada, karena rasa cemburu yang berlebihan."Bahkan ia sudah menebaknya, bagaimana reaksi Suamiku jika aku langsung mengatakan yang kulihat sekarang, jika tanpa adanya bukti.Ia tertawa kecil, seolah ia telah merengkuh kemenangan, mungkin karena membaca kepasrahan di ekspresi wajahku yang kesal."Seharusnya kau berterimakasih padaku, Mala. Kalau tidak Glarissa akan membuat G menyingkirkanmu dari p
"Jangan suruh kami pergi Daddy, semewah apapun rumah yang telah Daddy sediakan untuk kami tidak akan ada artinya tanpa Daddy."Aku menunggu bagaimana tanggapan Mr. Giantaraku dengan permintaan putrinya itu. Hatiku berdebar sakit melihat adegan mereka yang masih berpelukan, sangat lama. Seakan-akan Suamiku tidak ingin melepas dekapan pada anaknya tersebut.Tetapi, aku segera memakai hati ini, aku tidak boleh cemburu kalau hanya tentang putrinya, yang terpenting aku tidak boleh egois."Daddy akan selalu mengunjungimu..." Aku tercekat mendengar kalimat yang di lontarkan suamiku tepat di puncak kepala putrinya."Benarkah Daddy? Setiap hari?" Gadis remaja itu mengangkat kepala dari dada Daddynya, lalu menatapnya dengan penuh harap."Tentu, kapanpun kamu menginginkan, Daddy akan selalu datang ..."Pahit. Aku menggigit bibir, rasanya sungguh tidak terperikan. Baru kali ini aku merasakan cemburu yang begitu besar, Mr. Giantaraku sepertinya sangat mencintai putrinya.Air rupanya telah jatuh d
"Cukup, Mr... sekarang aku yang benar-benar tidak mengerti, apakah kau masih Giantara yang mencintaiku?"Aku terisak, tidak menyangka lelaki yang satu tahun ini yang telah memberikan memberikan seluruh hati, cinta dan perhatiannya untukku, kini seperti menarik segalanya kembali.Hampa perlahan menyusupi dada."Kalau kau masih bersikap kekanakan maka kau akan benar-benar melihat kemarahanku." Ia tidak peduli dengan air mataku, tetap saja melontarkan kata yang menikam hati.Ia masih menatap tajam tiada berkedip. Setelah beberapa saat terdengar hempasan nafas kesalnya, lantas ia kembali bergerak ke arah lemari melanjutkan berpakaiannya yang tertunda.Aku duduk di ranjang, mengawasinya dengan air mata yang masih menetes. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dia seperti
"Semuanya tidak seperti yang kau pikirkan sayang. Tidak ada yang akan berubah, kejadian tiba-tiba ini, tidak akan ada pengaruhnya bagi kita."Aku mengusap mata yang terasa masih basah. Sungguh, aku tidak ingin memperlihatkan ketidak inginan hati di depannya. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tapi tetap saja aku tidak bisa ber-akting dengan sempurna."Aku tidak berpikir apa-apa. Hanya saja aku sangat terkejut kalau suamiku ternyata mempunyai buah cinta dari wanita lain ..."Aku menggigit bibir agar tangis ini tidak pecah di ujung kalimat."Aku juga tidak menduga." Ia berucap pelan, sambil terus mendekapku."Tentu saja, entah berapa banyak wanita yang menjadi persinggahanmu di masa lalu. Itu bisa dimengerti, kau bukan lelaki biasa. Kau tampan dan punya banyak uang. Semuanya akan takhluk padamu." Sekarang aku benar-benar terisak."Tetapi sebagai seorang istri, hatiku hancur dengan kenyataan ini. Tiba-tiba kehidupan kita yang bahagia harus terusik oleh orang dari masa lalumu. Kau membawa