"Mas ... bercukur lagi ya?" tanyaku mengusap lembut rahang itu.
"Iya dong, sayang. Suamimu harus selalu terlihat rapi di tempat kerja."
"Lalu, apa, Mas juga mencukur ini?" Aku mengusap dadanya.
Tiba-tiba ia beranjak cepat dari tempat tidur. Mas Pandu mengancingkan bajunya cepat.
"Ayolah, sayang. Cepat mandi. Temani aku sarapan, aku hampir terlambat," ucapnya sambil berlalu keluar kamar.
Aku masih terbengong di tempat tidur. Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke mana-mana. Seingatku, selama ini aku hampir tidak pernah melihat suamiku itu bertel*nj*ng dada. Setiap kali aku bangun, ia sudah mandi dan rapi. Sementara kalau berc*nta selalu saja dalam keadaan gelap gulita.
Oh ya, Tuhan. Aku segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur cepat kepala dengan air dingin. Agar pikiran aneh ini cepat menghilang.
"Mas. Masa iya, jeng Irma tetangga sebelah rumah kita itu bilang kalau ia selalu lihat ada tamu tiap tengah malam ke rumah kita, dan perginya hampir menjelang sub ..."
"Uhuk ... uhuk ..."
Ucapanku terpotong karena tiba-tiba Mas Pandu yang sedang sarapan nasi goreng terbatuk-batuk. Cepat-cepatku sodorkan segelas air putih ke arahnya.
Setelah batuknya mereda, ia menatapku penuh tanya.
"Apa? kata temanmu?" tanyanya dengan nada yang membuat keningku berkerut.
"Sebenarnya, ia bukan temanku juga, Mas" ralatku.
"Lalu?"
"Ah, tidak. Aku hanya sedikit terganggu dengan ucapannya, Mas. Kan horror juga kalau ada yang melihat seseorang masuk rumah kita malam-malam tapi kita tidak pernah merasa kedatangan tamu."
"Kamu percaya?" selidiknya.
"Tidak juga, tap ..."
"Kalau tidak percaya kenapa kamu repot-repot membahas ini? Sudahlah Mala, kamu itu, baru di sini. Aku harap, kamu tidak terlalu bergaul dengan tetangga atau percaya dengan segala omongan mereka. Kalau kamu kesepian dan bosan di rumah, sesekali pergilah keluar bersama Dara."
Mataku panas mendengar mendengar ucapannya dari suamiku ini. Sejak tiga bulan menikah baru kali ini ia berbicara dengan nada yang begitu ketus menurutku.
"Aku tidak pernah bosan menunggumu di rumah, Mas. Aku hanya takut setelah mendengarnya dari Irma." ucapku parau, sementara air bening sudah hampir keluar dari rongga mata.
"Makanya, jangan dengerin apapun omongan mereka. Nanti aku suruh Dara untuk datang . Aku baru sadar ternyata sudah karena kesibukanku aku jarang sekali mengajakmu keluar."
Ia menatapku lembut, ucapannya yang tadi bernada tidak biasa, sekarang sudah kembali melembut.
Ia bangkit dari kursi, mendekat. Lalu menc*um pucuk kepalaku dengan begitu m*sra.
"Bersenang-senanglah nanti, ya. Pergilah berbelanja, dan beli apa yang kamu suka" ujarnya sembari mengusap rambutku yang masih separuh basah.
Aku menatap mobil hitam itu meluncur ke jalanan, sampai menghilang dari pandangan, lalu entah kenapa air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk baru berjatuhan ke pipi.
"Hai, pengantin baruu...." cepat kuusap airmata sebelum Irma melihatnya.
"Rambutnya basah lagi, ya. Aduuh jadi teringat masa-masa pengantin baru dulu."
Irma sepertinya akan mulai lagi, tapi aku tidak berminat untuk mendengarkannya. Kulayangkan saja senyum tipis agar ia tidak mengganggaku sombong lalu aku berbalik bermaksud kembali masuk rumah.
"Masih sempat-sempatnya, begituan ya. Sedangkan tamunya baru pergi sesaat sebelum adzan subuh tadi."
Deg.
Langkahku sontak terhenti mendengar ucapan yang dilontarkan Irma.
"Apa, maksudmu, Irma?" tanyaku, melupakan begitu saja apa yang dikatakan suamiku tadi, malah sekarang rasa penasaran mendominasi logikaku.
"Mala ... jangan pura-pura tidak tahu begitu deh! Ituu...lelaki tampan dan sangat macho itu yang selalu datang kerumahmu tiap malam. Kenapa sih? Ia selalu berkunjung ke rumah pengantin baru. Malam-malam lagi, apa kalian tidak merasa terganggu?"
Aku terpaku mendengar cuap-cuap Irma, walau sepertinya wanita ini type yang ceplas-ceplos sekali dan suka membesar-besarkan masalah tetapi aku tahu yang ia katakan tidak sepenuhnya bohong. Pasti memang ia melihat sesuatu.
Aku mendekati Irma dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
----------------------------
Gadis cantik bergaya modis ini datang sekitar jam satu siang, senyumnya yang merekah membuat sedikit kegundahan dalam hati terasa menguar.
"Assalamualaikum, kakak iparku yang cantik." sapanya riang. Rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda mengekspos lehernya yang putih jenjang.
"Walaikumsalam, adikku," jawabku lembut.
"Ayo, kita berangkat. Terserah kakak mau pergi ke mana, tinggal bilang saja," katanya lagi, kembali mensaster motor matic bewarna pinky itu.
Dara membawaku ke sebuah cafe yang tidak terlalu rame di sampingnya terdapat danau buatan. Kami memilih duduk paling pinggir menghadap langsung ke genangan air jernih yang dihiasi bermacam warna teratai yang sedang mekar itu.
Kami memesan minuman dan makanan kesukaan masing-masing. Lalu mulai menikmati lezat serta indahnya suasana yang ditawarkan.
"Hmmm ... pengantin baru emang seperti itu ya, kak?" Tiba-tiba Dara memecah keheningan yang dari tadi menemani kami. Sedari tadi kami terlalu asyik dengan ponsel masing-masing.
"Seperti, apa?" Aku menatap wajah versi perempuan suamiku itu.
"Hmmm ... enggak ... itu ... leher kakak. Begitu meresahkan," ucapnya tersipu.
Aku meraba leherku yang terekspos, mataku melirik ke sana. Astaga ... Kulitku yang putih ini di penuhi bintik-bintik kemerahan seperti di tusuk jarum. Sontak mukaku memerah.
Padahal aku sudah mengingatkan, Mas Pandu supaya jangan meninggalkan tanda. Ugh dasar, adik ipar nakal. Harusnya ia diam saja tadi, aku kan sekarang jadi salah tingkah sekarang.
Tetapi Dara yang hanya beda umur satu tahun di bawahku itu tertawa renyah.
"Ah, nggak usah malu, Kak. Namanya juga pengantin baru. Aku, kan juga sudah dewasa. Sebentar lagi juga bakal ngerasain hal seperti itu, bukan?" ucapnya genit, sambil mengedipkan mata.
"Tetapi aku ingin sedikit kepo boleh nggak, kak?" Mata bulat itu menatapku jenaka.
"Apa?" Tidak ada jalan lain lagi. Aku harus menuntaskan sedikit rasa ingin tahunya.
"Sepertinya tanda itu diciptakan tidak sengaja deh kak!" Ia mengulum senyum.
"Maksudmu?" Setelah ini aku akan bicara dengan Mas Pandu, kalau adiknya ini harus cepat-cepat dinikahkan.
"Apa akhir-akhir ini, Abangku itu malas bercukur ya, kak?" Dahiku mengkerut mendengar pertanyaannya itu.
"Ti ... tidak."
"Aku pikir juga begitu. Tetapi melihat tanda di leher kakak itu, aku mulai meragukan ke ilfilan Abangku itu terhadap jambangnya."
Sungguh aku semakin tidak mengerti dengan alur pembicaraan anak gadis ini.
"Pasti sekarang, Suami, Kakak itu jarang bercukur ya?"
"Ah, enggak kok..."
"Ih, nggak perlu boong gitu deh, Kak. Aku nggak akan pernah berpikir Kakak nggak becus ngurus suami. Malah aku seneng banget, nggak sabar pengen lihat wajah Abangku itu ditumbuhi jambang. Pasti ia terlihat keren dan sangat macho, ya kak?"
Duh, ngomong apa sih anak?
"Eh, kak. Tahu nggak, dari dulu tu, Suami Kakak itu, paling nggak suka memelihara bulu-bulu di wajahnya. Bahkan ia selalu bercukur dua kali sehari. Daan melihat tanda yang dihasilkan di leher mulus kakak, bukanlah sesuatu yang akan di ciptakan oleh rahang yang dicukur setiap hari. Tanda itu harus dibuat oleh jambang kasar yang setidaknya tidak bercukur selama satu bulan!"
"Ngomong apa sih, Dara ..."
Sungguh aku tidak mengerti dengan cuap-cuap anak ini. Bikin pusing.
"Tanda di leher Kakak itu, di ciptakan oleh gesekan rahang yang berjambang lebat. Itu maksudku, Kak!"
"Lalu?" Aku bengong.
"Bagaimana cara , Kakak meyakinkan Abangku itu, untuk memelihara jambangnya. Itu, inti sebenarnya pertanyaanku, Kak ..."
"Tidak ... ia tidak memelihara jambang. Abangmu bercukur setiap hari."
Ia teridiam sejenak, menatapku ambigu.
"Lalu kenapa leher, Kakak memiliki tanda seperti itu?"
"Kenapa tidak, kau tanyakan saja pada Abangmu kenapa membuat tanda seperti ini di leherku," Hempasku kesal.
"Sudah jelas ia sangat mencintaimu, Kak. Cuma aku masih belum mengerti, kalau ia bercukur setiap hari, kenapa bisa ada tanda seperti itu di leher, Kakak. Aku sangat bisa membedakan mana yang bekas c*p*n* dan mana yang bekas gesekan jambang kasar."
Aku terhenyak mendengar penjelasan terakhir adik iparku ini.
Jambang kasar?
Bercukur setiap hari?
BUKAN H*SR*T SUAMIKU 4"Tanda itu tercipta karena gesekan jambang kasar yang kira-kira tidak dicukur selama satu bulan ... ".Aku mematut wajah di cermin, pandanganku terfokus pada leher yang dipenuhi bercak kemerahan sebesar ujung jarum. Menyebar hampir di seluruh leher kulit dadaku juga tidak luput dari tanda itu.Aku tidak akan mempermasalahkan tanda ini, karena memang hal ini selalu ada sejak tiga bulan lalu, dan aku merasa bahagia karenanya.Tanda kepemilikan, begitu yang selalu tertulis di novel-novel roman yang sering kubaca.Akan tetapi, penjelasan Dara siang tadi membuatku jadi tidak mengerti. Tanda ini bukan karena gigitan atau apalah namanya itu. Tanda ini diakibatkan tekanan atau gesekan jambang yang lebat dan kasar. Sedangkan, Suamiku selalu mencukur licin rahangnya.Aku mengingat-ingat, dalam setiap percinta*n kami aku sempat beberapa kali menyentuh rahang suamiku, dan memang terasa kasar tapi aku tidak memperdulikannya. Mungkin saja aku dalam pengaruh asm**a yang da
Apakah yang mengg*uliku dengan begitu perk*s* setiap malam, bukanlah Suamiku? ....Cahaya matahari pagi yang memasuki celah ventilasi kamar, menyilaukan mataku yang masih saja enggan terbuka.Seluruh persendian yang terasa remuk, membuatku semakin enggan untuk segera beranjak ke kamar mandi. Sepertinya bergelung sebentar lagi adalah pilihan terbaik.Tetapi tiba-tiba aku teringat peristiwa tadi malam. Yang membuat rasa lelah serta kantuk segera menghilang.Kubuka selimut yang menutupi tubuh, memakai kimono yang teronggok di lantai lalu segera berlari keluar.Aku memukan Mas Pandu begitu rapi dengan setelan kerjanya. Duduk santai di pantry dapur, sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan asap."Mas ..." panggilku. Ia segera menoleh ke arahku, lalu tersenyum sangat manis."Jam berapa Mas pulang semalam? Katanya mau lembur sampai pagi?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.Ia menyodorkan segelas teh dengan cangkir yang sama ke arahku."Sekitar jam 12, sayang. Ternyata pekerja
Tanganku gemetar meraih kamera yang nyaris tidak berbentuk itu lagi. Pecahan berserakan di sekitar ubin.Jangan-jangan ketidak beradaan Irma pagi ini ada hubungannya dengan tamu yang di lihat datang ke rumahku.Mungkin saja seseorang misterius yang terlihat oleh Irma itu, mengetahui niatnya ingin merekam. Lalu orang itu menculik Irma dan anak-anaknya. (Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai pelaut)Tiba-tiba aku merinding, rasa takut menguasai pikiran. Orang yang dilihat Irma mungkin adalah seorang begal yang mengintai pintu-pintu rumah warga sekitar sini.Ya Tuhan...b*dohnya aku. Tega sekali aku mengantarkan Irma pada sebuah musibah. Seandainya aku tidak menantangnya kemaren tentu ia dan anak-anaknya masih aman di sini.Sekarang pada siapa harus kulaporkan semua ini?Kalau kulaporkan pada warga di sini, aku yakin akan terjadi kehebohan dan ketakutan. Namun, kalau didiamkan saja bisa-bisa Irma dan anak-anaknya tidak akan selamat.Apa aku bilang saja pada suamiku dulu? Ya, ras
"Mas, cepat pulang ya. Aku takut ..."Terdengar kekehan khas suamiku dari seberang sana."Serius, Mas. Ada sesuatu yang terjadi di sini."Aku berusaha meyakinkannya. "Memangnya apa, yang terjadi?" Kali ini nada suaranya lumayan terdengar serius.Aku berpikir sebentar. Haruskah aku bilang hal ini pada suamiku? "Irma, Mas ...""Irma?""Itu, tetangga sebelah rumah ...""Lalu, kenapa dengan tetangga kita itu, sayang? Hingga dirimu terdengar cemas begitu?""Dia, pergi tiba-tiba, Mas.""Lho, dia yang pergi kok, kamu yang ketakutan?" "Tap-tapi seperti terjadi sesuatu, Mas."Terdengar hembusan nafas kesal dari seberang. Apa aku terlalu berlebih-lebihan? Tetangga yang pergi, aku yang panik sendiri. Mungkin ia berpikir seperti itu."Apa yang mungkin terjadi padanya, Mala? Lagi pula itu bukan urusan kita. Inilah maksudku kemaren. Jangan terlalu mendengarkan omongan tetangga. Jadi, kamu jugakan yang repot sekarang. Memikirkan hal-hal yang tidak perlu ...""Mas ...""Akan aku usahakan pulang ce
Dingin.Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Lalu saat mencoba bangun dari tempat tidur, seakan tulang ini tiada penyangga, begitu ringan ...BukkkkAku terhempas ke ubin yang licin, semakin mengirimkan sinyal dingin ke setiap inci kulit. Lututku terasa ngilu, karena membentur lantai keras itu.Pandanganku terasa berputar. Keringat dingin mulai terasa di sekitar dahi. Oh apa aku demam?"Mala ...."Aku rasa suamiku datang dan kembali membopongku ketempat tidur. Namun, setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi. -------------------------"Dia, masih tertidur ...."."Ya, ya aku akan mengingatnya ...."."Tidak ... tidak. Ia hanya sedikit demam, pagi tadi ia sudah bangun tapi mungkin karena suhu tubuhnya meningkat ia kembali tertidur."."Akan kupastikan nanti."."Baiklah, aku akan melakukan seperti yang anda katakan."..Percakapan Mas Pandu yang entah siapa terdengar samar di telinga. Namun, sepertinya setiap kalimatnya ditangkap jelas oleh pendengaranku."Ya, aku ak
Sejak tiga bulan pernikahan kami, baru kemarin dan hari ini aku benar-benar merasa diperhatikan oleh suamiku. Yang biasanya ia selalu pergi pagi pulang malam, selalu disibukkan oleh pekerjaan.Aku begitu tersanjung dengan perlakuan terhadapku. Begitu manis, sangat telaten merawat dan memanjakanku yang masih belum pulih sepenuhnya.Melihat perlakuannya yang begitu gentelmen itu, menghadirkan rasa bersalah yang begitu besar ketika mengingat apa yang kukatakan padanya kemaren.Sungguh memalukan dan tidak termaafkan bila di ingat-ingat.Semoga ia tidak mengingat lagi apa yang telah istrinya ini ucapkan padanya.Aku masih menatapnya penuh haru me arahnya yang sedang sibuk mengaduk-aduk bubur kacang hijau. Satu-satunya bubur kesukaanku, dan ia bersikeras untuk membuatkannya.Bahu lebarnya, serta otot lengan itu,terlihat begitu kokoh di pandang dalam posisi ia membelakangi seperti ini. Tubuh tinggi berkulit putih, berambut cepak yang hitam legam. Senyuman yang menawan yang selalu tercipta d
"Mas ... sepertinya, kamu terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Kita tidak bercinta baru dua malam? Tapi, entah kenapa ekspresimu seperti tidak melakukannya selama setahun?" Suaraku bergetar. Aku takut dengan nya tetapi aku juga tidak mengerti dengan sikapnya ini. "Diamlah, Mala. Ikuti saja keinginanku." Nada dingin, dengan penegasan yang begitu mutlak."Tidak ... kita tidak akan pernah lagi bercinta kalau kamu masih mau dengan teorimu yang tidak lazim itu!" tegasku. Sementara dadaku masih berdebar sangat keras. Kapas bekas pembersih wajah kusapukan bolak-balik ke telapak tangan, untuk mengurangi rasa takut serta gugup." Baiklah. Aku tidak butuh izinmu, Mala ... selama ini, yang kau lihat dariku cuma kebaikan saja bukan? Apa, kau ingin lihat juga kemarahanku, kekerasanku?" tiba-tiba saja, telapak tangannya sudah menjepit rahangku dengan keras.Jantung seakan berhenti berdetak."Ma ... Mas ..." Aku sungguh tidak percaya ia akan berbuat begini."Aku ini, suamimu! Dengar itu, 'suami
"Nanti malam kita akan pergi ke pesta yang di selenggarakan oleh perusahaan. Berdandanlah yang cantik. Sekitar Jam tujuh malam aku akan menjemputmu." Begitu kata Mas Pandu melalui via telpon siang tadi saat aku lagi bermalas-malasan di atas ranjang. Ya pagi tadi semuanya sudah kembali membaik di antara kami.Seperti biasanya ia yang selalu bangun lebih dulu bersikap jauh lebih manis. Menyiapkankan sarapan kesukaanku lalu ia memohon maaf atas sikapnya tadi malam.Apa yang bisa kulakukan selain memaafkannya. Sudah kubilang aku orangnya memang segampang itu, tidak akan pernah bisa berlama-lama marah pada seseorang. Apalagi ia adalah sosok tempat hati dan hidup ini bersandar.Walau setelah dipikir lagi, hati kecil ini begitu sangat yakin, kejadian yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang harus dianggap enteng. Ketakutan itu masih ada. Keraguan apa lagi, tetapi logika seakan memaksa untuk berhenti berprasangka negatif."Tanamkan dalam logikamu kalau semua itu hanya mimpi. Jang