Apakah yang mengg*uliku dengan begitu perk*s* setiap malam, bukanlah Suamiku? ...
.
Cahaya matahari pagi yang memasuki celah ventilasi kamar, menyilaukan mataku yang masih saja enggan terbuka.
Seluruh persendian yang terasa remuk, membuatku semakin enggan untuk segera beranjak ke kamar mandi. Sepertinya bergelung sebentar lagi adalah pilihan terbaik.
Tetapi tiba-tiba aku teringat peristiwa tadi malam. Yang membuat rasa lelah serta kantuk segera menghilang.
Kubuka selimut yang menutupi tubuh, memakai kimono yang teronggok di lantai lalu segera berlari keluar.
Aku memukan Mas Pandu begitu rapi dengan setelan kerjanya. Duduk santai di pantry dapur, sambil menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
"Mas ..." panggilku. Ia segera menoleh ke arahku, lalu tersenyum sangat manis.
"Jam berapa Mas pulang semalam? Katanya mau lembur sampai pagi?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
Ia menyodorkan segelas teh dengan cangkir yang sama ke arahku.
"Sekitar jam 12, sayang. Ternyata pekerjaanku selesai lebih cepat."
"Oh ... syukurlah."
Aku mereguk teh yang masih hangat-hangat kuku itu. Lalu menatap ragu-ragu ke arahnya yang kembali fokus menatap gawai.
Licin.
Sama seperti kemaren, tidak ada tanda-tanda ada jambang di rahang itu, bahkan pangkal bakal janggutpun tidak ada. Lalu yang tadi malam kuraba itu wajah siapa?
"Mas ... aku kok heran ya, dengan jejak ini?" Aku meraih tangannya, lalu meletakkan jemarinya di leherku.
"Apa?" Ia menatapku heran.
"Ini ...." Aku mengusapkan jemarinya ke leherku yang semakin memerah oleh jejak percintaan.
Ia menatap heran.
Aku balas menatapnya heran, kenapa ia sepertinya tidak mengerti? Bukankah ia yang menciptakan jejak di leherku ini."Oh, ini ... kenapa lehermu memerah seperti itu? Seperti di gigit semut?"
Apa? Ia bahkan tidak mengerti ini tanda apa?
Lalu bagaimana aku akan menanyakan padanya.
"Oh, tidak. Ini mungkin karena alergiku kambuh lagi." Aku agak sedikit terbata mengucapkannya. Memang benar jejak-jejak di leher ini agak mirip dengan alergi gatal..
Lalu aku mencoba membelai rahangnya. Begitu licin, beda sekali yang kurasakan pada wajahnya tadi malam.
"Mas ... kemaren kok aku merasa, rahang kamu ditumbuhi jambang yang cukup tebal?"
Aku menundukkan kepala ketika menanyainya hal itu. Entah kenapa rasa sangat tidak enak menanyakan hal ini padanya.
Ia terdiam. Sementara aku masih menunduk tidak berani menatap ekspresi wajahnya itu.
"Apa kamu suka lelaki dengan rahang yang berbulu tebal, Istriku?" tanyanya terdengar dengan nada menggoda.
"Apa?" Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya itu. Mukaku sudah pasti Semerah tomat saat ini.
"Sehingga, kau memimpikan berc*mbu dengan lelaki yang berjambang?"
Katanya, kali ini dengan nada tajam dan menuntut.
"Mimpi?" Aku mendesah heran. Ia bilang aku bermimpi. Atau sebenarnya aku memang bermimpi?
"Kamu, lihat, Mala. Apa pernah suamimu terlihat memelihara jambang selama kita menikah? Lalu bagaimana bisa, kamu merasa rahangku ini memilikinya. Apa coba itu, kalau bukan bermimpi?"
Mukaku terasa panas oleh kata-katanya itu. Sebenarnya cukup masuk akal apa yang dikatakannya itu. Tapi yang kurasakan tadi malam begitu nyata, buktinya leherku yang semakin kemerahan.
"Tetapi, kalau kamu memang menyukai lelaki ber-rahang kasar, baiklah. Aku akan memeliharanya untukmu." Selorohnya, sambil kembali meraih kepalaku dalam dekapannya.
Lalu ia meraih gawai, tangannya terlihat menscroll layar itu dengan cekatan.
"Nah, lihat. Seperti apa yang, kamu inginkan?"
tanyanya , sembari menyodorkan benda pipih itu ke padaku.Aku yang masih menyandarkan kepalaku ke bahunya, terbelalak kaget. Ketika melihat apa yang terpampang di sana. Foto beberapa lelaki maskulin berjambang lebat.
"Ih, apaan sih, Mas." Aku mencebik kesal.
Ia tertawa geli. " Katanya mau lelakimu memiliki bulu-bulu seperti itu kan? Kamu tinggal pilih gaya mana yang di suka. Maka aku akan menumbuhkannya seperti itu."
"Mas ..." Aku jengah sekali dengan bercanda yang menurutku tidak lucu itu.
Dia terkekeh keras. Lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Terasa kepalanya menyelusup keceruk leherku.
Bahkan aku sangat hapal dengan nafas suamiku saat berhembus di leher ini. Akan terasa sangat kasar dan berat ketika ia sedang di landa gair*h. Dan terasa biasa saja ketika sedang bercanda begini.
"Hmmm ... asem. Mandi dulu sana ..." ledeknya sambil meraih tanganku dan mengiringku menuju kamar mandi.
"Mandiin ..." rengekku manja, ketika ia akan menutup pintu kamar mandi.
Ia terlihat tergagap. Lalu menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Apa suamiku ini malu? Yah seperti begitu, karena seperti yang pernah kubilang, selama kami menikah aku belum pernah melihat ia telanjang dada.
Namun, mengingat kerakus*nnya di tempat tidur seharusnya ia bukanlah kategori lelaki yang pemalu.
------------------------------
Setelah mobil Mas Pandu menghilang dari pandangan. Aku melayangkan pandangan ke sekitar kompleks perumahan ini. Mencari-cari seseorang yang akan menuntaskan segala rasa penasaranku.
Tetapi si ceplas-ceplos itu, orang yang biasanya sangat bersemangat sekali menggodaku, sekarang tidak terlihat lagi batang hidungnya.
Bahkan Abang tukang sayur sudah terlihat nongkrong di depan rumahnya. Biasanya ia akan lebih dulu menyerbu gerobak itu. Biar tidak dapat bekas pilihan orang, begitu katanya.
Tapi sekarang kemana dia? Si Irma itu.
Aku menghampiri ibu-ibu yang sepertinya sedang asyik bergosip sambil memilah sayur.
"Permisi, Ibu-ibu ... " sapaku ramah.
"Eh, Mala. Pengantin baru kita. Ayo buruan ambil sayurnya mumpung masih segar-segar ini." Kata salah satu dari mereka.
Aku mendekat, memilih sebentar lalu mendapat apa yang kuinginkan. Seikat bayam serta sebungkus ayam potong.
"Cuma segitu, Mala?" tanya seorang Ibu berdaster dalam.
"Ah, iya. Bu. Cukup untuk hari ini. Besok si Abang kan kesini lagi, iya nggak, Bang?" Di balas dengan anggukan dari si Babang sayur.
"Oh, iya. Bu. Kok Irma tidak kelihatan ya?" tanyaku, membuat para ibu-ibu ini kompak saling pandang.
"Iya, ya. Biasanya kan dia yang selalu nomor satu menyerbu gerobak ini?" celetuk salah satu dari mereka.
"Apa ia sakit?"
"Langka ini, si Irma belum kelihatan keluar dari pagi."
Ibu-ibu ini mulai gaduh, mereka saling berspekulasi bersahut-sahutan tentang keberadaan Irma. Membuat kepalaku pusing. Mungkin mereka tidak sadar kalau aku sudah berlalu meninggalkan kerumunan yang semakin lama semakin banyak itu.
------------------------"Assalamualaikum, Irmaa ...." Aku mengetuk pelan pintu rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggalku itu.
Lama. Tidak ada sahutan. Bahkan sudah beberapa kali aku ulangi, namun sepertinya rumah ini kosong. Kemana dia?
Bahkan suara anak-anaknya pun tiada terdengar.
Apa ia pulang kampung ya? Dia pernah bercerita kalau ia bukan asli orang sini.
Aku iseng mencoba memutar handel pintu itu. Ah, tidak terkunci. Apa, aku periksa saja ke dalam?
Seperti rasa penasaranku telah menutup akal sehat sehingga dengan berani aku memasuki rumah orang tanpa izin.
Sepi. Memang sepertinya Irma tidak di rumah. Lalu kenapa pintunya tidak dikunci.
Aku sudah mencapai ruang keluarga yang sangat terawat dan bersih, barang-barangnya tertata sempurna. Sepertinya Irma adalah penyuka barang antik. Terbukti dengan berbagai macam cindera mata yang berderet rapi di lemari hiasnya.
Aku merasa sangat bersalah karena berani masuk kerumah orang tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebelum ada seseorang yang yang memergokiku berada di sini, aku berniat secepatnya pergi.
Tetapi mataku tertumbuk pada sesuatu, yang membuat jantungku seakan melompat keluar.
Kamera perekam khusus malam hari yang kuberikan pada Irma kemaren siang, kini terlihat hancur berkeping-keping di sudut lemari hias itu. Seperti dibanting berkali-kali.
Oh. Dadaku berdegup kencang. Apa ini ada hubungannya dengan tantanganku pada Irma kemaren.
.
Tanganku gemetar meraih kamera yang nyaris tidak berbentuk itu lagi. Pecahan berserakan di sekitar ubin.Jangan-jangan ketidak beradaan Irma pagi ini ada hubungannya dengan tamu yang di lihat datang ke rumahku.Mungkin saja seseorang misterius yang terlihat oleh Irma itu, mengetahui niatnya ingin merekam. Lalu orang itu menculik Irma dan anak-anaknya. (Suaminya jarang pulang karena bekerja sebagai pelaut)Tiba-tiba aku merinding, rasa takut menguasai pikiran. Orang yang dilihat Irma mungkin adalah seorang begal yang mengintai pintu-pintu rumah warga sekitar sini.Ya Tuhan...b*dohnya aku. Tega sekali aku mengantarkan Irma pada sebuah musibah. Seandainya aku tidak menantangnya kemaren tentu ia dan anak-anaknya masih aman di sini.Sekarang pada siapa harus kulaporkan semua ini?Kalau kulaporkan pada warga di sini, aku yakin akan terjadi kehebohan dan ketakutan. Namun, kalau didiamkan saja bisa-bisa Irma dan anak-anaknya tidak akan selamat.Apa aku bilang saja pada suamiku dulu? Ya, ras
"Mas, cepat pulang ya. Aku takut ..."Terdengar kekehan khas suamiku dari seberang sana."Serius, Mas. Ada sesuatu yang terjadi di sini."Aku berusaha meyakinkannya. "Memangnya apa, yang terjadi?" Kali ini nada suaranya lumayan terdengar serius.Aku berpikir sebentar. Haruskah aku bilang hal ini pada suamiku? "Irma, Mas ...""Irma?""Itu, tetangga sebelah rumah ...""Lalu, kenapa dengan tetangga kita itu, sayang? Hingga dirimu terdengar cemas begitu?""Dia, pergi tiba-tiba, Mas.""Lho, dia yang pergi kok, kamu yang ketakutan?" "Tap-tapi seperti terjadi sesuatu, Mas."Terdengar hembusan nafas kesal dari seberang. Apa aku terlalu berlebih-lebihan? Tetangga yang pergi, aku yang panik sendiri. Mungkin ia berpikir seperti itu."Apa yang mungkin terjadi padanya, Mala? Lagi pula itu bukan urusan kita. Inilah maksudku kemaren. Jangan terlalu mendengarkan omongan tetangga. Jadi, kamu jugakan yang repot sekarang. Memikirkan hal-hal yang tidak perlu ...""Mas ...""Akan aku usahakan pulang ce
Dingin.Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Lalu saat mencoba bangun dari tempat tidur, seakan tulang ini tiada penyangga, begitu ringan ...BukkkkAku terhempas ke ubin yang licin, semakin mengirimkan sinyal dingin ke setiap inci kulit. Lututku terasa ngilu, karena membentur lantai keras itu.Pandanganku terasa berputar. Keringat dingin mulai terasa di sekitar dahi. Oh apa aku demam?"Mala ...."Aku rasa suamiku datang dan kembali membopongku ketempat tidur. Namun, setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi. -------------------------"Dia, masih tertidur ...."."Ya, ya aku akan mengingatnya ...."."Tidak ... tidak. Ia hanya sedikit demam, pagi tadi ia sudah bangun tapi mungkin karena suhu tubuhnya meningkat ia kembali tertidur."."Akan kupastikan nanti."."Baiklah, aku akan melakukan seperti yang anda katakan."..Percakapan Mas Pandu yang entah siapa terdengar samar di telinga. Namun, sepertinya setiap kalimatnya ditangkap jelas oleh pendengaranku."Ya, aku ak
Sejak tiga bulan pernikahan kami, baru kemarin dan hari ini aku benar-benar merasa diperhatikan oleh suamiku. Yang biasanya ia selalu pergi pagi pulang malam, selalu disibukkan oleh pekerjaan.Aku begitu tersanjung dengan perlakuan terhadapku. Begitu manis, sangat telaten merawat dan memanjakanku yang masih belum pulih sepenuhnya.Melihat perlakuannya yang begitu gentelmen itu, menghadirkan rasa bersalah yang begitu besar ketika mengingat apa yang kukatakan padanya kemaren.Sungguh memalukan dan tidak termaafkan bila di ingat-ingat.Semoga ia tidak mengingat lagi apa yang telah istrinya ini ucapkan padanya.Aku masih menatapnya penuh haru me arahnya yang sedang sibuk mengaduk-aduk bubur kacang hijau. Satu-satunya bubur kesukaanku, dan ia bersikeras untuk membuatkannya.Bahu lebarnya, serta otot lengan itu,terlihat begitu kokoh di pandang dalam posisi ia membelakangi seperti ini. Tubuh tinggi berkulit putih, berambut cepak yang hitam legam. Senyuman yang menawan yang selalu tercipta d
"Mas ... sepertinya, kamu terlalu berlebihan menanggapi hal ini. Kita tidak bercinta baru dua malam? Tapi, entah kenapa ekspresimu seperti tidak melakukannya selama setahun?" Suaraku bergetar. Aku takut dengan nya tetapi aku juga tidak mengerti dengan sikapnya ini. "Diamlah, Mala. Ikuti saja keinginanku." Nada dingin, dengan penegasan yang begitu mutlak."Tidak ... kita tidak akan pernah lagi bercinta kalau kamu masih mau dengan teorimu yang tidak lazim itu!" tegasku. Sementara dadaku masih berdebar sangat keras. Kapas bekas pembersih wajah kusapukan bolak-balik ke telapak tangan, untuk mengurangi rasa takut serta gugup." Baiklah. Aku tidak butuh izinmu, Mala ... selama ini, yang kau lihat dariku cuma kebaikan saja bukan? Apa, kau ingin lihat juga kemarahanku, kekerasanku?" tiba-tiba saja, telapak tangannya sudah menjepit rahangku dengan keras.Jantung seakan berhenti berdetak."Ma ... Mas ..." Aku sungguh tidak percaya ia akan berbuat begini."Aku ini, suamimu! Dengar itu, 'suami
"Nanti malam kita akan pergi ke pesta yang di selenggarakan oleh perusahaan. Berdandanlah yang cantik. Sekitar Jam tujuh malam aku akan menjemputmu." Begitu kata Mas Pandu melalui via telpon siang tadi saat aku lagi bermalas-malasan di atas ranjang. Ya pagi tadi semuanya sudah kembali membaik di antara kami.Seperti biasanya ia yang selalu bangun lebih dulu bersikap jauh lebih manis. Menyiapkankan sarapan kesukaanku lalu ia memohon maaf atas sikapnya tadi malam.Apa yang bisa kulakukan selain memaafkannya. Sudah kubilang aku orangnya memang segampang itu, tidak akan pernah bisa berlama-lama marah pada seseorang. Apalagi ia adalah sosok tempat hati dan hidup ini bersandar.Walau setelah dipikir lagi, hati kecil ini begitu sangat yakin, kejadian yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang harus dianggap enteng. Ketakutan itu masih ada. Keraguan apa lagi, tetapi logika seakan memaksa untuk berhenti berprasangka negatif."Tanamkan dalam logikamu kalau semua itu hanya mimpi. Jang
Aku bergeming. Entah kenapa tubuh ini terasa kaku. Bahkan untuk membuang pandangan pun rasanya tidak mampu. Aku benar-benar terasa membeku. Entahlah ...aku begitu gugup, ditatap oleh orang yang sepertinya menyimpan energi hipnotis dalam sorot matanya itu, kemisteriusan terlihat sangat nyata dalam dirinya. Tidak bisa dipungkiri wajah yang seperti memiliki campuran garis timur tengah itu cukup sedap untuk dipandang. Pantas saja para gadis-gadis itu tadi sangat bersemangat. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku bisa melihat bentuk wajah itu. Mungkin gambaran seperti tokoh-tokoh pemain utama di novel-novel atau film-film luar. Aku pikir begitu. Alis tebal yang saling bertaut. Mata yang seperti dibilang tadi begitu tajam dengan sorot sedingin es. Hidung mancung selaras dengan bibir tipisnya yang kecoklatan. Lalu ... Rahang tegas itu, hingga bawah dagu ditumbuhi bulu-bulu kasar yang tidak terlalu tebal, Tapi sangat jelas. Berkulit sawo matang dengan tubuh menjulang y
"Benarkah? Wanita serapuh dirimu? Secantik ini? Kamu, ingin jadi pembunuhku? Baiklah ... Aku akan menyerahkan diriku padamu sekarang. Ayo ... wujudkan keinginanmu itu ...."Suara berat, terdengar begitu datar dan tenang. Tetapi mengandung nada ejekan.Tatapan tajam berbahaya itu, melemaskan segala persendianku.Aku berharap saat ini juga ada keajaiban yang akan membuat ragaku menghilang dari hadapan bongkahan es ini. Aku tidak sanggup menghadapinya.Mana keberanian yang aku lontarkan tadi? Aku ingin membunuhnya! Benar, itu tadi yang kukoarkan dengan sangat percaya diri."Kenapa? Secepat itukah pikiranmu berubah?" kekehan geli nan arogan membising di telingaku.Aku berusaha tidak menghiraukan kekehan yang lagi-lagi familiar di telinga. Suara beratnya itu juga seakan kembali mengingat pada peristiwa di suatu malam yang kata suamiku hanyalah mimpi.Aku begitu jijik dan benci dengan lelaki ini, tapi kenapa setiap yang ada pada dirinya itu terasa aku sudah lama mengenalnya.Lalu dariman