Alma berjalan melewati Adam lalu berhenti ketika suaminya itu masih berdiri mematung dibelakang tubuhnya. Alma membalikkan badannya dan membuka tas tangannya. Adam hanya diam tak banyak bicara. Matanya terus mengikuti kemana tangan itu bergerak.“Ini, mas.” Alma memberikan satu buah kartu debit dan kartu kredit.Adam tak bergerak sama sekali.Alma menyimpan dua kartu tersebut diatas meja ruang tamu, “Aku pergi.” Adam benar-benar tidak mengatakan apapun ketika Alma pergi. Ia hanya menunduk dan mengusap wajahnya dengan lemas.Alma membawa koper, pak Dani yang baru selesai merapikan pohon Asoka menghampirinya, “Kakak mau kemana?”“Aku mau pergi, pak.”“Kemana?”“Eum... ke rumah mama.”“Sendirian?”“Iya.”Pak Dani menatap Adam yang berdiri melihat obrolan mereka dengan wajah datar. Beliau tahu mereka sedang bertengkar, “Ya sudah bapak bantu ya. Bapak juga anterin ke rumah mamanya.”Alma menggeleng, “Aku naik taksi aja, pak. Ini tolong bawain aja sampe depan.”Pak Dani mengan
Alma menggeleng kencang-kencang, “Amih sama Apih itu lebih kolot dari nyokap lo. Yang ada mereka kirim gue pulang ke rumah si duda tua atau ke rumah mama. Gak!”“Ma, terus gimana coba? Elo sih, sok-soan gak butuh duit duda. Udah tau lo sendiri gak punya duit.”“Jadi gimana? Lo mau minjemin duit gak?”“Iya-iya gue pinjemin. Tapi cuma tiga juta. Kalo kurang lo minta aja sisanya sama si Sezan.”“Gak ah.”“Kenapa? Dia banyak duitnya tau.”“Gak aja. Ya udah tiga juta gak papa.”“Iya nanti gue transfer ke elo, gue mau ke toilet dulu.”Alma mengangguk.Audy bangkit dari duduknya dan berjalan cepat ke arah toilet. Alma yang kelaparan kembali memesan nasi goreng Kambing dan jus Nanas.Drrrrt~ Drrrrt~Ponsel Audy bergetar.“Si Audy lama banget sih di toiletnya.”Drrrrrt~ Drrrrrt~Alma mengambil ponsel Audy. Telpon dari Adam?Alma menahan nafasnya. Kenapa Adam menelpon Audy? Ada apa ya? Untungnya telponnya mati, dan tidak lama ada pesan masuk. Alma menahan nafasnya lagi ketika me
Alma mengacuhkan panggilan telepon dari Adam dan semua orang yang menelponnya. Ia hanya duduk termenung di pojok kasur berselimutkan kain tipis bawaan kost. Ia tak menyangka tinggal sendiri di kost akan membuatnya sesedih ini.Drrrrrt~ Drrrrrt~Alma melongokkan kepalanya ke layar ponsel yang menyala, “Mama? Ah, gue pasti kena omel. Udah biarin aja.”Mama menatap layar ponsel karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Alma. Adam yang sedang duduk di sofa hadapannya hanya mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakkan.“Nak Adam, Alma pasti baik-baik aja. Dia paling lagi nginep di hotel.”“Alma simpen kartu debit dan kredit yang saya kasih, ma. Saya tahu Alma gak pegang uang banyak.” jawab Adam dengan nada frustasi.Papa yang berdiri menghela nafas beberapa kali, “Papa kan udah bilang berkali-kali, kalo mama atau nak Adam berantem sama Alma, bilang sama papa, biar kejadian seperti ini gak terjadi.”“Pa, mama kan lagi gak berantem sama Alma.” mama membela dirinya.“Alma tau perangai mam
Pov Adam Adam membanting pintu mobil ketika ia melihat Armand tengah mengelap motor Trailnya di depan garasi yang terbuka dirumahnya. “Dam? Gimana? Alma udah ketemu?” BUG! Adam memukul pelipis Armand. “Dam! Apaan sih! Kenapa lo pukul gue?” “Kenapa lo suka sama istri gue?” “Suka istri lo? Lo ngira gue suka sama Alma?” BUG! Satu pukulan mendarat di pelipis Armand yang lainnya. “Argh, Dam!” Armand mundur dan meminta Adam untuk tenang. “Dimana Alma? Lo pasti tau.” “Kalo gue tau ngapain gue ikut bantu cari?” Virza yang baru sampai menahan tubuh Adam untuk tidak memukul Armand lagi. Ia tahu betul perangai Adam, “Dam-Dam, sabar ya, gak kayak gini caranya.” “Dia pasti tau Alma dimana, Za!” Virza menatap Armand. “Apa? Lo juga mau ngira gue tau dimana Alma?” Virza mengusap-usap bahu Adam, “Dam, Armand gak tau dimana Alma. Jadi lo tenang ya.” “Tapi dia suka sama Alma.” “Dam, yang bener aja gue suka sama Alma.” “Kenapa? Alma cantik ‘kan, Mand?” “Iya, Alma emang cantik. Tap
Pov AdamSetelah mendengar jawaban Sezan Adam pamit pergi. Tidak untuk mencari Alma, tapi untuk tidur ditempat lain. Ia tidak mungkin tidur di rumah karena hanya ada ia, Sezan dan Belle. Ia tidak mau mendapatkan fitnah.Adam menyetir dengan kecepatan tinggi. Matanya merah menahan tangis. Ia tidak menyangka akan kembali mendapatkan penghianatan dalam kisah asmaranya. “ARGH!!!!!” ia menginjak rem sekaligus.“ALMA! KENAPA SIH SAMA KAMU.” ia memukul stir mobil dengan kencang.Ucapan Sezan menggema dalam pikirannya. Apalagi ketika mengatakan Alma pergi bertemu Mario dua hari kemarin. Entah Sezan tahu darimana, tapi ia pun yakin Alma memang bertemu dengan mantan pacarnya itu. Ia rela berbohong padanya dan meninggalkan Belle demi Mario.Adam mengambil ponsel dan mencari kontak Alma, ia menyentuh vitur voice note, “Alma, aku tau kamu lagi sama Mario. Semua orang khawatir sama kamu, mereka sibuk cari kamu. Tolong kabarin papa mama kalo kamu baik-baik aja. Aku tau kemarin kamu ketemu Ma
Alma membuang nafasnya dengan pelan. Ia tak memiliki tenaga setelah mendengar voice note dari Adam semalam. Ia yang sudah tertidur terbangun dan terjaga semalaman karena mendengar ucapan suaminya. Dari mana Adam tahu kemarin ia bertemu Mario ya? Apa Mario atau Tiara yang memberitahu Adam?Perutnya berbunyi keras menandakan cacing-cacingnya butuh makan. Dengan terpaksa ia bangun dan keluar untuk mencari makan.“Alma.” panggil ibu kost yang memang juga tinggal di lingkungan kost ini.“Iya, bu?”“Gimana? Betah disini?”Alma tersenyum, “Betah, bu.”“Syukurlah. Oyah, ktp kamu ada di dalem."“Nanti aja, bu, aku mau cari makan dulu di depan.”“Tapi ibu mau pergi ke puskesmas. Udah, ambil aja sekarang, dari pada nanti lupa. Sebentar.”Alma berdiri di dekat pagar, ia mengintip dompetnya yang hanya berisi uang beberapa lembar seratus ribuan dan sisanya uang receh. Entah bagaimana bisa ia bertahan hidup dengan jumlah uang segini.“Kamu sebenernya kesini kerja atau kuliah?”“Aku... car
Adam menepuk pundak abang ojek pengkolan yang ia naikki, “Bang lebih cepet lagi.” “Iya, mas.”Motor gigi itu melaju kencang sedikit karena kekuatannya memang hanya sebatas itu. Begitu motor sampai di depan halaman rumah sakit Mayapada, Adam langsung membayar dan melepas helmet. Ia berlari kencang ke arah UGD untuk mencari Alma.“Dokter Adam? Ada perlu apa?” dokter yang sedang mendata pasien menahan Adam.“Ada korban kecelakaan tabrak lari di jalan Semanggi?”“Ada, dok. Keluarga dokter?”“Itu istri saya, dok. Saya masuk.”Dokter itu menahan lengan Adam, “Istri?”Adam mengangguk.“Korbannya ibu usia lima puluh empat tahun.”Adam melongo, “Terus istri saya?”“Maaf, dok, tapi korban kecelakaan di jalan Semanggi cuma ibu yang berusia lima puluh empat tahun itu.”“Saya boleh lihat ke dalam?”Dokter itu paham kalau Adam mungkin sedang kalut sekali. Dokter perempuan berkacamata itu mengangguk, “Silakan.”Adam masuk ke dalam UGD untuk memastikan bahwa Alma tidak ada di dalam. S
Mata Alma mengerjap-ngerjap ketika hidungnya mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat di bawah hidungnya. Aroma kamar asing dan parfum seseorang yang amat dikenalinya juga membuatnya mau tak mau harus membuka mata.Ketika matanya terbuka ia tidak tahu ada dimana. Di sekeliling kamar hanya ada tempelan papan deadline.“Alma, kamu udah bangun?” Mario yang semula sedang menerima telpon di balkon masuk ke dalam kamar dan menghampiri Alma.“Rio?”Mario duduk dipinggiran ranjang, “Akhirnya kamu bangun juga.”“Ini... dimana?”“Di apartemen aku.”Alma bangun dan duduk sebelahan dengan Mario, “Makasih ya kamu udah bawa aku kesini.”“Ya aku harus bawa kamu kesini. Tadinya aku mau bawa kamu ke rumah sakit, tapi luka di lutut kamu gak begitu parah, jadi aku cuma tempelin plester.”Alma mengusap plester yang menempel di lututnya, “Iya, gak parah.”“Tadi aku sempet ke klinik, dokter bilang kamu pingsan karena shock, jadi aku bawa kesini aja.”Alma mengangguk.“Kamu laper?”“Bange
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny