Alma mendorong stroller dengan riang di mall. Sejauh ini Belle juga aman-aman saja. Ia sama sekali tidak tantrum dan sangat menyenangkan. Pengunjung lain pun banyak yang memuji kekompakkan ibu dan anak ini.“Belle, capek gak? Kita istirahat dulu ya. Mami haus.”“Cucu.” Belle memberikan botol susunya yang sudah habis pada Alma.“Enggak, enak aja. Kok Belle ngasih botol yang kosong sih?"Belle tertawa.Alma mendorong stroller masuk ke dalam kedai minuman.Alma berdiri di dekat kasir,“Kak, greentea low sugar ya satu.”“Baik, kak, atas nama siapa?”Alma melirik Belle yang sedang mengenyot susu dari dot kedua, “Mami Belle.”“Oke, atas nama mami Belle ya. Mohon ditunggu.”“Oke, kak.” Alma mendorong stroller ke meja kosong. Begitu duduk, Alma mengusap perutnya yang rata. “Belle, liat perut mami.”“Lapel.”“Enggak, bukan laper. Tapi di perut mami ada adeknya Belle.”“Adek."“Iya, Belle mau jadi kakak, jadi jangan manja oke?”“Oke.”Alma mengusap dahi Belle dengan tisu, “Belle
Adam menaruh dua omlette di kedua piring yang terbuka di atas meja makan. Ia melirik Alma yang sedang berusaha menyuapi Belle yang terus melepeh nasi yang di suapi Alma.“Belle, kalo gak makan nanti kamu kurus. Gak ada bayi kurus ceritanya jadi model. Mending kamu gemuk biar gemoy dan terima banyak endorse ya.”“No no no.”Meski mendapat penolakkan, Alma terus berusaha membuat Belle mau makan. Ia tak akan gentar karena masalahnya sedari kemarin siang Belle tidak mau makan dan minum susu.“Sayang, kamu makan dulu ya. Taruh aja makanannya, nanti Belle juga makan sendiri.”Alma menurut. Ia duduk di samping Adam dan menatap ke arah meja dengan tatapan kesal dan lelah.“Nanti aku jemput biar kamu bisa konsul ulang sama Virza, sama dokter obgyn juga. Kamu ‘kan belum USG dan ngelakuin pemeriksaan lanjutan.”Alma menoleh, “Di rumah sakit tempat kamu kerja?”“Enggak. Kita cari rumah sakit lain. Buat ketemu Virza nanti kita ke RSJ. Atau kalo kamu gak mau, Virza bisa kesini.”“Terserah
Alma mengacak-acak berkas yang ada di laci kamar. Ia mencari foto atau informasi yang memuat apapun soal Arden, kakak Adam. Tapi ia tidak menemukannya satu pun. Jelas, mbok Titi bilang hubungan keduanya merenggang satu tahun sebelum Belle lahir yang entah karena apa.“Dimana ya aku bisa dapet info soal Arden?" katanya bermonolog. “Ibu? Aku tanya ibu aja?” Alma menggeleng. “Jangan-jangan, terlalu beresiko. Dokter Virza pasti tau soal Arden. Oke, aku bakal tanya dia aja.”Suara mobil memecah lamunan singkat Alma. Ia bergegas merapikan laci dan keluar dari kamar. Belle yang masih tidur setelah lelah bermain dengan mbok Titi membuatnya sedikit rileks sore ini. Ia sempat mandi dan berdandan seperti ada suster Ruth.“Mas.” Alma berdiri menyambut Adam di teras.“Sayang, mbok Titi udah pulang?”“Udah, sejam lalu, mas.”Adam mengangguk, “Mbok Titi bilang besok bakal kesini lagi.”“Papa gak akan tau?”“Papa tau mbok Titi kesini cuma buat beres-beres. Semoga orang-orang papa juga gak ne
Ketika bangun tidur, Alma merasa ada sesuatu yang lengket dibawah sana, seperti sedang haid dan sudah bocor. Ia menenangkan dirinya. Bahwa mungkin itu hanya keputihan. Ia bangun dan tidak melihat Adam atau Belle ada disisinya. Ia membuka selimut dan melihat bercak darah cukup banyak di kasur. Kepalanya berputar, jantungnya berdegup kencang.“Mas! Mas Adam!” dengan sisa kekuatan yang ada Alma berteriak memanggil Adam, berharap suaminya itu bisa segera datang.“Iya, sayang, kenapa?” Adam yang tengah mengaduk mi pasta sebagai sarapan Belle pagi ini, melongo melihat darah yang ada diantara kaki istrinya. Badannya limbung.“Maaas, aku gak mau keguguran.” Alma menangis histeris. Ia baru saja bahagia karena kehamilannya, dan kini ia melihat pemandangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya terjadi pagi ini.Adam menaruh mangkuk berisi pasta dan memeluk Alma erat. Ia meminta maaf dalam hati atas masalah yang menimpa istrinya, “Aku telpon mama buat nemenin kamu dirumah sakit ya. Hari i
Alma membaringkan badannya menutupi arah pintu masuk. Ia mendengar pintu terbuka, tapi tak peduli siapa yang datang. Bisa jadi itu papa yang akan kembali mengultimatumnya seperti tadi.“Alma? Kamu tidur?”Alma membalikkan badannya dan menatap kehadiran Armand yang masih memakai baju seragam operasinya, “Bang Armand?”Armand menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang, “Maaf ya ganggu.”“Enggak kok, bang, aku gak lagi tidur.”“Iya sih, mata kamu gak merah.”Alma memegang kedua kelopak matanya sambil bangkit untuk duduk.“Adam bilang juga semenjak jadi istrinya kamu gak Kebo seperti yang dia bayangin.”“Ih, malah ngeledek.”“Hahaha. Kamu udah gak papa, kan?”Alma mengangguk.“Sezan masih sibuk di kafe, jadi mungkin dia baru bisa kesini agak sore.”“Iya, gak papa, bang.” Alma melirik Armand yang sedang memainkan ponselnya, “Abang kenapa gak bilang sebenernya sahabat mas Adam?”Armand mendongak, “Kamu gak tanya.”“Pengen banget ditanya.”“Bukan gitu. Abang ‘kan bukan kamu a
Bau bunga mawar segar menyeruak di ruangan kamar Alma. Ia yang sedari tadi tidur karena lelah berpikir, mengerjap-ngerjap dan mendapati Mario tengah duduk memainkan ponselnya di kursi samping ranjang. Ia tampak serius entah sedang melihat apa.“Rio.”Mario mematikan ponsel dan menatap Alma, “Kamu udah bangun?”“Hm.”“Aku dateng kesini abis denger kabar dari Audy kalo kamu keguguran.”“Audy?”“Iya. Audy bikin story, bilang get well soon ke kamu. Aku pikir kamu sakit apa, dia bilang kamu keguguran.”Alma mengangguk.“Dia di rumah kamu lagi urus anak tiri kamu.”“Iya.” Alma bangkit dari posisi tidurnya dibantu Mario. “Ma, kamu gak mau pikir-pikir lagi soal pernikahan kamu ini?”“Maksud kamu?”Mario mencondongkan badannya, “Aku tau kamu keguguran bukan karena janin kamu lemah. Tapi karena kamu stress ngurus anak tiri kamu. Aku juga tau layanan kartu kredit kamu di bek
Dengan cepat Alma memasukkan baju dan semua barang-barangnya ke dalam tas. Ia akan pulang naik taksi. Bahkan sampai jam sepuluh pagi Adam belum juga masuk ke dalam ruangannya. Suaminya sungguh keterlaluan. “Permisi.” suster masuk ke dalam ruangannya yang pintunya terbuka sedikit.Alma menoleh.“Ibu mau pulang sekarang?”“Iya, aku udah pesen taksi.”“Dokter Adam baru aja mulai jadwal praktek rawat jalan, bu. Mau tunggu sampai selesai praktek di jam makan siang?”Alma menggeleng, “Enggak, sus, saya pulang sekarang.”“Oh ya sudah kalau begitu. Ini obat yang harus ibu Alma minum selama tiga hari ke depan. Kalau ada keluhan, ibu boleh datang kesini. Untuk administrasi, seperti biasa nanti dokter Adam yang urus.” Suster memberikan obat-obatan yang baru saja ditebus di apotek.“Oh iya, makasih ya, sus udah di repotin.”“Sama-sama. Semoga ibu lekas sembuh dan bisa kembali hamil ya.”Alma tersenyum ragu, “Iya, makasih, sus, doanya.”“Kalau begitu saya permisi.”“Iya, sus.”Selepa
Sudah dua hari Alma tinggal di rumah mama, tapi Adam belum juga menjemputnya atau sekedar melihat keadaannya. Hal itu membuatnya makin yakin untuk bercerai dengannya. Mama yang terus memaksa Alma untuk pulang, bertengkar dengan papa yang bilang untuk membiarkan Alma istirahat disini pasca keguguran. Alma juga sengaja tidak meminum obat yang diberikan suster untuk pemulihan pasca kegugurannya. Ia ingin tahu ketika sakit apakah Adam akan memperdulikannya atau tidak.“Kamu dari pada bengong mending—” mama berdiri siap mengultimatum Alma.Alma yang hanya duduk santai dibelakang rumah melirik mama sinis, “Mending apa? Mending pulang ke rumah memantu mama yang lupa masih punya istri disini, yang gak dia jengukin dari kemaren lusa?”Mama duduk disebelah Alma, “Adam belum kesini pasti karena sibuk. Kamu harus ngertiin dong, jangan egois.”“Yang egois itu dia. Aku udah beberapa kali bilang sama mama? Aku tersiksa nikah sama dia. Sekarang aku setuju sama omongan mama yang bilang selama in