Adam menaruh dua omlette di kedua piring yang terbuka di atas meja makan. Ia melirik Alma yang sedang berusaha menyuapi Belle yang terus melepeh nasi yang di suapi Alma.“Belle, kalo gak makan nanti kamu kurus. Gak ada bayi kurus ceritanya jadi model. Mending kamu gemuk biar gemoy dan terima banyak endorse ya.”“No no no.”Meski mendapat penolakkan, Alma terus berusaha membuat Belle mau makan. Ia tak akan gentar karena masalahnya sedari kemarin siang Belle tidak mau makan dan minum susu.“Sayang, kamu makan dulu ya. Taruh aja makanannya, nanti Belle juga makan sendiri.”Alma menurut. Ia duduk di samping Adam dan menatap ke arah meja dengan tatapan kesal dan lelah.“Nanti aku jemput biar kamu bisa konsul ulang sama Virza, sama dokter obgyn juga. Kamu ‘kan belum USG dan ngelakuin pemeriksaan lanjutan.”Alma menoleh, “Di rumah sakit tempat kamu kerja?”“Enggak. Kita cari rumah sakit lain. Buat ketemu Virza nanti kita ke RSJ. Atau kalo kamu gak mau, Virza bisa kesini.”“Terserah
Alma mengacak-acak berkas yang ada di laci kamar. Ia mencari foto atau informasi yang memuat apapun soal Arden, kakak Adam. Tapi ia tidak menemukannya satu pun. Jelas, mbok Titi bilang hubungan keduanya merenggang satu tahun sebelum Belle lahir yang entah karena apa.“Dimana ya aku bisa dapet info soal Arden?" katanya bermonolog. “Ibu? Aku tanya ibu aja?” Alma menggeleng. “Jangan-jangan, terlalu beresiko. Dokter Virza pasti tau soal Arden. Oke, aku bakal tanya dia aja.”Suara mobil memecah lamunan singkat Alma. Ia bergegas merapikan laci dan keluar dari kamar. Belle yang masih tidur setelah lelah bermain dengan mbok Titi membuatnya sedikit rileks sore ini. Ia sempat mandi dan berdandan seperti ada suster Ruth.“Mas.” Alma berdiri menyambut Adam di teras.“Sayang, mbok Titi udah pulang?”“Udah, sejam lalu, mas.”Adam mengangguk, “Mbok Titi bilang besok bakal kesini lagi.”“Papa gak akan tau?”“Papa tau mbok Titi kesini cuma buat beres-beres. Semoga orang-orang papa juga gak ne
Ketika bangun tidur, Alma merasa ada sesuatu yang lengket dibawah sana, seperti sedang haid dan sudah bocor. Ia menenangkan dirinya. Bahwa mungkin itu hanya keputihan. Ia bangun dan tidak melihat Adam atau Belle ada disisinya. Ia membuka selimut dan melihat bercak darah cukup banyak di kasur. Kepalanya berputar, jantungnya berdegup kencang.“Mas! Mas Adam!” dengan sisa kekuatan yang ada Alma berteriak memanggil Adam, berharap suaminya itu bisa segera datang.“Iya, sayang, kenapa?” Adam yang tengah mengaduk mi pasta sebagai sarapan Belle pagi ini, melongo melihat darah yang ada diantara kaki istrinya. Badannya limbung.“Maaas, aku gak mau keguguran.” Alma menangis histeris. Ia baru saja bahagia karena kehamilannya, dan kini ia melihat pemandangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya terjadi pagi ini.Adam menaruh mangkuk berisi pasta dan memeluk Alma erat. Ia meminta maaf dalam hati atas masalah yang menimpa istrinya, “Aku telpon mama buat nemenin kamu dirumah sakit ya. Hari i
Alma membaringkan badannya menutupi arah pintu masuk. Ia mendengar pintu terbuka, tapi tak peduli siapa yang datang. Bisa jadi itu papa yang akan kembali mengultimatumnya seperti tadi.“Alma? Kamu tidur?”Alma membalikkan badannya dan menatap kehadiran Armand yang masih memakai baju seragam operasinya, “Bang Armand?”Armand menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang, “Maaf ya ganggu.”“Enggak kok, bang, aku gak lagi tidur.”“Iya sih, mata kamu gak merah.”Alma memegang kedua kelopak matanya sambil bangkit untuk duduk.“Adam bilang juga semenjak jadi istrinya kamu gak Kebo seperti yang dia bayangin.”“Ih, malah ngeledek.”“Hahaha. Kamu udah gak papa, kan?”Alma mengangguk.“Sezan masih sibuk di kafe, jadi mungkin dia baru bisa kesini agak sore.”“Iya, gak papa, bang.” Alma melirik Armand yang sedang memainkan ponselnya, “Abang kenapa gak bilang sebenernya sahabat mas Adam?”Armand mendongak, “Kamu gak tanya.”“Pengen banget ditanya.”“Bukan gitu. Abang ‘kan bukan kamu a
Bau bunga mawar segar menyeruak di ruangan kamar Alma. Ia yang sedari tadi tidur karena lelah berpikir, mengerjap-ngerjap dan mendapati Mario tengah duduk memainkan ponselnya di kursi samping ranjang. Ia tampak serius entah sedang melihat apa.“Rio.”Mario mematikan ponsel dan menatap Alma, “Kamu udah bangun?”“Hm.”“Aku dateng kesini abis denger kabar dari Audy kalo kamu keguguran.”“Audy?”“Iya. Audy bikin story, bilang get well soon ke kamu. Aku pikir kamu sakit apa, dia bilang kamu keguguran.”Alma mengangguk.“Dia di rumah kamu lagi urus anak tiri kamu.”“Iya.” Alma bangkit dari posisi tidurnya dibantu Mario. “Ma, kamu gak mau pikir-pikir lagi soal pernikahan kamu ini?”“Maksud kamu?”Mario mencondongkan badannya, “Aku tau kamu keguguran bukan karena janin kamu lemah. Tapi karena kamu stress ngurus anak tiri kamu. Aku juga tau layanan kartu kredit kamu di bek
Dengan cepat Alma memasukkan baju dan semua barang-barangnya ke dalam tas. Ia akan pulang naik taksi. Bahkan sampai jam sepuluh pagi Adam belum juga masuk ke dalam ruangannya. Suaminya sungguh keterlaluan. “Permisi.” suster masuk ke dalam ruangannya yang pintunya terbuka sedikit.Alma menoleh.“Ibu mau pulang sekarang?”“Iya, aku udah pesen taksi.”“Dokter Adam baru aja mulai jadwal praktek rawat jalan, bu. Mau tunggu sampai selesai praktek di jam makan siang?”Alma menggeleng, “Enggak, sus, saya pulang sekarang.”“Oh ya sudah kalau begitu. Ini obat yang harus ibu Alma minum selama tiga hari ke depan. Kalau ada keluhan, ibu boleh datang kesini. Untuk administrasi, seperti biasa nanti dokter Adam yang urus.” Suster memberikan obat-obatan yang baru saja ditebus di apotek.“Oh iya, makasih ya, sus udah di repotin.”“Sama-sama. Semoga ibu lekas sembuh dan bisa kembali hamil ya.”Alma tersenyum ragu, “Iya, makasih, sus, doanya.”“Kalau begitu saya permisi.”“Iya, sus.”Selepa
Sudah dua hari Alma tinggal di rumah mama, tapi Adam belum juga menjemputnya atau sekedar melihat keadaannya. Hal itu membuatnya makin yakin untuk bercerai dengannya. Mama yang terus memaksa Alma untuk pulang, bertengkar dengan papa yang bilang untuk membiarkan Alma istirahat disini pasca keguguran. Alma juga sengaja tidak meminum obat yang diberikan suster untuk pemulihan pasca kegugurannya. Ia ingin tahu ketika sakit apakah Adam akan memperdulikannya atau tidak.“Kamu dari pada bengong mending—” mama berdiri siap mengultimatum Alma.Alma yang hanya duduk santai dibelakang rumah melirik mama sinis, “Mending apa? Mending pulang ke rumah memantu mama yang lupa masih punya istri disini, yang gak dia jengukin dari kemaren lusa?”Mama duduk disebelah Alma, “Adam belum kesini pasti karena sibuk. Kamu harus ngertiin dong, jangan egois.”“Yang egois itu dia. Aku udah beberapa kali bilang sama mama? Aku tersiksa nikah sama dia. Sekarang aku setuju sama omongan mama yang bilang selama in
Alma membuka pintu ruang tamu dan terkejut kala melihat keberadaan suster Ruth yang tengah menemani Belle bermain. Matanya membulat, mulutnya melongo. Sedetik kemudian ia tertawa dan berlari menghampiri suster Ruth yang sudah lebih dulu tertawa disamping Belle.“Suuuus, aku kangen.” Alma memeluk erat suster Ruth.“Aku jugaaa.”Alma melepaskan pelukkan mereka, “Dari kapan?”“Apanya?”“Suster ada disini.”“Dari hari kamu masuk rumah sakit. Audy atau mama kamu gak bilang?”Alma diam sebentar. Audy siang kemaren memang datang ke rumah sakit, saat jam besuk sudah habis. Ia hanya memberikan salad buah dan pizza sebagai makan siangnya. Tapi ‘kan seharusnya Audy bilang lewat chat kek atau telpon untuk mengatakan bahwa suster Ruth ada di rumah.Mama juga tidak mengatakan apapun selain memintanya pulang. Ah, ia sudah menduga permainan mama.“Mereka gak bilang.” jawab Alma cemberut.Suster Ruth mengusap lengan Alma, “Ya udah, yang penting aku ada disini sekarang.”Alma mengangguk.“M
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny