Adam dan Alma meninggalkan suster Ruth dan Virza yang tengah duduk berhadapan di meja resto hotel. Mereka sengaja meninggalkan suster Ruth dan Virza agar mereka memiliki privasi ngobrol berdua. Suster Ruth terus meminta Alma tidak pergi dan ikut makan, tapi Belle menangis sehingga Alma memiliki alasan untuk pergi dari sana. Banyak pengunjung resto yang melirik ke arah mereka tajam karena suara Belle mengganggu ketenangan makan siang pengunjung.“Belle, udah tenang?” Alma melongokkan kepalanya ke arah Belle yang duduk di stroller.“Yayayayah.” “Oke.” Alma duduk di tembok depan Belle sambil menyeka pelipisnya yang berkeringat. Adam yang melihat itu merasa senang sekaligus kasihan.“Belle gerah gak sih? Mami gerah banget.” “Gelah.”Alma menyeka keringat di dahi Belle, “Kalo udah di luar gak akan gerah lagi. Tuh, liat banyak pohon jadi adem.”Belle mengikuti kemana Alma menunjuk. Adam duduk disebelah Alma dan t
Sudah satu bulan Alma merasa tidak enak makan. Ia hanya bisa makan buah segar ketika lapar. Saat membaui duo bawang ia selalu muntah, sehingga memilih libur masak dan memesan makan lewat katering sehat. “Sayang, aku pulang telat malam ini. Kamu tidur aja duluan ya.” Adam memasukkan semua berkas ke dalam tas kerjanya dengan buru-buru.“Iya, mas.” Alma yang terkulai lemas hanya duduk di sofa menatap suaminya yang siap pergi sebentar lagi.“Kamu masih mual?”Alma mengangguk.“Kamu punya tespek?”“Hm?” mata Alma membulat kaget. Tespek?“Ada gak? Atau aku beliin sepulang dari rumah sakit?”“Aku nanti titip ke Audy aja, mas. Dia mau kesini katanya.”“Oh, oke.” Adam menghampiri Alma dan mencium keningnya lama-lama.Alma mendorong tubuh Adam karena tidak kuat mencium bau parfum yang menurutnya sangat menyengat itu. Perutnya seperti di putar-putar, “Mas, udah.”Adam menatap Alma. Sunggingan senyum manis tersuguh di bibirnya, “Kamu kayaknya beneran hamil deh.”“Belum tentu, mas.”
Alma dan Audy loncat-loncat kegirangan melihat hasil tespek. Audy yang baru ingat sahabatnya ini sedang hamil, memegangi kedua tangannya, “Ma, jangan lompat-lompat, ada bayi di perut lo."“Oh iya, gue lupa."Audy menatap perut Alma, “Gue boleh pegang perut lo ‘kan?”“Boleh lah, pegang aja, Dy, lo kayak sama siapa aja deh.”Audy tertawa, “Kirain gak boleh hahaha.” ia mengelus perut Alma yang masih rata, “Kok dia belum gerak, Ma?”“Ih dodol banget sih. Baru kantung janin aja itu, belum ada janinnya.”Audy melongo, “Jadi janinnya kemana?”“Belum launching.”“Tapi tadi garisnya dua.”“Au ah, nanti lo tanya mas Adam aja.”“Ya elo ngejelasinnya gak jelas.”“Ya elo nanyain kehamilan sama mantan mahasiswi Desain Interior.”“Hahaha. Yuk, gue tuntun. Ibu hamil harus duduk.”Mereka berjalan ke depan tv. Suster Ruth yang baru kembali dari dapur menatap Alma yang dituntun Audy.“Kamu kenapa?”Audy melirik Alma lalu tersenyum penuh misteri, “Ada benih bapaknya Tinkerbelle di perut Al
Alma mengelap pinggiran piring berisi nasi uduk yang mama kirim lewat ojek online. Ia tidak akan masak dulu sampai batas waktu tidak ditentukan. Syukur-syukur sebelum usia kehamilannya menginjak 16 minggu, ia sudah tidak mual membaui duo bawang dan rempah lain.“Maaas, udah siap nih sarapannya.”“Iyaaaa.” Adam turun dari tangga memangku Belle yang sudah wangi dan cantik. Dibelakangnya membuntut suster Ruth. Di meja makan, Adam menaruh Belle di kursi khusus miliknya.“Wah, enak banget menu sarapan hari ini.” Adam melirik senang ke arah piring yang penuh dengan lauk pauk yang lengkap buatan mertuanya.“Iya, buruan makan, mas, nanti telat.”“Iya, sayang.”“Makan, sus.”Adam dan suster Ruth melirik Alma yang masih berdiri disamping meja makan.“Kamu gak makan?”Alma menggeleng, “Tadi aku udah nyemil buah apel. Aman kok. Aku suapin Belle dulu ya.” ia melenggang ke dapur untuk mengambil makanan Belle.Adam memakan nasi uduk itu dengan cepat. Hari ini sebenarnya tidak ada jadwal ko
Alma mendorong stroller dengan riang di mall. Sejauh ini Belle juga aman-aman saja. Ia sama sekali tidak tantrum dan sangat menyenangkan. Pengunjung lain pun banyak yang memuji kekompakkan ibu dan anak ini.“Belle, capek gak? Kita istirahat dulu ya. Mami haus.”“Cucu.” Belle memberikan botol susunya yang sudah habis pada Alma.“Enggak, enak aja. Kok Belle ngasih botol yang kosong sih?"Belle tertawa.Alma mendorong stroller masuk ke dalam kedai minuman.Alma berdiri di dekat kasir,“Kak, greentea low sugar ya satu.”“Baik, kak, atas nama siapa?”Alma melirik Belle yang sedang mengenyot susu dari dot kedua, “Mami Belle.”“Oke, atas nama mami Belle ya. Mohon ditunggu.”“Oke, kak.” Alma mendorong stroller ke meja kosong. Begitu duduk, Alma mengusap perutnya yang rata. “Belle, liat perut mami.”“Lapel.”“Enggak, bukan laper. Tapi di perut mami ada adeknya Belle.”“Adek."“Iya, Belle mau jadi kakak, jadi jangan manja oke?”“Oke.”Alma mengusap dahi Belle dengan tisu, “Belle
Adam menaruh dua omlette di kedua piring yang terbuka di atas meja makan. Ia melirik Alma yang sedang berusaha menyuapi Belle yang terus melepeh nasi yang di suapi Alma.“Belle, kalo gak makan nanti kamu kurus. Gak ada bayi kurus ceritanya jadi model. Mending kamu gemuk biar gemoy dan terima banyak endorse ya.”“No no no.”Meski mendapat penolakkan, Alma terus berusaha membuat Belle mau makan. Ia tak akan gentar karena masalahnya sedari kemarin siang Belle tidak mau makan dan minum susu.“Sayang, kamu makan dulu ya. Taruh aja makanannya, nanti Belle juga makan sendiri.”Alma menurut. Ia duduk di samping Adam dan menatap ke arah meja dengan tatapan kesal dan lelah.“Nanti aku jemput biar kamu bisa konsul ulang sama Virza, sama dokter obgyn juga. Kamu ‘kan belum USG dan ngelakuin pemeriksaan lanjutan.”Alma menoleh, “Di rumah sakit tempat kamu kerja?”“Enggak. Kita cari rumah sakit lain. Buat ketemu Virza nanti kita ke RSJ. Atau kalo kamu gak mau, Virza bisa kesini.”“Terserah
Alma mengacak-acak berkas yang ada di laci kamar. Ia mencari foto atau informasi yang memuat apapun soal Arden, kakak Adam. Tapi ia tidak menemukannya satu pun. Jelas, mbok Titi bilang hubungan keduanya merenggang satu tahun sebelum Belle lahir yang entah karena apa.“Dimana ya aku bisa dapet info soal Arden?" katanya bermonolog. “Ibu? Aku tanya ibu aja?” Alma menggeleng. “Jangan-jangan, terlalu beresiko. Dokter Virza pasti tau soal Arden. Oke, aku bakal tanya dia aja.”Suara mobil memecah lamunan singkat Alma. Ia bergegas merapikan laci dan keluar dari kamar. Belle yang masih tidur setelah lelah bermain dengan mbok Titi membuatnya sedikit rileks sore ini. Ia sempat mandi dan berdandan seperti ada suster Ruth.“Mas.” Alma berdiri menyambut Adam di teras.“Sayang, mbok Titi udah pulang?”“Udah, sejam lalu, mas.”Adam mengangguk, “Mbok Titi bilang besok bakal kesini lagi.”“Papa gak akan tau?”“Papa tau mbok Titi kesini cuma buat beres-beres. Semoga orang-orang papa juga gak ne
Ketika bangun tidur, Alma merasa ada sesuatu yang lengket dibawah sana, seperti sedang haid dan sudah bocor. Ia menenangkan dirinya. Bahwa mungkin itu hanya keputihan. Ia bangun dan tidak melihat Adam atau Belle ada disisinya. Ia membuka selimut dan melihat bercak darah cukup banyak di kasur. Kepalanya berputar, jantungnya berdegup kencang.“Mas! Mas Adam!” dengan sisa kekuatan yang ada Alma berteriak memanggil Adam, berharap suaminya itu bisa segera datang.“Iya, sayang, kenapa?” Adam yang tengah mengaduk mi pasta sebagai sarapan Belle pagi ini, melongo melihat darah yang ada diantara kaki istrinya. Badannya limbung.“Maaas, aku gak mau keguguran.” Alma menangis histeris. Ia baru saja bahagia karena kehamilannya, dan kini ia melihat pemandangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya terjadi pagi ini.Adam menaruh mangkuk berisi pasta dan memeluk Alma erat. Ia meminta maaf dalam hati atas masalah yang menimpa istrinya, “Aku telpon mama buat nemenin kamu dirumah sakit ya. Hari i
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny