Alma dan Audy loncat-loncat kegirangan melihat hasil tespek. Audy yang baru ingat sahabatnya ini sedang hamil, memegangi kedua tangannya, “Ma, jangan lompat-lompat, ada bayi di perut lo."“Oh iya, gue lupa."Audy menatap perut Alma, “Gue boleh pegang perut lo ‘kan?”“Boleh lah, pegang aja, Dy, lo kayak sama siapa aja deh.”Audy tertawa, “Kirain gak boleh hahaha.” ia mengelus perut Alma yang masih rata, “Kok dia belum gerak, Ma?”“Ih dodol banget sih. Baru kantung janin aja itu, belum ada janinnya.”Audy melongo, “Jadi janinnya kemana?”“Belum launching.”“Tapi tadi garisnya dua.”“Au ah, nanti lo tanya mas Adam aja.”“Ya elo ngejelasinnya gak jelas.”“Ya elo nanyain kehamilan sama mantan mahasiswi Desain Interior.”“Hahaha. Yuk, gue tuntun. Ibu hamil harus duduk.”Mereka berjalan ke depan tv. Suster Ruth yang baru kembali dari dapur menatap Alma yang dituntun Audy.“Kamu kenapa?”Audy melirik Alma lalu tersenyum penuh misteri, “Ada benih bapaknya Tinkerbelle di perut Al
Alma mengelap pinggiran piring berisi nasi uduk yang mama kirim lewat ojek online. Ia tidak akan masak dulu sampai batas waktu tidak ditentukan. Syukur-syukur sebelum usia kehamilannya menginjak 16 minggu, ia sudah tidak mual membaui duo bawang dan rempah lain.“Maaas, udah siap nih sarapannya.”“Iyaaaa.” Adam turun dari tangga memangku Belle yang sudah wangi dan cantik. Dibelakangnya membuntut suster Ruth. Di meja makan, Adam menaruh Belle di kursi khusus miliknya.“Wah, enak banget menu sarapan hari ini.” Adam melirik senang ke arah piring yang penuh dengan lauk pauk yang lengkap buatan mertuanya.“Iya, buruan makan, mas, nanti telat.”“Iya, sayang.”“Makan, sus.”Adam dan suster Ruth melirik Alma yang masih berdiri disamping meja makan.“Kamu gak makan?”Alma menggeleng, “Tadi aku udah nyemil buah apel. Aman kok. Aku suapin Belle dulu ya.” ia melenggang ke dapur untuk mengambil makanan Belle.Adam memakan nasi uduk itu dengan cepat. Hari ini sebenarnya tidak ada jadwal ko
Alma mendorong stroller dengan riang di mall. Sejauh ini Belle juga aman-aman saja. Ia sama sekali tidak tantrum dan sangat menyenangkan. Pengunjung lain pun banyak yang memuji kekompakkan ibu dan anak ini.“Belle, capek gak? Kita istirahat dulu ya. Mami haus.”“Cucu.” Belle memberikan botol susunya yang sudah habis pada Alma.“Enggak, enak aja. Kok Belle ngasih botol yang kosong sih?"Belle tertawa.Alma mendorong stroller masuk ke dalam kedai minuman.Alma berdiri di dekat kasir,“Kak, greentea low sugar ya satu.”“Baik, kak, atas nama siapa?”Alma melirik Belle yang sedang mengenyot susu dari dot kedua, “Mami Belle.”“Oke, atas nama mami Belle ya. Mohon ditunggu.”“Oke, kak.” Alma mendorong stroller ke meja kosong. Begitu duduk, Alma mengusap perutnya yang rata. “Belle, liat perut mami.”“Lapel.”“Enggak, bukan laper. Tapi di perut mami ada adeknya Belle.”“Adek."“Iya, Belle mau jadi kakak, jadi jangan manja oke?”“Oke.”Alma mengusap dahi Belle dengan tisu, “Belle
Adam menaruh dua omlette di kedua piring yang terbuka di atas meja makan. Ia melirik Alma yang sedang berusaha menyuapi Belle yang terus melepeh nasi yang di suapi Alma.“Belle, kalo gak makan nanti kamu kurus. Gak ada bayi kurus ceritanya jadi model. Mending kamu gemuk biar gemoy dan terima banyak endorse ya.”“No no no.”Meski mendapat penolakkan, Alma terus berusaha membuat Belle mau makan. Ia tak akan gentar karena masalahnya sedari kemarin siang Belle tidak mau makan dan minum susu.“Sayang, kamu makan dulu ya. Taruh aja makanannya, nanti Belle juga makan sendiri.”Alma menurut. Ia duduk di samping Adam dan menatap ke arah meja dengan tatapan kesal dan lelah.“Nanti aku jemput biar kamu bisa konsul ulang sama Virza, sama dokter obgyn juga. Kamu ‘kan belum USG dan ngelakuin pemeriksaan lanjutan.”Alma menoleh, “Di rumah sakit tempat kamu kerja?”“Enggak. Kita cari rumah sakit lain. Buat ketemu Virza nanti kita ke RSJ. Atau kalo kamu gak mau, Virza bisa kesini.”“Terserah
Alma mengacak-acak berkas yang ada di laci kamar. Ia mencari foto atau informasi yang memuat apapun soal Arden, kakak Adam. Tapi ia tidak menemukannya satu pun. Jelas, mbok Titi bilang hubungan keduanya merenggang satu tahun sebelum Belle lahir yang entah karena apa.“Dimana ya aku bisa dapet info soal Arden?" katanya bermonolog. “Ibu? Aku tanya ibu aja?” Alma menggeleng. “Jangan-jangan, terlalu beresiko. Dokter Virza pasti tau soal Arden. Oke, aku bakal tanya dia aja.”Suara mobil memecah lamunan singkat Alma. Ia bergegas merapikan laci dan keluar dari kamar. Belle yang masih tidur setelah lelah bermain dengan mbok Titi membuatnya sedikit rileks sore ini. Ia sempat mandi dan berdandan seperti ada suster Ruth.“Mas.” Alma berdiri menyambut Adam di teras.“Sayang, mbok Titi udah pulang?”“Udah, sejam lalu, mas.”Adam mengangguk, “Mbok Titi bilang besok bakal kesini lagi.”“Papa gak akan tau?”“Papa tau mbok Titi kesini cuma buat beres-beres. Semoga orang-orang papa juga gak ne
Ketika bangun tidur, Alma merasa ada sesuatu yang lengket dibawah sana, seperti sedang haid dan sudah bocor. Ia menenangkan dirinya. Bahwa mungkin itu hanya keputihan. Ia bangun dan tidak melihat Adam atau Belle ada disisinya. Ia membuka selimut dan melihat bercak darah cukup banyak di kasur. Kepalanya berputar, jantungnya berdegup kencang.“Mas! Mas Adam!” dengan sisa kekuatan yang ada Alma berteriak memanggil Adam, berharap suaminya itu bisa segera datang.“Iya, sayang, kenapa?” Adam yang tengah mengaduk mi pasta sebagai sarapan Belle pagi ini, melongo melihat darah yang ada diantara kaki istrinya. Badannya limbung.“Maaas, aku gak mau keguguran.” Alma menangis histeris. Ia baru saja bahagia karena kehamilannya, dan kini ia melihat pemandangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya terjadi pagi ini.Adam menaruh mangkuk berisi pasta dan memeluk Alma erat. Ia meminta maaf dalam hati atas masalah yang menimpa istrinya, “Aku telpon mama buat nemenin kamu dirumah sakit ya. Hari i
Alma membaringkan badannya menutupi arah pintu masuk. Ia mendengar pintu terbuka, tapi tak peduli siapa yang datang. Bisa jadi itu papa yang akan kembali mengultimatumnya seperti tadi.“Alma? Kamu tidur?”Alma membalikkan badannya dan menatap kehadiran Armand yang masih memakai baju seragam operasinya, “Bang Armand?”Armand menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang, “Maaf ya ganggu.”“Enggak kok, bang, aku gak lagi tidur.”“Iya sih, mata kamu gak merah.”Alma memegang kedua kelopak matanya sambil bangkit untuk duduk.“Adam bilang juga semenjak jadi istrinya kamu gak Kebo seperti yang dia bayangin.”“Ih, malah ngeledek.”“Hahaha. Kamu udah gak papa, kan?”Alma mengangguk.“Sezan masih sibuk di kafe, jadi mungkin dia baru bisa kesini agak sore.”“Iya, gak papa, bang.” Alma melirik Armand yang sedang memainkan ponselnya, “Abang kenapa gak bilang sebenernya sahabat mas Adam?”Armand mendongak, “Kamu gak tanya.”“Pengen banget ditanya.”“Bukan gitu. Abang ‘kan bukan kamu a
Bau bunga mawar segar menyeruak di ruangan kamar Alma. Ia yang sedari tadi tidur karena lelah berpikir, mengerjap-ngerjap dan mendapati Mario tengah duduk memainkan ponselnya di kursi samping ranjang. Ia tampak serius entah sedang melihat apa.“Rio.”Mario mematikan ponsel dan menatap Alma, “Kamu udah bangun?”“Hm.”“Aku dateng kesini abis denger kabar dari Audy kalo kamu keguguran.”“Audy?”“Iya. Audy bikin story, bilang get well soon ke kamu. Aku pikir kamu sakit apa, dia bilang kamu keguguran.”Alma mengangguk.“Dia di rumah kamu lagi urus anak tiri kamu.”“Iya.” Alma bangkit dari posisi tidurnya dibantu Mario. “Ma, kamu gak mau pikir-pikir lagi soal pernikahan kamu ini?”“Maksud kamu?”Mario mencondongkan badannya, “Aku tau kamu keguguran bukan karena janin kamu lemah. Tapi karena kamu stress ngurus anak tiri kamu. Aku juga tau layanan kartu kredit kamu di bek