Alma menangis sesenggukan ketika pusaka Adam di tarik kembali. Inti dirinya terasa perih sekali. Adam yang kaget istrinya masih perawan mencoba mengatur nafasnya dan tiduran disamping Alma. Ia terus melirik istrinya yang menghapus air matanya.Tadi siang ketika Alma menceritakan mengenai ia yang bangun dalam keadaan hanya memakai dalaman pada suster Ruth, mereka menganalisis apa yang mungkin terjadi diantara Alma dan Mario di kamar hotel.Alma yang mengatakan ia masih gadis karena belum pernah sama sekali melakukan itu dengan Adam, membuat suster Ruth menyimpulkan jika ingin tahu apakah Mario melakukan itu atau tidak hanya dengan melakukan malam panas itu dengan Adam. Dan sekarang terbukti, ternyata Mario tidak sebejad itu. Ia mungkin hanya melakukan pemanasan dengannya ketika ia tidur. Entahlah.“Sayang, maaf.”Alma menutup matanya dan mengangguk, ia lalu melirik Adam, “Aku juga minta maaf, mas.”Adam mengangguk. Ia bergerak untuk mencium kening Alma.“Mas, kita mulai semuanya dari
“Kamu mau apa?” tanya Alma cepat.Mario tertawa, “Kamu gak mau nyuruh aku masuk?”“Rio, langsung aja. Kamu mau apa kesini?”“Kamu gak tanya darimana aku tau alamat rumah ini?"Alma menyilangkan tangannya, “Aku gak perlu tau.”Mario mengangguk dan tersenyum, “Padahal kamu harus takut, karena ada yang mau rebut Adam dari kamu.”Alma membuang nafasnya pelan, “Kamu mau apa?”“Ketemu kamu.”“Kamu gak kerja?”Mario mendorong tubuh Alma pelan agar bisa masuk ke dalam rumah, “Was, rumah Adam bagus juga.”“Rio, keluar!”Mario duduk di sofa tamu, “Aku cuma mau ngomong sama kamu sebentar.”Alma menghampiri Mario, “Apa?”“Aku mau kasih penawaran kita nikah, terus pindah ke Surabaya jalanin bisnis properti papaku. Kita mulai hidup baru disana. Gimana? Kamu mau?”Alma tertawa lalu duduk disamping Mario, “Rio, apa yang kita lakuin kemaren, pergi sama kamu tan
Papa pulang setelah mengatakan hal yang membuat Alma super bingung. Ia menjadi tak selera makan dan tidak fokus menemani Belle bermain. Kini ia hanya ingin menunggu Adam pulang. Besok untungnya Adam tidak memiliki jadwal dinas di rumah sakit, sehingga mereka akan membicarakan masalah ini dengan serius. Ucapan papa terdengar bukan hanya sebuah ancaman. Alma sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang di maksud mengenai Adam akan kehilangan semuanya. Bukannya Adam mendapatkan jabatan, dan hartanya dengan bekerja keras dengan menjadi seorang dokter bedah di rumah sakit? Kenapa kesannya papa yang mengatur mengenai adanya harta itu? “Alma, dari pagi kamu belum makan loh.” suster Ruth membawakan sepiring roti panggang ke balkon. “Makasih, sus.” “Iya. Kamu makan ya. Kalo bapak tau, aku bisa di marahin.” Alma menoleh, “Yang gak makan itu aku, kok suster yang di marahin?” “Ya bapak bakal bilang aku tega biarin kamu gak makan seharian."
Adam mencium kening Alma ketika mereka selesai melaksanakan malam panjang yang ditunggu sedari tadi.“Kamu seneng?” goda Adam.Alma tersenyum mengangguk, “Kamu gak pernah gagal, mas.”“Oh, jelaaaas.”Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar yang gelap. Hanya ada siluet cahaya dari luar kamar.“Mas.”“Hm?”“Belle bakal tetep tinggal sama kita ‘kan kalo aku hamil?”Adam menoleh, “Iya, Belle ‘kan anak kita.”Alma juga menoleh, “Kamu... gak akan kehilangan apa pun?”Adam diam dan menarik nafas panjang. “Kenapa hidup kamu seolah di atur sama papa?”Adam bangun dan mengusap pipi Alma, “Kita gak usah bahas ini dulu ya, sayang. Aku yakin, semuanya akan baik-baik aja kok.”Alma mengangguk, “Ya udah kita bahas yang lain aja.”“Misalnya?”“Misalnya, kemana besok kita akan pergi?”“Hahaha, dasar abege. Biarin aku istirahat, sayang. Aku capek banget.”“Maaas, ‘kan gak tiap hari. Yah, yah?”“Bikin aku make out dulu baru kita pergi. Gimana?”Alma manyun, “Yah, curang. Bikin
Saat sarapan pagi, dimana Alma yang memasak sayur sop bakso ala-ala, semua sarapan bersama di meja makan. Suster Ruth makan sesekali melirik Belle yang juga sedang makan sendiri.“Sus, abis ini langsung siap-siap ya, kita pergi, di tlaktir papa si keriting nih."Adam melirik Alma, “Belle bisa denger loh, sayang."Saat Alma buka mulut untuk membalas ucapan Adam, Belle sudah lebih dulu membalas ucapan Adam.“Sayaaaang.” cuap Belle.“Hahahaha, iya kitingku sayang.”“Mami Belle.” Adam meralat.“Iya, papa Belle.”Suster Ruth menahan tawa.“Udah, sus, ketawa aja, gak papa kok.”“Iya, maaf, bu.”Alma melirik Adam, “Emang kamu di larang ketawa ya sama si om-om tua ini?”Suster Ruth melirik Adam lalu menatap Alma, “Enggak kok, bu.”“Alma, aku bukan ibunya sus.”Adam melirik Alma.“Apa? Aku gak mau ikut tua ya, mas. Kamu aja yang tua sendiri, jangan ajak-ajak aku. Enak aja.”“Iya sus, panggil aja Alma. Mami Alma, mami Belle.”“Baik, pak.”Alma menyimpan sendok dan garpunya, “S
Adam dan Alma meninggalkan suster Ruth dan Virza yang tengah duduk berhadapan di meja resto hotel. Mereka sengaja meninggalkan suster Ruth dan Virza agar mereka memiliki privasi ngobrol berdua. Suster Ruth terus meminta Alma tidak pergi dan ikut makan, tapi Belle menangis sehingga Alma memiliki alasan untuk pergi dari sana. Banyak pengunjung resto yang melirik ke arah mereka tajam karena suara Belle mengganggu ketenangan makan siang pengunjung.“Belle, udah tenang?” Alma melongokkan kepalanya ke arah Belle yang duduk di stroller.“Yayayayah.” “Oke.” Alma duduk di tembok depan Belle sambil menyeka pelipisnya yang berkeringat. Adam yang melihat itu merasa senang sekaligus kasihan.“Belle gerah gak sih? Mami gerah banget.” “Gelah.”Alma menyeka keringat di dahi Belle, “Kalo udah di luar gak akan gerah lagi. Tuh, liat banyak pohon jadi adem.”Belle mengikuti kemana Alma menunjuk. Adam duduk disebelah Alma dan t
Sudah satu bulan Alma merasa tidak enak makan. Ia hanya bisa makan buah segar ketika lapar. Saat membaui duo bawang ia selalu muntah, sehingga memilih libur masak dan memesan makan lewat katering sehat. “Sayang, aku pulang telat malam ini. Kamu tidur aja duluan ya.” Adam memasukkan semua berkas ke dalam tas kerjanya dengan buru-buru.“Iya, mas.” Alma yang terkulai lemas hanya duduk di sofa menatap suaminya yang siap pergi sebentar lagi.“Kamu masih mual?”Alma mengangguk.“Kamu punya tespek?”“Hm?” mata Alma membulat kaget. Tespek?“Ada gak? Atau aku beliin sepulang dari rumah sakit?”“Aku nanti titip ke Audy aja, mas. Dia mau kesini katanya.”“Oh, oke.” Adam menghampiri Alma dan mencium keningnya lama-lama.Alma mendorong tubuh Adam karena tidak kuat mencium bau parfum yang menurutnya sangat menyengat itu. Perutnya seperti di putar-putar, “Mas, udah.”Adam menatap Alma. Sunggingan senyum manis tersuguh di bibirnya, “Kamu kayaknya beneran hamil deh.”“Belum tentu, mas.”
Alma dan Audy loncat-loncat kegirangan melihat hasil tespek. Audy yang baru ingat sahabatnya ini sedang hamil, memegangi kedua tangannya, “Ma, jangan lompat-lompat, ada bayi di perut lo."“Oh iya, gue lupa."Audy menatap perut Alma, “Gue boleh pegang perut lo ‘kan?”“Boleh lah, pegang aja, Dy, lo kayak sama siapa aja deh.”Audy tertawa, “Kirain gak boleh hahaha.” ia mengelus perut Alma yang masih rata, “Kok dia belum gerak, Ma?”“Ih dodol banget sih. Baru kantung janin aja itu, belum ada janinnya.”Audy melongo, “Jadi janinnya kemana?”“Belum launching.”“Tapi tadi garisnya dua.”“Au ah, nanti lo tanya mas Adam aja.”“Ya elo ngejelasinnya gak jelas.”“Ya elo nanyain kehamilan sama mantan mahasiswi Desain Interior.”“Hahaha. Yuk, gue tuntun. Ibu hamil harus duduk.”Mereka berjalan ke depan tv. Suster Ruth yang baru kembali dari dapur menatap Alma yang dituntun Audy.“Kamu kenapa?”Audy melirik Alma lalu tersenyum penuh misteri, “Ada benih bapaknya Tinkerbelle di perut Al