Raut wajah Risa berubah muram. Danu berlari setelah Al memanggilnya. "Iya pak," Danu membeku melihat Risa yang sedang dirangkul oleh Al dengan sangat mesra. "Cantik kan, Bang?" "Eh, C-cantik sekali, Pak." Kata-kata Danu seperti tersangkut di tenggorokan. "Tentu dong, seleraku pasti yang high class kayak gini. Imut, cantik dan baik hati. Masak juga pinter." Al membanggakan Risa di depan kedua orang tuanya dan Danu. "Bener Al, calon menantu Mama pinter masak?" tanya Sinta."Iya dong, Ma. Kemarin malam, Al makan nasi goreng buatan Risa. Skill Mama kalah jauh. Ya kan, Sayang?" Al menoleh kepada Risa."Ish, jangan ngejelekin Mama kamu dong, Al." El Barak menepuk pundak Al. "Biar Mama intropeksi diri, Pa." Al mencolek lengan Mamanya."Iya, iya Mama sadar, Mama akan lebih giat lagi berlatih biar nggak malu-maluin. Ngomong-omong kapan kamu dimasakin sama Risa?" "Kemarin malam, Al mampir kerumahnya." Risa dan Danu sama-sama merasakan suasana yang tidak nyaman. Untuk Risa, bertemu kemba
"Danu!" Risa kaget melihat Danu yang meringkuk kesakitan. Naluri kemanusiaanya langsung tersentuh. Tidak peduli seberapa dalam ia disakiti oleh Danu. Namum Risa harus menolongnya sebagai sesama manusia. Risa mencari bantuan untuk memapah Danu ke ruang Unit Gawat Darurat. Tapi sudah lima menit tidak ada satu pun orang yang melintas. Dengan terpaksa ia membangunkan Danu. "Dan, bangun Dan. Kamu harus periksa." Risa menepuk-nepuk pundak Danu. Danu membuka matanya. "R-Risa." "Ya ini aku, bangun! Aku nggak kuat untuk memapahmu, kamu harus periksa sekarang." "Nggak usah, cuma sakit ringan, Ris." Danu merasa tidak enak. "Jangan keras kepala. Kamu sakit, secepatnya harus diobati. Mamanya Al sudah berpesan padaku untuk memperhatikanmu." "Maaf," dengan perlahan Danu mengubah posisinya menjadi duduk. Risa mengulurkan tangannya lalu dengan sekuat tenaga menarik tangan Danu. Tubuh Danu sedikit oleng. Namun ia berusaha untuk tegak berdiri. "Ayo!" Risa menyuruhnya berjalan. Untuk sekilas D
"Mantan suami? Oh Tuhan … dunia memang selebar daun kelor. Semua terjadi atas kehendak-Mu. Ternyata akulah orang yang menjadi perantara untuk mereka bertemu." Al mengusap wajahnya kasar. Perasaannya menjadi tidak tenang ketika Risa berpamitan mengantarkan bubur untuk Danu. Al berpamitan kepada papa dan mamanya dengan alasan membeli permen di kantin rumah sakit karena mulutnya terasa pahit efek dari antibiotik yang diminumnya. Inilah cara Tuhan menunjukkan identitas Danu yang sebenarnya. Pintu terbuka, Al segera berpura-pura berjalan dari arah kantin. "Al, kok di sini, dari mana?" Risa terkejut melihat Al yang berada di ujung koridor. "Mulutku pahit, aku ingin makan permen." dusta Al. "Kenapa nggak telepon aku aja, Al?" Risa cemberut. "Kamu masih lemas gitu." "Entar kamu kecapek'an, Ris. Lagian suntuk di dalam kamar. Pengen cari udara segar." "Tapi kan ada Papa dan Mama. Masak ditinggalin begitu saja, kasihan mereka jauh-jauh kesini nengokin kamu." Risa mendekat lalu menuntun Al.
Malam harinya Karin sudah bersiap dengan dandanan make-up yang sempurna. Ia bertekad harus bisa mendapatkan mangsa baru demi kelanjutan hidup mapan tanpa harus susah payah bekerja. Ditemani Tata, Karin meluncur ke sebuah klub malam elit di kawasan Jakarta Selatan. "Bagaimana penampilan gue, Ta?" Karin tak henti-hentinya berkaca memeriksa make-up di wajahnya. "Sempurna, gaun terusan ini pas melekat di tubuh elo. Terlihat sèksi dan menarik, apalagi depan belakang berisi semua, Rin." Tata berkata jujur, tubuh Karin yang tinggi semampai sangat proporsional. Berisi di bagian yang tepat, sehingga gaun séksi yang ia kenakan semakin terlihat sempurna. "Kalau gitu, gue semakin yakin nanti malam bakal nyantol kelas kakap." Karin mengibaskan rambut pirangnya hasil dari pewarnaan salon kecantikan terkenal. "Sip deh, kalau elo punya semangat yang tinggi." Tata semakin bersemangat memberi motivasi kepada Karin agar gadis itu tidak menginap lagi di apartemennya. Tata memang bersahabat baik dengan
Suara gaun yang dirobek oleh Mark, mendominasi ruangan VIP di hotel yang akan digunakan mereka untuk mengarungi lautan nàfsu. Mata sayu Mark memancarkan api bìrahi yang siap melahap tubuh mòleknya Karin. Karin yang sedikit terkejut dengan aksi Mark yang merobek gaunnya hanya tersenyum simpul sampil mempersiapkan hatinya karena hampir satu bulan, ia tidak melakukan hubungan badan dengan lawan jènis. Mark sudah kalap, melihat keindahan tubuh Karin menaikkan level hormon kelelakiannya. Ia lalu mengangkat tubuh Karin lalu membantingnya ke atas ranjang. Mark yg kesadarannya sudah dipengaruhi oleh alkohol sudah tidak bisa mengendalikan kewarasannya. Tanpa menunggu Karin untuk sedikit bernapas, Mark langsung menerjang Karin setelah ia melucuti seluruh bajunya. Bagaikan singa yang kelaparan, Mark melampiaskan nàfsunya. Karin yang biasanya selalu mendèsah ketika melakukan kontak fisik dengan lawan jènisnya, kini harus menjerit karena Mark melakukannya dengan kasar. Karin tidak merasakan nìk
"Membawaku ke Amerika?" Karin menganga mendengar perkataan Mark. "Yeah, I want you to be my queen, beautiful." Mark mencubit hidung mancung Karin. "But …? No excuse!" Mark sudah mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. Ia ingin menikmati bibir ranum milik Karin yang sangat menggoda hasratnya. Pintu terbuka apartemen terbuka. "Ups sorry," Tata muncul ketika pintu terbuka dari dalam. Ia langsung berbalik arah dan kembali masuk ke dalam apartemen. Mark menghentikan langkahnya untuk keluar dari apartemen. "Your friend?" "Yup aku nggak punya rumah, sekarang numpang di apartemen temanku." "Besok aku akan membelikan apartemen untukmu. So kamu nggak usah numpang lagi." "Eh jangan, nggak usah!" Karin yang biasanya matre menolak maksud baik dari Mark. "Besok aku akan menjemputmu jam delapan pagi." Mark mendorong tubuh Karin untuk masuk. "Bye see you tomorrow." Mark meninggalkan Karin yang mematung. "Wow black card, mimpi apa lo semalem?" Tata langsung keluar dari tempat persembunyiannya.
"Mark …!" Karin terkejut setengah mati, orang yang sedang dihindari malah sudah berada tepat di hadapannya. "Beautiful, kenapa menghindar? Apa maksudmu dengan mengembalikan kartu ini?" Mark memicingkan matanya. Tidak sulit untuk menemukan Karin, orang suruhannya dengan mudah mencarinya karena mereka punya jaringan dengan preman penguasa Ibu Kota. "M-Mark, a-aku …." Karin ketakutan sampai seluruh tubuhnya bergetar, suaranya terdengar lirih dan terbata-bata. "Hey beautiful, I like you." Mark langsung berlutut di depan Karin, ia bersimpuh sambil memegang kaki Karin. Pengunjung kafe di mall langsung mengerubungi Mark dan Karin, bahkan beberapa orang ada yang mengambil photo dan video. Karin menoleh ke kanan dan ke kiri, ia merasa malu menjadi pusat perhatian pengunjung mall. "Beautiful, forgive me, hum …?" Mark memandang Karin dengan tatapan mengiba. Karin kebingungan dengan permintaan Mark yang tidak ingin ia terima. Namun pandangan pengunjung mall seakan menghakimi Karin yang masi
Risa diam tak bergeming, pikirannya kosong. Ia tidak menyangka kalau Al akan melamarnya secepat ini."Will you marry me, Risa Aulia?" Al berjalan mendekati Risa sedangkan anak-anak panti memberi jalan Al lalu melingkari mereka yang berada di tengah."Al …." Mata Risa berkaca-kaca, berbagai rasa berkecamuk dalam batinnya. Wanita manapun akan bahagia mendengar ajakan untuk menikah. Apalagi permintaan itu datangnya dari seorang berondong muda yang mempunyai berbagai kelebihan."Risa, will you …."~~~~~~~Bandung."Selamat
Delapan belas tahun telah berlalu, tapi pernikahan kedua Danu dan Risa semakin romantis. Walaupun umur keduanya tidak lagi muda. Seperti saat ini, di taman belakang saat sore hari, Danu dan Risa menghabiskan waktu bersama pada hari sabtu, minggu atau hari libur lainnya. Mereka akan duduk berdua sambil berpelukan dan bercerita keseharian mereka ketika tidak bersama. Danu akan bercerita keadaan kantor beserta permasalahannya dan Risa bercerita tentang keadaan rumah dan Satria. Bocah bule yang ditemukan di depan pintu yayasan sosial milik Risa itu kini tumbuh sebagai remaja tampan dan sangat aktif. Dingin di luar tapi sangat cerewet di saat-saat tertentu. Seperti saat ini, remaja tampan itu sudah menggoda kedua orang tua angkatnya dengan bercie-cie ria. "Astaga, kalian, mataku ternodai." goda Satria yang tiba-tiba muncul lalu mengolok kemesraan Danu dan Risa. "Kamu juga gitu, nanti, kalau udah ketemu cewek yang kamu suka." jawab Danu yang belum mau melepaskan pinggang istrinya. "Ish …
Hati Danu seakan ingin melompat dari dalam dadanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, takut jika yang dilihatnya adalah halusinasi. Dengan mencubit kulit di lengannya, laki-lski itu memastikan jika yang dilihatnya adalah kenyataan. "Mas Danu," panggil Risa lirih. "Mas." "Eh iya," Danu terlonjak dengan panggilan Risa. Ia bangun dari ranjang lalu mendekati Risa. "Sayang," Danu menangkup wajah Risa yang malam ini terlihat sangat cantik dengan sentuhan make-up minimalis. "Malam ini …?" Risa menganggukkan kepalanya yang disambut senyum lebar dari bibir tipisnya Danu. "Maaf, telah membuat Mas, menunggu lama." "Tidak apa, Mas rela menunggumu." Danu langsung memèluk tubuhnya Risa dengan erat sambil mengècupi puncak kepalanya. Ia menarik kedua tongkat yang menyangga tubuhnya Risa lalu mengangkat tubuh mungil itu ke atas rànjang. Dengan pelan-pelan, Danu membaringkan tubuh istrinya. Pandangan mereka bertemu, Risa tersipu malu ketika suaminya menatapnya dengan lekat. Tatapan mata itu
Risa kaget, ia tentu merasakan tonjolan itu. Ia juga paham jika Danu sedang terangsang. Salahnya, ia tergesa-gesa sehingga tidak sengaja terpeleset lalu mengakibatkan insiden yang tidak diinginkannya. "M-maaf," ucap Risa dengan malu-malu. Sebenarnya sudah satu bulan yang lalu ia sudah membuka hatinya untuk menerima kehadiran Danu seutuhnya sebagai seorang suami. Dirinya pun sudah siap jika suatu saat, Danu meminta haknya. Namun ia malu untuk mengatakannya, ketulusan Danu dan perhatiannya selama ini. Dapat Risa rasakan jika tidak pura-pura atau dibuat-buat. Ia juga bisa melihat, tatapan penuh cinta dari Danu selaku ditujukan padanya ketika mereka berhadapan. Jujur, ia sedikit minder dengan keadaan fisiknya yang cacat, yang hanya mempunyai satu kaki. "Oh, tidak apa, kamu baik-baik saja, sayang. Eh … R-ris," mulut Danu selaku gatal untuk memanggil istri tercintanya itu dengan sebutan sayang. "A-aku baik-baik saja, Dan." Risa tak kalah canggung. Posisi mereka dan keadaan dirinya yang ha
"Dan," panggil Risa setelah mendengar nama Karin. Saat ini mereka sedang berada di ruang makan untuk sarapan. "Ris, Karin, meninggal tadi malam di rumah sakit pusat rehabilitasi penyakit AIDS." jelas Danu, yang tahu jika Risa penasaran dengan panggilan telepon yang baru dijawabnya dan menyebutkan nama Karin. "Sebaiknya kamu cuti untuk menghadiri proses pemakamannya Karin. Bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupmu." ucap Risa tulus. "Ris, kamu …?" "Aku sudah memaafkannya, aku pikir, semua sudah takdir dari Tuhan." "Terima kasih, Ris." Danu tidak menyangka, Risa akan begitu mudah memaafkan kesalahan Karin yang begitu besar padanya di masa lampau. Hati wanita itu sangat baik."Aku tidak bisa ikut, kondisiku yang begini, tidak memungkinkan dan tidak ada yang mengurus Satria.""Benar, sebaiknya, kamu di rumah, jagain Satria." Danu pikir, keputusan itu sudah tepat demi kebaikan semua. "Sudah, sana cepat berangkat sebelum jalanan ramai, daripada terjebak macet nanti.
"Bagaimana bisa?" Risa terperangah mendengar pengakuan dosa dari Karin. Seketika dadanya terasa sesak, Papa yang sangat dicintainya meninggal gara-gara mantan madunya."Maafkan aku, Ris, aku ….""Katakan padaku, bagaimana, Papa, bisa meninggal?" titah Risa."Setelah kelahiran Satria, Mas Danu, mulai menjauhiku. Dia memutuskan untuk meninggalkanku demi Satria. Ia merasa bersalah dengan keadaan Satria yang mengidap penyakit gagal jantung. Mas Danu merasa, semua karena kesalahannya. Sewaktu, kamu, mengandung, Mas Danu tidak memperhatikanmu karena sibuk mengurusku. Ia ingin menebus kesalahannya dengan merawat Satria dan meninggalkanku.""Aku yang sudah terbiasa mendapatkan perhatian dan uang jajan darinya. Merasa
Mereka saling berpandangan.Danu mengerjap beberapa kali karena tidak percaya melihat kehadiran Karin di depan matanya. Mantan istri sirinya yang dulu terlihat sangat cantik dan sèksi itu sekarang terlihat layu. Karin memakai kaos dan celana training panjang yang menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Pakaian ketat yang sudah menjadi ciri khasnya tak terlihat hari ini. Mukanya kusam tanpa make up, kulitnya tampak kering tidak seperti dulu yang terlihat glowing dan terawat."Mas Danu ….""K-karin."Karin langsung bersimpuh dihadapan Danu."Ada apa? Jangan begini, malu dilihat orang." Danu beringsut mundur ke belakang."Mas, Mas Danu, tolong aku." tangis Karin mulai pecah.
"Oh ya …," Mata Karin terbelalak namun kemudian berubah sendu. "Syukurlah kalau mereka bersama lagi." "Apa maksud Lo?" "Gue yang jadi duri di pernikahan mereka." jawab Karin dengan lemah. "Rin, cerita dong, ada apa sebenarnya sama Elo? Setiap rumah sakit Elo datangi. Sebenarnya Elo sakit apa?" tanya Sisi. "Atau bener, Elo hamil? Siapa bapaknya, biar kita berdua yang datangi minta pertanggung jawaban." Kali ini Tata angkat bicara. Karin hanya menggeleng. "Terus ngapain Elo nolak tawaran untuk jadi sugar babynya Tuan Adrian?" Sisi keheranan. "Sampai kapan Elo hidup menderita, tinggal di kontrakan sempit ini sedangkan mantan suami
Keesokan harinya.Sesuai kesepakatan bersama, pernikahan Risa dan Danu untuk yang kedua kalinya akan dilaksanakan di KUA secara sederhana sesuai dengan permintaan Risa. Tadinya Sinta tidak setuju. Bagaimanapun Sinta ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan dari kalangan staf panti dan keluarga. Namun Risa yang bersikeras menolak, membuat Sinta tidak berani memaksakan kehendaknya. Setidaknya ia berhasil memaksa Risa untuk memakai kebaya pengantin berwarna putih. Agar terlihat lebih sacral di hari penting ini."Sudah siap!" Sinta menyembulkan kepalanya dari balik pintu."Sedikit lagi, Bu." jawab sang make up artis yang disewa oleh Sinta."Oke, teruskan saja, Mbak. Saya tunggu di sini." Sinta mengambil kursi lalu duduk tidak jauh dari Risa. Ia memandang Risa yang sedang disa
Satu bulan kemudian."Bagaimana? Nggak mungkin kamu terus- terusan menggantung perasaan mereka, Ris?" Sinta yang sedang menimang Satria, menanyakan keputusannya tentang dua lamaran dari dua orang yang berbeda.Risa diam, bimbang dengan pilihannya."Kamu juga harus memikirkan Satria, jika kamu sudah memutuskan untuk merawatnya. Harus menyiapkan juga lingkungan pendukung untuk tumbuh kembangnya. Bukan hanya harta, tapi kelengkapan sebuah keluarga yang akan membentuk kesehatan psikisnya. Seorang anak memerlukan poker lengkap,seorang Ayah dan ibu yang akan menjadi panutan sekaligus pelindungnya. Kasih sayang dari dua orang tua, jauh lebih baik dibandingkan dengan seorang single parents. Kamu sendiri sudah pernah merasakannya, bukan?""Iya, Ma, aku tahu." Risa menatap lekat S