"Izinkan aku untuk mengejarmu, Ris!" Al meraih tangan Risa lalu menggenggamnya erat."Pak …." Risa menarik tangannya lalu membereskan piring dan gelas yang sudah kotor. Ia menghindari Al dengan mencuci piring, gelas serta wajan dan spatula yang ia gunakan untuk memasak tadi. Al mulai gelisah ketika Risa menjauhinya. Raut muka murung yang terlihat di wajah Risa membuat Al merasakan hatinya sakit. Al berjalan menyusul Risa lalu berhenti di pintu dapur memandang Risa yang sedang mencuci peralatan masak.Selesai mencuci, Risa mengelap tangannya hingga bersih lalu berjalan mendekati Al. "Aku mau ngomong sama kamu." Sebersit senyum muncul di bibir tipis Al. Risa berjalan diikuti oleh Al dari belakang. "Silakan duduk." Mereka duduk berhadapan, Al memperhatikan wajah Risa yang terlihat sedang berpikir. Dengan sabar ia menunggu Risa untuk bersuara. "Kamu tahu masa laluku?" Risa memandang lekat kepada lelaki muda yang memiliki wajah tampan itu. "Tahu." Jawaban Al sangat singkat."Aku rasa,
Raut wajah Risa berubah muram. Danu berlari setelah Al memanggilnya. "Iya pak," Danu membeku melihat Risa yang sedang dirangkul oleh Al dengan sangat mesra. "Cantik kan, Bang?" "Eh, C-cantik sekali, Pak." Kata-kata Danu seperti tersangkut di tenggorokan. "Tentu dong, seleraku pasti yang high class kayak gini. Imut, cantik dan baik hati. Masak juga pinter." Al membanggakan Risa di depan kedua orang tuanya dan Danu. "Bener Al, calon menantu Mama pinter masak?" tanya Sinta."Iya dong, Ma. Kemarin malam, Al makan nasi goreng buatan Risa. Skill Mama kalah jauh. Ya kan, Sayang?" Al menoleh kepada Risa."Ish, jangan ngejelekin Mama kamu dong, Al." El Barak menepuk pundak Al. "Biar Mama intropeksi diri, Pa." Al mencolek lengan Mamanya."Iya, iya Mama sadar, Mama akan lebih giat lagi berlatih biar nggak malu-maluin. Ngomong-omong kapan kamu dimasakin sama Risa?" "Kemarin malam, Al mampir kerumahnya." Risa dan Danu sama-sama merasakan suasana yang tidak nyaman. Untuk Risa, bertemu kemba
"Danu!" Risa kaget melihat Danu yang meringkuk kesakitan. Naluri kemanusiaanya langsung tersentuh. Tidak peduli seberapa dalam ia disakiti oleh Danu. Namum Risa harus menolongnya sebagai sesama manusia. Risa mencari bantuan untuk memapah Danu ke ruang Unit Gawat Darurat. Tapi sudah lima menit tidak ada satu pun orang yang melintas. Dengan terpaksa ia membangunkan Danu. "Dan, bangun Dan. Kamu harus periksa." Risa menepuk-nepuk pundak Danu. Danu membuka matanya. "R-Risa." "Ya ini aku, bangun! Aku nggak kuat untuk memapahmu, kamu harus periksa sekarang." "Nggak usah, cuma sakit ringan, Ris." Danu merasa tidak enak. "Jangan keras kepala. Kamu sakit, secepatnya harus diobati. Mamanya Al sudah berpesan padaku untuk memperhatikanmu." "Maaf," dengan perlahan Danu mengubah posisinya menjadi duduk. Risa mengulurkan tangannya lalu dengan sekuat tenaga menarik tangan Danu. Tubuh Danu sedikit oleng. Namun ia berusaha untuk tegak berdiri. "Ayo!" Risa menyuruhnya berjalan. Untuk sekilas D
"Mantan suami? Oh Tuhan … dunia memang selebar daun kelor. Semua terjadi atas kehendak-Mu. Ternyata akulah orang yang menjadi perantara untuk mereka bertemu." Al mengusap wajahnya kasar. Perasaannya menjadi tidak tenang ketika Risa berpamitan mengantarkan bubur untuk Danu. Al berpamitan kepada papa dan mamanya dengan alasan membeli permen di kantin rumah sakit karena mulutnya terasa pahit efek dari antibiotik yang diminumnya. Inilah cara Tuhan menunjukkan identitas Danu yang sebenarnya. Pintu terbuka, Al segera berpura-pura berjalan dari arah kantin. "Al, kok di sini, dari mana?" Risa terkejut melihat Al yang berada di ujung koridor. "Mulutku pahit, aku ingin makan permen." dusta Al. "Kenapa nggak telepon aku aja, Al?" Risa cemberut. "Kamu masih lemas gitu." "Entar kamu kecapek'an, Ris. Lagian suntuk di dalam kamar. Pengen cari udara segar." "Tapi kan ada Papa dan Mama. Masak ditinggalin begitu saja, kasihan mereka jauh-jauh kesini nengokin kamu." Risa mendekat lalu menuntun Al.
Malam harinya Karin sudah bersiap dengan dandanan make-up yang sempurna. Ia bertekad harus bisa mendapatkan mangsa baru demi kelanjutan hidup mapan tanpa harus susah payah bekerja. Ditemani Tata, Karin meluncur ke sebuah klub malam elit di kawasan Jakarta Selatan. "Bagaimana penampilan gue, Ta?" Karin tak henti-hentinya berkaca memeriksa make-up di wajahnya. "Sempurna, gaun terusan ini pas melekat di tubuh elo. Terlihat sèksi dan menarik, apalagi depan belakang berisi semua, Rin." Tata berkata jujur, tubuh Karin yang tinggi semampai sangat proporsional. Berisi di bagian yang tepat, sehingga gaun séksi yang ia kenakan semakin terlihat sempurna. "Kalau gitu, gue semakin yakin nanti malam bakal nyantol kelas kakap." Karin mengibaskan rambut pirangnya hasil dari pewarnaan salon kecantikan terkenal. "Sip deh, kalau elo punya semangat yang tinggi." Tata semakin bersemangat memberi motivasi kepada Karin agar gadis itu tidak menginap lagi di apartemennya. Tata memang bersahabat baik dengan
Suara gaun yang dirobek oleh Mark, mendominasi ruangan VIP di hotel yang akan digunakan mereka untuk mengarungi lautan nàfsu. Mata sayu Mark memancarkan api bìrahi yang siap melahap tubuh mòleknya Karin. Karin yang sedikit terkejut dengan aksi Mark yang merobek gaunnya hanya tersenyum simpul sampil mempersiapkan hatinya karena hampir satu bulan, ia tidak melakukan hubungan badan dengan lawan jènis. Mark sudah kalap, melihat keindahan tubuh Karin menaikkan level hormon kelelakiannya. Ia lalu mengangkat tubuh Karin lalu membantingnya ke atas ranjang. Mark yg kesadarannya sudah dipengaruhi oleh alkohol sudah tidak bisa mengendalikan kewarasannya. Tanpa menunggu Karin untuk sedikit bernapas, Mark langsung menerjang Karin setelah ia melucuti seluruh bajunya. Bagaikan singa yang kelaparan, Mark melampiaskan nàfsunya. Karin yang biasanya selalu mendèsah ketika melakukan kontak fisik dengan lawan jènisnya, kini harus menjerit karena Mark melakukannya dengan kasar. Karin tidak merasakan nìk
"Membawaku ke Amerika?" Karin menganga mendengar perkataan Mark. "Yeah, I want you to be my queen, beautiful." Mark mencubit hidung mancung Karin. "But …? No excuse!" Mark sudah mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. Ia ingin menikmati bibir ranum milik Karin yang sangat menggoda hasratnya. Pintu terbuka apartemen terbuka. "Ups sorry," Tata muncul ketika pintu terbuka dari dalam. Ia langsung berbalik arah dan kembali masuk ke dalam apartemen. Mark menghentikan langkahnya untuk keluar dari apartemen. "Your friend?" "Yup aku nggak punya rumah, sekarang numpang di apartemen temanku." "Besok aku akan membelikan apartemen untukmu. So kamu nggak usah numpang lagi." "Eh jangan, nggak usah!" Karin yang biasanya matre menolak maksud baik dari Mark. "Besok aku akan menjemputmu jam delapan pagi." Mark mendorong tubuh Karin untuk masuk. "Bye see you tomorrow." Mark meninggalkan Karin yang mematung. "Wow black card, mimpi apa lo semalem?" Tata langsung keluar dari tempat persembunyiannya.
"Mark …!" Karin terkejut setengah mati, orang yang sedang dihindari malah sudah berada tepat di hadapannya. "Beautiful, kenapa menghindar? Apa maksudmu dengan mengembalikan kartu ini?" Mark memicingkan matanya. Tidak sulit untuk menemukan Karin, orang suruhannya dengan mudah mencarinya karena mereka punya jaringan dengan preman penguasa Ibu Kota. "M-Mark, a-aku …." Karin ketakutan sampai seluruh tubuhnya bergetar, suaranya terdengar lirih dan terbata-bata. "Hey beautiful, I like you." Mark langsung berlutut di depan Karin, ia bersimpuh sambil memegang kaki Karin. Pengunjung kafe di mall langsung mengerubungi Mark dan Karin, bahkan beberapa orang ada yang mengambil photo dan video. Karin menoleh ke kanan dan ke kiri, ia merasa malu menjadi pusat perhatian pengunjung mall. "Beautiful, forgive me, hum …?" Mark memandang Karin dengan tatapan mengiba. Karin kebingungan dengan permintaan Mark yang tidak ingin ia terima. Namun pandangan pengunjung mall seakan menghakimi Karin yang masi