Davin berangkat kerja bersama Lia, dan kali ini mereka tak lagi menitipkan anak itu karena Amel mengusulkan untuk menjaga cucunya sendiri. Wanita paruh baya tidak keberatan, dan justru dia senang karena ada kegiatan serta bisa menghabiskan waktu dengan sang cucu.Namun kali ini tak seperti yang biasa dilakukan Davin, dia mengemudikan mobilnya tanpa sengaja berhenti di tengah jalan untuk menurunkan Lia sama sekali."Berhenti!" Tiba-tiba Lia yang justru mengatakan hal demikian.Davin mengerutkan keningnya bingung, tapi saat menemukan indomaret di tepi jalan pria itu berpikir Lia ingin mampir ke sana sebentar. Sehingga pria itupun menurut dan menepikan mobilnya.Namun alih-alih masuk ke indomaret setelah turun dari mobil, Lia malah menghampiri ojek dan naik itu secara tak terduga. Davin syok dan tak percaya, tapi di saat yang sama karena dia tak ikut keluar, Davin jadi tak bisa mencegah Lia."Sial!!" geram Davin mengumpat dengan keras. "Apa yang diinginkan wanita itu? Beraninya dia melak
Lia memaksakan diri untuk pulang dari rumah sakit hari itu juga, tanpa siapapun yang bisa melarangnya termasuk Dokter. Davin sungguh sangat kesal karenanya, tapi dia pun tak berdaya melawan keras kepalanya Lia. Bukannya diam saja tanpa mencegah, Davin bahkan sudah mengancam dan mengomeli Lia habis-habisan, tapi hasilnya percuma saja."Kamu di mana?!" tanya Davin panik saat menemukan kamar Lia kosong. Tentu saja karena wanita itu sudah kabur."Di rumah," jawab Lia dengan suara menahan sakit.Davin menghela nafasnya kasar, dia sedikit lega, tapi di saat yang bersamaan juga dia menjadi lebih khawatir. Wanita itu baru saja mengalami kecelakaan, entah bagaimana kronologi lengkapnya, tapi saat Davin menemukannya di rumah sakit, kepalanya sudah diperban dan dari siku sampai pergelangan tangan ada luka memar yang disertai lebam yang membiru.Lalu yang katanya mau beristirahat, tapi saat Davin meninggalkannya sebentar untuk kepentingan yang mendesak, ketika kembali Davin malah tak menemukan Li
Amel menemui Lia di kamarnya dan membawakan sesuatu untuk dimakan sebelum minum obat. Meletakkannya di nakas, lalu saat menyadari waktunya sudah tepat untuk makan Amel dengan ragu membangunkan Lia.“Bangunlah sayang, Mama bawakan makanan dan juga obatmu,” ujar Amel sambil mengusap ringan bahu menantunya.Tak butuh lama, Lia pun bangun dan menemukan ibu mertuanya di sana. “Aku bisa sendiri,” ujar Lia saat Amel hendak membantu duduk.Wanita itu memang sedikit meringis kesakitan, wajar saja karena mana mungkin baru saja kecelakaan, meski sudah berobat, tapi langsung sembuh. Dia masih merasa tubuhnya remuk dan persendiannya ngilu. Sekarang Lia bahkan merasa dirinya akan demam.“Kamu baik-baik saja, Nak. Atau mau Mama memanggilkan dokter?” tanya Amel perhatian."Tidak perlu dan tolonglah Mama jangan memanjakan aku seperti dulu, aku sudah biasa sendiri dan ah ya yang harus Mama tahu juga, aku juga tidak akan bertahan lama menjadi cucu Mama!" tegas Lia membuat Amel bingung.“Apa maksudmu Lia
Lia sudah kembali kerja, dan hari ini adalah hari dirinya gajian untuk yang ke beberapa kali. Lia sebetulnya sudah tak memperdulikan itu, karena dia tak perlu khawatir soal kehidupan Raka. Ada Davin yang menghidupinya sekarang, tapi Lia juga tak bisa diam saja melihat nominal yang tak masuk akal di sana.Blam!Lia dengan sedikit kasar dan tanpa babibu masuk ke ruang kerja suaminya. Davin yang kebetulan sedang di mejanya, terkejut dan bingung melihatnya."Ada apa lagi Lia? Kalau soal Raka, kau jangan berharap, sebelum aku mendapatkan sesuatu darimu aku tidak akan memberitahu ke mana dia dan mama pergi!" ujar Davin sambil menyandar pada singgasananya, lalu menatap datar Lia.Namun bukan itu yang Lia tuntut sekarang, melainkan hal lain. Dia sungguh tak terima dengan gajinya. "Aku akan mencarinya sendiri jika begitu, tapi Pak Davin apakah anda masih waras sampai memberikan gajiku di luar nalar. Bulan pertama aku masih sabar, jumlah masih lumayan walaupun sudah kamu potong 50 persen tanpa
Perasaan Lia tidak bisa tenang sejak mengetahui kebenarannya, kalau sebenarnya Davin sudah mengetahuinya sejak lama kanak-kanak. Kalau berpikir lagi, pantas saja pria itu selama ini sangat peduli pada Raka, rupanya itu bukan hanya ikatan batin, tapi juga pengetahuan pria itu.Mengingat hal itu, Lia jadi kalut dan terus berpikir. Kini jangankan makan yang sudah tak teratur, tapi waktu tidurnya pun sudah berantakan. Kecemasan merusaknya dan Lia terlihat berantakan.Klak!Davin masuk ke kamar dan menatap Lia selama beberapa waktu. "Aku tidak bisa melepasmu, maksudku sampai kapanpun kau harus menjadi sekretarisku, tapi sebaliknya tugasmu tidak akan sepadat yang sebelumnya. Kau akan lebih senggang mulai sekarang."Lia menoleh dan segera mengerutkan dahinya sambil menatap ke arahnya. "Apa yang kamu inginkan sebagai gantinya. Aku yakin itu tak gratis bukan?!" ujar Lia cukup sarkas.Davin tersenyum, tersenyum licik lalu mengangguk. "Tepat sekali. Cerdas sekali, Lia!" puji Pria itu, tapi malah
Lia mendesah kasar melihat hasil tes kehamilan yang dia miliki. Sesungguhnya dia benar hamil dan bukan menderita sakit maag. Menarik laci di meja riasnya kemudian kembali menyimpannya."Dulu aku susah sekali hamil walau sudah berobat kesana kemari, tapi sekarang disaat segalanya sudah berubah kenapa aku mudah hamil. Aku ingat bahkan selalu mengonsumsi obat pencegah kehamilan kok?" Lia sedikit bingung, meski kemudian karena tak punya pilihan diapun menerima segalanya.Beranjak dari sana Lia segera menuju ke dapur untuk memasak. Dia tak bisa tenang karena selalu kepikiran Raka dan merindukan anaknya itu."Iya anak Papa yang sangat ganteng, nanti Papa kesana, ya? Kamu jangan sedih terus, oke?!" Davin sedang video call di ruang tengah, dan Lia yang lewat sana melihatnya.Wanita itu mendekat, tapi saat Davin menyadari kehadirannya. Pria itu langsung pamit pada sang buah hatinya dan menutup videocall-nya."Keterlaluan!" umpat Lia kelepasan kesal. "Aku juga ingin ketemu anakku, Mas!!""Lalu
Lia menghadang Davin yang baru pulang. Entah mengapa dia yang kesal karena suaminya tiba-tiba tidak kelihatan di kantor atau di rumah seharian membuatnya seberani itu."Dari mana?" tanya Lia sambil menatap tajam.Davin kaget dan menatap Lia dengan tak percaya, tapi kemudian dia malah mendekat dan mengangkat dagu Lia ke atas. "Kamu merindukanku sayang?"Davin mengecup Lia dan wanita itu tak menolak, meski kemudian mengusap bibirnya dan menatap Davin dengan tatapan yang semakin tajam."Aku tanya dari mana?!" kali ini nada suara Lia meninggi.Davin masih saja tak langsung menjawab dan malah mendengus dihadapan Lia. Pria itu segera merangkul pinggang Lia lalu mengikis jarak diantara mereka. "Sepertinya kau memang merindukanmu aku, baiklah ayo kota tuntaskan kerinduanmu!"Lia segera waspada dan mendorong dada Davin dengan keras. Entah mengapa dia masih ngotot ingin tahu, tapi disaat yang sama dia sudah muak meladeni Davin."Oke, tidak mau memberitahu ya! Baiklah Mas Davin, tak masalah, tap
Lia mendesah kasar karena kecewa. Davin masih bungkam soal kemana dia seharian. Pria itu bahkan tampak acuh dan tidak peduli, dan hal itulah yang membuat Lia uring-uringan tak jelas.Anehnya sejak hamil anak kedua ada perasaan aneh yang membuatnya posesif pada pria kejam itu, dan sebetulnya Lia pun heran dengan dirinya sendiri."Apa aku mengalami penyimpangan, suka disiksa sampai berpikiran seperti itu. Tidak rela jika bajing*n itu dengan wanita lain. Sial, bodoh sekali perasaanku!" Lia mendesah kasar. Pikirannya bertentangan dengan fakta itu, tapi ya bagaimana lagi kenyataannya memang begitu. "Aaarrggh ... kenapa jadi begini?"Sepanjang hari Lia tidak fokus pada pekerjaannya dan Davin berakhir mengomelinya. Namun kini bukan lagi perasaan sakit hati yang Lia rasakan, tapi jengkel luar biasa, sampai dirinya bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri."Kalau kamu merasa itu salah, kenapa tidak memperbaikinya sendiri. Bikin susah orang saja! Sudahlah, Pak. Aku pusing mendengarkan oc