"Eliza, hari ini ada jadwal apa?" tanya Reiz ketika baru saja membuka pintu ruangan lantai sepuluh.Reiz sontak menghentikan langkah. Bibirnya menyungging senyum, hatinya menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia bisa lupa, jika Eliza sedang mengambil cuti duka hari ini. Bahkan dia sendiri yang memberitahu Eliza kemarin.Reiz menggeleng pelan sambil menutup pintu, lalu kembali melangkah memasuki ruang kerjanya. Di kursi kebesarannya, Reiz melakukan rutinitas paginya. Memeriksa beberapa dokumen yang sudah Eliza kerjakan sebelum dia pulang kemarin. "Dia sangat berbakat," gumam Reiz ketika memeriksa setiap detil pekerjaan yang diberikan padanya. Seharian ini Reiz akan menghabiskan waktu dengan bekerja di ruangannya. Persiapan acara grand launching aplikasi digital sudah 99 persen. Semua biaya anggaran juga telah terhitung rapi di pembukuan yang dikerjakan Eliza dan siap dilaporkan pada sang kakak.Kring-kring!Reiz mengambil gagang telepon dan menjawab panggilan. "Halo?""Apakah persia
"Bos Besar?" Eliza sangat terkejut melihat kemunculan bos besarnya secara tiba-tiba. Eliza langsung berdiri untuk memberi hormat. "Selamat sore, Bos. Apa yang sedang Bos lakukan disini?" Tatapan Vico masih tajam, bola matanya mengerling melirik ke arah paper bag yang berisi belanjaan Eliza. Vico tersenyum sinis. Dari bahasa tubuhnya, dia menampakkan dengan jelas tengah menuduh Eliza berfoya-foya dengan uang sumbangan yang diberikan perusahaannya berdasarkan ide sang adik."Apa kamu tidak merasa berdosa, menggunakan uang sumbangan untuk memenuhi keinginanmu seperti ini?" "Bos, ini tidak seperti yang Bos pikirkan," jawab Eliza cepat. Eliza ingin berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya, namun lidah Eliza seolah kelu. Eliza merasa malu untuk mengatakan bahwa semua yang dia beli akan dia sumbangkan. Bagi Eliza, pantang baginya untuk memamerkan kegiatan donasinya. Namun Eliza merasa bimbang, jika dirinya tidak menjelaskannya, maka bos besarnya itu pasti menuduhnya telah korupsi uang sum
"Mau pergi kemana dia?" gumam Vico yang masih fokus dan tidak melepaskan pandangannya pada mobil yang Eliza kendarai. Vico berusaha agar tidak kehilangan jejak, namun dia harus tetap berhati-hati agar tidak ketahuan bahwa dirinya sedang membuntuti mobil mereka. "Lihat saja, Reiz. Aku akan menunjukkan siapa sekretaris yang kamu bangga-banggakan itu sesungguhnya. Dan kamu pasti akan berterima kasih padaku nanti," gumam Vico yang kemudian tersenyum miring dan meningkatkan fokusnya mengejar mobil mewah hitam milik Susan. Setelah hampir satu jam Vico membuntuti, mereka berhenti juga di sebuah bangunan yang baru pertama kali Vico lihat. Vico memarkirkan mobilnya berjarak sekitar seratus meter dari mereka. Berjajar dengan mobil milik orang sekitar yang juga sedang parkir disana. Vico meraih kacamata hitamnya, dan mengenakannya agar tidak terlihat jelas dari luar. Dari dalam Vico mengamati Eliza dan Susan yang mulai keluar dari mobil. Sementara Susan menunggu di belakang bagasi, Eliza se
GLEK.Vico terhenyak kala Reiz membuka pintu ruangannya. Sudah beberapa kali Reiz mengetuk bahkan memencet bel ruangan sang kakak. Namun Vico yang pikirannya sedang melamun entah kemana menjadi tuli."Pagi, Kak. Apa yang sedang kau pikirkan sampai kamu tidak mendengar aku mengetuk pintu?" tanya Reiz penasaran sambil duduk di kursi yang tersedia di hadapan Vico. Vico membenarkan posisi duduknya yang sedikit miring, menjadi lebih tegak dan berwibawa. Dia tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaan sang adik. Saat ini kepalanya dipenuhi dengan ingatan kemarin, ketika dirinya menghujani Eliza dengan kalimat-kalimat yang kejam. Namun, bukankah biasanya dia juga berkata kejam pada karyawan lainnya yang tidak beres dalam pekerjaan? Tapi ini berbeda. Dia sudah memfitnah karyawannya sendiri terang-terangan di muka umum. Eliza pasti sangat malu saat itu. Dan sekarang, Vico sedang berpikir bagaimana cara membersihkan namanya agar mampu bertatap mata dengan Eliza. "Kak?" panggil Reiz sekali l
"Woaaaah... ini tampak lezat. Aku tidak sabar El," kagum Susan ketika Eliza menyajikan sepiring steak di hadapannya. Asap masih mengepul keluar dari steak tersebut. Aroma kelezatan menyeruak menyelami indra penciuman Susan, yang membuat perutnya seketika menggila dan ingin dipuaskan.Eliza yang kembali ke meja dengan membawa sepiring steak miliknya duduk untuk menyantap sarapan bersama. "Makanlah."Susan tersenyum lebar dan langsung memotong steak tersebut menjadi seukuran dadu dan menyuapkan ke mulutnya. "Mmmmm.."Susan mengunyah steak sambil memejamkan kedua matanya. Rasa juicy dari daging wagyu a5 memenuhi mulutnya."Rasanya seperti mau menangis." Ya, Susan memang selalu ekspresif dan berlebihan dalam mengungkapkan sesuatu. Tapi itu lah dia, berkata dengan kejujuran hatinya.Eliza hanya tersenyum menyaksikan Susan yang sudah seperti setahun tidak makan enak. Padahal, jika dia mau dia dengan mudah bisa memesan makanan enak secara delivery. "Bukankah lebih enak steak di restoran c
"Halo. Eliza?""Halo Bos. Maaf, saya tadi tidak tahu kalau Anda menghubungi saya. Seharian ini saya tidak memegang ponsel." Eliza yang merasa takut akan bosnya yang mungkin merasa kecewa langsung membuat rentetan penjelasan."Tidak, sayalah yang seharusnya minta maaf. Saya telah memberimu waktu cuti tapi saya malah mengganggumu. Maafkan saya.""Tidak Bos. Saya tidak merasa terganggu. Ngomong-ngomong, apa Bos sedang butuh bantuan saya?"Reiz tiba-tiba gelagapan untuk mencari alasan. Alasannya menghubungi Eliza tadi bukan karena ada sebuah pekerjaan yang urgent untuk dikerjakannya. Namun, ada rasa yang dinamakan rindu telah menyelimuti hatinya. Reiz tahu itu tidak masuk akal. Bisa disebut cinta pandangan pertama mungkin. Namun Reiz pun tidak akan berkata jujur secepat itu. Dia khawatir, Eliza justru lari dan tidak bersedia bekerja bersamanya. "Ah ya. Aku tadi hanya ingin memberitahu bahwa malam ini ada pesta grand launching aplikasi perusahaan kita. Awalnya aku ingin hadir bersamamu se
"Sangat cantik," ucap Reiz tanpa sadar. "Ya?" Eliza yang mendengar samar memperjelas ucapan bosnya sambil mengangkat kedua alisnya. Reiz tersenyum. "Anting-antingmu sangat cantik. Apa kau baru membelinya?" tanya Reiz sambil sedikit memiringkan kepalanya menatap anting permata yang menggantung di daun telinga Eliza."Ah antingnya ini? Sahabatku memberikannya untukku sebagai hadiah ulang tahun," kenang Eliza setahun lalu. Kala Susan memberikan kejutan yang luar biasa. Sebuah anting berlian yang sampai saat ini Eliza pertahankan meskipun dalam keadaan terjepit, Eliza bertekad untuk tidak menjualnya. Karena bukan hanya hadiahnya yang bernilai, yang utama adalah siapa yang memberikannya. "Sahabat? Pasti kamu sangat spesial baginya." Reiz menegakkan kepalanya kembali. Perasaan sedikit kecewa menggelayuti hatinya. Namun Reiz segera ingat bahwa mereka akan terlambat ke acara jika tidak segera pergi.Reiz berbalik badan dan membukakan pintu mobil untuk Eliza. "Masuklah," ucap Reiz mempersila
'Kenapa Tuan Vico masih menatapku?' Eliza sudah sempat mengalihkan pandangan. Namun ketika kembali menatap ke arah Vico berada, pria itu masih disana dan juga masih menatapnya. Vico kemudian berlalu dan menyapa para tamu yang sudah antri untuk mengobrol dengannya. Eliza merasa lega, namun juga penasaran. 'Apa yang dia lihat dariku? Apa jangan-jangan, riasanku sangat jelek? Itu tidak mungkin, karena Susan yang meriasku. Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya."Eliza mengusir rasa penasarannya. Dan kembali berkonsentrasi untuk mendampingi tugas Reiz malam itu. Tiba waktunya untuk acara dimulai. Seorang master ceremony membuka acara dengan rentetan rundown yang telah disusun rapi.Acara dimulai dengan sambutan pidato dari sang CEO atau owner sekaligus pemimpin perusahaan, yaitu Vico Barbarossa."Mari kita beri tepuk tangan untuk Tuan Vico," ujar sang master ceremony diikuti oleh tepuk tangan semua orang yang hadir disana. Vico menaiki tangga yang disiapkan untuk menuju panggung. Seora