'Kenapa Tuan Vico masih menatapku?' Eliza sudah sempat mengalihkan pandangan. Namun ketika kembali menatap ke arah Vico berada, pria itu masih disana dan juga masih menatapnya. Vico kemudian berlalu dan menyapa para tamu yang sudah antri untuk mengobrol dengannya. Eliza merasa lega, namun juga penasaran. 'Apa yang dia lihat dariku? Apa jangan-jangan, riasanku sangat jelek? Itu tidak mungkin, karena Susan yang meriasku. Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya."Eliza mengusir rasa penasarannya. Dan kembali berkonsentrasi untuk mendampingi tugas Reiz malam itu. Tiba waktunya untuk acara dimulai. Seorang master ceremony membuka acara dengan rentetan rundown yang telah disusun rapi.Acara dimulai dengan sambutan pidato dari sang CEO atau owner sekaligus pemimpin perusahaan, yaitu Vico Barbarossa."Mari kita beri tepuk tangan untuk Tuan Vico," ujar sang master ceremony diikuti oleh tepuk tangan semua orang yang hadir disana. Vico menaiki tangga yang disiapkan untuk menuju panggung. Seora
Vico yang sudah mengamati mereka dari tadi sontak menarik tangan Eliza mundur ke belakangnya. Tatapan tajamnya bagai elang yang penuh intimidasi, menatap mereka, menantang jika mereka masih berani menyentuh Eliza kembali. "Siapa kamu? Mau jadi jagoan?" kesal salah seorang pria itu yang gagal mendapatkan mangsanya."Bagaimana jika kalian tidur di dalam bui malam ini?" ucap Vico lugas dan membuat mereka merasa ciut seketika. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang sambil saling menatap satu sama lainnya. Vico mengambil ponselnya dan menekan nomor yang kemudian menunjukkan layar ponselnya pada sekumpulan pria hidung belang itu. Ya, nomor 911 adalah nomor darurat polisi. "Mereka akan langsung datang setelah mereka mengangkat panggilanku."Seorang pria yang sepertinya ketua gerombolan itu meneguk salivanya. Mereka saling menatap dan memberi isyarat untuk kabur. Mereka pun segera lari kocar kacir. Melihat penampilan Vico yang seperti bukan pria sembarangan, tentu saja mereka percaya den
Susan yang mendengar suara Eliza samar sedang mengoceh di luar pun membuka pintu. Namun betapa terkejutnya ia, kala melihat pemandangan dua insan yang sedang berciuman mesra."Oh My God!" kaget Susan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tidak mau mengganggu, Susan bergegas kembali ke dalam rumah dan menutup pintu perlahan. Susan sedikit membuka tirai jendela dan mengintip mereka dari dalam. "Bukankah dia pria menyebalkan waktu itu? Kenapa Eliza bisa berciuman dengannya?"Susan tentu terkejut. Mengetahui hubungan Eliza dan Vico yang merupakan bos besarnya kurang baik, namun malam ini tiba-tiba keduanya berciuman di depan pintu rumah. "Apa dia sudah gila?" Vico melepaskan bibirnya dari Eliza. Menatap wajah cantik Eliza dengan menyungging senyum. "Mulai malam ini, kamu milikku." Vico tidak membutuhkan persetujuan Eliza untuk ucapannya. Eliza yang mabuk berat hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.Vico kembali meraih dagu Eliza dan mengecup beberapa kali lagi dengan kec
"Menginginkannya? Apa maksudnya? Bahkan kaulah yang menolak Eliza mentah-mentah dan memandangnya sebelah mata kala itu. Kau juga yang berkata hanya mau menerima seseorang yang berpendidikan tinggi, minimal lulusan universitas ternama di negara ini dengan nilai cumlaude." Reiz merasa tidak terima dengan pernyataan kakaknya barusan."Ya, aku sadar aku terlalu berlebihan dalam menerapkan standarisasi seseorang. Dan aku menyesal. Maka dari itu aku akan memberikannya kesempatan untuk mendampingiku sebagai sekretaris, juga asisten pribadiku."Reiz bergeming. Kepalanya masih berusaha berpikir jernih untuk mengambil keputusan yang terbaik. Jika Eliza menjadi sekretaris kakaknya, maka peluang Eliza untuk mendapatkan gaji tinggi sangat mungkin. Serta pengalaman menjadi seorang sekretaris CEO akan sangat menunjang masa depan Eliza nantinya. Disisi lain, Reiz tidak merelakan Eliza jauh darinya. Selain rasa yang ada, Reiz juga sangat menyukai pekerjaan Eliza. Namun untuk langsung menolak permintaa
"Kenapa dia mengatakan hal yang mengerikan begitu?"Eliza tidak segera membalas pesan dari Vico. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Pulang bersama itu sesuatu yang mengerikan baginya. Bahkan hanya bertemu dengannya saja suasana horor seperti menyelimuti mereka. Sudah bisa dibayangkan jika mereka benar-benar pulang bersama. Tidak akan ada topik pembicaraan yang dapat menghangatkan suasana. Yang ada justru hawa dingin seperti musim salju di antartika. "Aduh. Aku harus membalas apa?" Drrrt......Panggilan telepon dari nomor itu membuat Eliza sontak menjatuh ponselnya ke meja. Eliza tidak langsung memungut ponselnya, ditatapnya layar ponsel yang tertera nomor milik sang CEO itu lumayan lama. Tidak ada pilihan. Eliza harus menjawab panggilan itu jika tidak ingin terkena masalah. Selain itu, tidak akan sopan jika dia berani mengabaikan panggilan Presdirnya bukan?"Ha-halo, Tuan?""Aku sudah menunggumu. Mobil ferrari biru tua parkir di blok A. Langsung saja masuk jika sud
Eliza ternganga mendengar ucapan sang CEO. Tidak mengetahui apa tujuan sang CEO mengatakan hal demikian. Tapi yang pasti, bosnya itu tidak akan main-main dengan ucapannya. Gleg.Eliza meneguk minumannya dan hanya menyimpan rasa penasarannya dalam hati. Dia tidak ingin mengorek lebih jauh dan akan menganggap kalimat barusan hanya angin lalu. ☆☆☆☆☆☆☆Mobil ferrari warna biru tua itu berhenti tepat di depan pagar rumah Eliza. Sebelum Eliza berpamitan, Eliza berusaha memberanikan diri untuk bertanya dari mana sang CEO mengetahui alamat rumahnya. Eliza mendehem untuk mengumpulkan keberanian. "Tuan, bolehkah saya bertanya sesuatu?" lirih Eliza sambil memberanikan diri menatap mata indah lawan bicaranya. "Tanyalah," jawab Vico dengan suara lembut tapi dalam. Suara yang berhasil membuat Eliza terpana sesaat sebelum mulai bertanya. "Dari mana Anda tahu alamat rumah saya?"Vico tersenyum simpul. Bukannya menjawab pertanyaan Eliza, Vico justru mengatakan hal lain yang membuat Eliza mengurungk
Mereka berdua memiliki pemikiran yang sama. Tulang Eliza lemas seketika. Jika itu benar, kalimat yang bosnya ucapkan itu artinya mereka telah memiliki hubungan spesial mulai malam itu. "Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjalin hubungan?" pertanyaan Susan yang penuh penekanan membuat Eliza semakin lemas. Seandainya Eliza mengiyakan, bukankah dia terlalu percaya diri? Sementara saat itu dia sedang tidak sadar sempurna. Namun, jika dia menepis hal itu, dia juga bukan orang bodoh yang tak bisa mencerna arti sebuah kalimat. "Huaaaaaaa…… Katakan kalau ini semua hanya mimpi Susan!" Eliza menyesal, seandainya dia tidak salah minum malam itu, mungkin dunia akan baik-baik saja. Bukannya malah semakin kacau seperti saat ini. Susan hanya menghela napas, merasa turut prihatin dengan apa yang Eliza alami. Namun jika dipikirkan sisi baiknya, Eliza telah memiliki kekasih seorang CEO dan itu akan membuat Eliza menjadi orang yang semakin dihormati. Susan tersenyum, turut senang kala membayangkan
Kepulangan Vico di rumah yang lebih tepat di sebuah mansion mewah itu disambut hangat oleh sang ibu. Liliana tampaknya sudah menyiapkan acara makan malam untuk keluarga. Reiz juga sudah duduk disana dan melihat ke arah Vico memasuki ruangan itu. Dalam benaknya, Reiz sempat bertanya-tanya kemanakah perginya sang kakak. Makan malam ini telah dikabarkan oleh sang ibu pada keduanya sejak tadi siang. Namun di grup keluarga yang hanya ada tiga orang anggota itu, Vico sama sekali tidak memberi tanggapan. Sedangkan Reiz yang masih memiliki hati lebih lembut dibanding sang kakak hanya memberikan reaksi berupa emoji like. "Hello Darling," sapa Liliana sambil memeluk Vico, meskipun putranya itu mengabaikannya. Vico segera menduduki kursi yang dimundurkan oleh seorang pelayan yang berdiri tidak jauh darinya. Liliana mengibaskan tangannya di udara, memberi isyarat untuk para pelayan pergi meninggalkan mereka bertiga saja. Ketiganya masih bergeming. Meja makan yang biasanya menjadi ruang favor
Disisi lain, Liliana tampak sedang serius memandangi perhiasan berlian-berlian yang dijejer di hadapannya. Sofa putih yang sangat nyaman itu berada di toko perhiasan berlian miliknya. Ia sedang memilih beberapa model untuk di display sebagai item keluaran terbaru, dan akan meminta pihak pengrajin untuk modifikasi jika ada yang kurang sesuai dengan harapannya."Yang tengah itu, letakkan di tempat yang paling eksklusif," perintah Liliana pada seorang pegawainya yang berdiri di dekatnya. Pegawai itu segera mengambil perhiasan yang ditunjuk dan meletakkan sesuai instruksi sang atasan. Liliana memandangi pegawainya itu dari sofa tempatnya duduk. Tiba-tiba seorang pria berusia 30 an berjalan mendekati Liliana. Pria itu sedikit membungkuk seolah membisikkan sesuatu di dekat daun telinga Liliana. Dia adalah Richard, orang kepercayaan Liliana yang ditugaskan untuk sebuah misi."Dia tinggal di rumah yang disewa bersama Nona Susan.""Rupanya mereka bersahabat baik," gumam Liliana merespon bisi
"Tadi kami ada sedikit urusan, dan kami mampir ke kafe ini untuk istirahat sebentar." "Be-benar, Bos," timpal Eliza dengan senyuman yang sedikit bergetar. "Urusan apa, kalau aku boleh tahu?" cecar Vico dengan tatapan menyelidik. Sepengetahuan dirinya, hari ini Reiz tidak memiliki jadwal meeting di luar, jadi tentu dirinya penasaran urusan apakah sebenarnya yang mereka miliki sampai harus hangout berdua di kafe untuk istirahat sebentar. Lirikan Vico menjelajah keluar kafe, dimana tepat di depan bangunan kafe itu ada sebuah hotel mewah. Kedua netranya terlihat menyeramkan kala melihat hotel itu. Sebelum Vico berperang dengan pikiran kotornya, Eliza langsung menginterupsi keadaan."Kami baru saja berkunjung ke makam ayah saya, Bos. Dan, Tuan Reiz telah berbaik hati mengantarkan saya berkunjung kesana."Vico terlihat terkejut, lalu melirik adiknya untuk memastikan ucapan kekasihnya itu. Reiz terkekeh kecil karena melihat sang kakak yang mudah curiga itu. "Benar apa yang kekasihmu kata
Eliza meletakkan dua buket bunga yang dibelinya dalam perjalanan tadi. Dia duduk disamping nisan ayahnya sambil beberapa kali mengusap. "Ayah, aku datang."Reiz yang mengenakan kacamata hitam itu berdiri tidak jauh dari Eliza. Eliza menoleh ke arah Reiz, lalu kembali menatap nama yang tertulis di makan itu. "Dia adalah bosku yang sangat baik, Ayah. Dia bahkan mengingat janjinya untuk membawaku menjenguk ayah."Di pusara sang ayah, Eliza mengirimkan doa-doa terbaiknya. Eliza juga sempat bercerita tentang isi hatinya dengan suara lirih agar Reiz tidak mendengarnya. Namun pendengaran tajam Reiz mampu menangkapnya, dan membuat pria itu tersenyum lembut.Tiba-tiba Reiz turut duduk berjongkok di samping Eliza. "Bos, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu lama bicara, sampai Anda kelelahan berdiri.""Tidak. Aku juga ingin bicara pada ayahmu."Eliza mengangkat kedua alisnya. Ingin dia bertanya apa maksudnya, tapi dia merasa lebih baik melihat saja. "Tuan, namaku adalah Reiz Barbarossa. Aku a
Matahari pagi mulai mengintip dan perlahan terbit. Bias cahayanya berebut menyelinap ke celah jendela kamar Eliza. Sentuhan hangat sinarnya membuat Eliza membuka matanya. Eliza menatap langit-langit kamar untuk beberapa detik. Dadanya langsung berdegup kala ia mengingat bahwa dia sedang tidak sendirian di ranjang. Eliza sontak menoleh ke samping kirinya. Bibir lembut Vico menjadi sorotan pertama yang membuat Eliza membulatkan mata.Setelah sepersekian detik Eliza puas memandang wajah tampan itu, bibirnya perlahan mengulas senyum. Dia merasa ini seperti mimpi, bahwa dirinya tengah menjalin hubungan yang nyata dengan sang presdir, yang diidamkan banyak wanita.Eliza tidak ingin membangunkan Vico. Dia beranjak perlahan ingin membersihkan diri. Namun, tiba-tiba tangan Eliza tertarik dan sontak membuat tubuhnya kembali rubuh diatas ranjang. "Apa kau ingin pergi begitu saja?" ujar Vico yang masih memejamkan mata. Dia masih ingin lebih lama disana bersama Eliza. Memeluk wanitanya selama mu
"Duduklah."Vico menarik Eliza perlahan untuk kembali ke kursinya. Eliza menurut dan tetap diam. Dia tidak ingin memperburuk keadaan dengan mengucapkan kata yang dapat memantik api dalam situasi ini.Liliana merasa percuma jika terus berdebat dengan Vico. Targetnya beralih untuk mencecar dan membuat mental Eliza jatuh, tentu agar gadis itu merasa kapok dan berhenti menjalin hubungan dengan putranya."Dari keluarga mana kamu berasal?"Eliza sontak menatap Liliana, tatapannya seperti awan yang mendung. Namun Liliana masih menatapnya nanar menunggu jawaban. "Di Universitas apa kamu belajar?"Eliza semakin bingung saja, sungguh ini lebih merepotkan dan menegangkan daripada interview kerja dengan Vico saat itu. "Dan…apa pekerjaan ayahmu?"Deg. "Cukup!" Vico langsung memotong pembicaraan sang ibu sebelum muncul pertanyaan lainnya. Liliana yang merasa tidak terima langsung melotot menatap tajam putranya. "Ibu sedang bicara dengan gadis itu. Tunjukkan sikap sopan santun kepada ibumu.""Hu
"Tunangan?" Eliza yang terkejut sontak menoleh ke arah Vico. Sementara Vico terlihat menatap sang ibu dengan tenang. Sebenarnya Liliana juga tidak kalah terkejutnya dengan Eliza dan yang hadir disana. Namun dia berusaha tetap terlihat tenang dan mengendalikan emosinya agar tidak salah dalam mengambil tindakan.Meskipun begitu, tampak jelas bahwa Liliana sedang berusaha mengontrol napasnya yang naik turun menahan emosi. Liliana tersenyum kecut. Bersama Vico, keduanya masih beradu tatap dengan intens dan tajam. "Mengapa kamu lakukan ini?" "Bukankah ibu ingin aku cepat menikah? Aku membawakan calonku untuk memenuhi keinginan Ibu.""Dengan membuat malu keluarga kita dan mempermalukan gadis anak dari seorang menteri yang dihormati?""Yang mengundangnya adalah Ibu. Bukan aku. Aku tidak perlu merasa malu atau bersalah."Eliza seperti berada di antartika tanpa jaket penghangat. Tubuhnya tiba-tiba terasa membeku dan tidak dapat bergerak. Entah kenapa dia harus selalu sial dan selalu hadir d
Vico memegang kendali dalam ciuman itu. Tampaknya pria dingin itu sangat ahli dalam berciuman. Padahal belum pernah diketahui bahwa dia sempat memiliki kekasih selama hidupnya. Vico melepas ciumannya perlahan, Eliza juga mulai membuka kedua matanya. Terlukis senyum di wajah Vico, yang membuat Eliza merasa malu dan langsung memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Vico kembali dengan kemudinya. Dia tidak ingin mengatakan apapun yang dapat merusak sisa keindahan ciuman tadi. Vico melajukan mobilnya sedikit lebih cepat, jalanan tampaknya sudah mulai ramai lancar, dan waktu juga sudah hampir pukul delapan. Membuat orang lain menunggu bukanlah kebiasaan baik yang harus dilestarikan bagi Vico."Hati-hati," Vico mengulurkan tangannya untuk membantu Eliza keluar dari dalam mobil. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, Vico menyerahkan kunci mobilnya pada petugas parkir valet. Keduanya berjalan memasuki gedung hotel bintang enam tersebut, dimana terdapat sebuah restoran yang direse
Rasa malu karena menerima pujian dari Vico membuat Kedua pipi Eliza merona seketika. Eliza tidak ingin mengatakan apapun, selain tidak tahu bagaimana harus menanggapi, Eliza juga tidak mau terjebak di situasi canggung itu lebih lama lagi. Eliza meraih handle pintu mobil namun Vico juga langsung meraih handle pintu tersebut membuat kedua tangan mereka saling bertumpuan. Eliza mengalah dan menarik kembali tangannya, mengijinkan Vico yang melakukannya untuknya. Keduanya sudah siap dengan seat belt yang terpasang rekat. "Baiklah. Kita pergi sekarang," ucap Vico sembari menarik tuas mobil dan mulai melesat.Jalanan malam sangat indah. Lampu gedung-gedung perkantoran yang warna warni, juga lampu kendaraan mobil yang berderet seperti bintang di dataran bumi menambah keindahan malam perjalanan mereka. Vico memutar musik dengan volume lirih yang hampir tidak terdengar, itu bagus untuk membuat suasana tidak terlalu kaku. Eliza masih bergeming sejak tadi. Dia hanya bertanya pada diri sendir
"Dia.....Ah maksud saya, Tuan Vico tidak mengatakan apapun pada saya."Eliza merasa bersalah telah berkata bohong pada sang atasan. Tapi mana mungkin dia dapat berkata jujur, ini masalah yang sangat rumit bagi Eliza. Hal ini bisa saja menjadi salah paham semua orang jika kabar hubungannya dengan Vico sampai terekspos. Reiz mengangguk-angguk pelan lalu berangsur beranjak dari meja Eliza. "Baiklah. Teruskan pekerjaanmu," ujar Reiz sambil berlalu dengan meninggalkan sepotong senyum yang membuat Eliza terpana, seolah daya batre tubuhnya yang semula hampir habis kini terisi penuh kembali. Namun dirinya kembali lemas kala mengingat wajah Vico yang menghantuinya dan selalu muncul dalam pikirannya. "Apa dia tidak lelah bolak-balik di kepalaku? Ahh, Sial! Itu memang hanya pikiranku, bagaimana bisa dia merasa capek?" gerutu Eliza sambil mengoyak-ngoyak dan sedikit menjambak kedua sisi rambutnya.Drrtt. Eliza meraih ponselnya yang tergeletak di meja dengan posisi terbalik. Dari tadi Eliza bel