"Sangat cantik," ucap Reiz tanpa sadar. "Ya?" Eliza yang mendengar samar memperjelas ucapan bosnya sambil mengangkat kedua alisnya. Reiz tersenyum. "Anting-antingmu sangat cantik. Apa kau baru membelinya?" tanya Reiz sambil sedikit memiringkan kepalanya menatap anting permata yang menggantung di daun telinga Eliza."Ah antingnya ini? Sahabatku memberikannya untukku sebagai hadiah ulang tahun," kenang Eliza setahun lalu. Kala Susan memberikan kejutan yang luar biasa. Sebuah anting berlian yang sampai saat ini Eliza pertahankan meskipun dalam keadaan terjepit, Eliza bertekad untuk tidak menjualnya. Karena bukan hanya hadiahnya yang bernilai, yang utama adalah siapa yang memberikannya. "Sahabat? Pasti kamu sangat spesial baginya." Reiz menegakkan kepalanya kembali. Perasaan sedikit kecewa menggelayuti hatinya. Namun Reiz segera ingat bahwa mereka akan terlambat ke acara jika tidak segera pergi.Reiz berbalik badan dan membukakan pintu mobil untuk Eliza. "Masuklah," ucap Reiz mempersila
'Kenapa Tuan Vico masih menatapku?' Eliza sudah sempat mengalihkan pandangan. Namun ketika kembali menatap ke arah Vico berada, pria itu masih disana dan juga masih menatapnya. Vico kemudian berlalu dan menyapa para tamu yang sudah antri untuk mengobrol dengannya. Eliza merasa lega, namun juga penasaran. 'Apa yang dia lihat dariku? Apa jangan-jangan, riasanku sangat jelek? Itu tidak mungkin, karena Susan yang meriasku. Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya."Eliza mengusir rasa penasarannya. Dan kembali berkonsentrasi untuk mendampingi tugas Reiz malam itu. Tiba waktunya untuk acara dimulai. Seorang master ceremony membuka acara dengan rentetan rundown yang telah disusun rapi.Acara dimulai dengan sambutan pidato dari sang CEO atau owner sekaligus pemimpin perusahaan, yaitu Vico Barbarossa."Mari kita beri tepuk tangan untuk Tuan Vico," ujar sang master ceremony diikuti oleh tepuk tangan semua orang yang hadir disana. Vico menaiki tangga yang disiapkan untuk menuju panggung. Seora
Vico yang sudah mengamati mereka dari tadi sontak menarik tangan Eliza mundur ke belakangnya. Tatapan tajamnya bagai elang yang penuh intimidasi, menatap mereka, menantang jika mereka masih berani menyentuh Eliza kembali. "Siapa kamu? Mau jadi jagoan?" kesal salah seorang pria itu yang gagal mendapatkan mangsanya."Bagaimana jika kalian tidur di dalam bui malam ini?" ucap Vico lugas dan membuat mereka merasa ciut seketika. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang sambil saling menatap satu sama lainnya. Vico mengambil ponselnya dan menekan nomor yang kemudian menunjukkan layar ponselnya pada sekumpulan pria hidung belang itu. Ya, nomor 911 adalah nomor darurat polisi. "Mereka akan langsung datang setelah mereka mengangkat panggilanku."Seorang pria yang sepertinya ketua gerombolan itu meneguk salivanya. Mereka saling menatap dan memberi isyarat untuk kabur. Mereka pun segera lari kocar kacir. Melihat penampilan Vico yang seperti bukan pria sembarangan, tentu saja mereka percaya den
Susan yang mendengar suara Eliza samar sedang mengoceh di luar pun membuka pintu. Namun betapa terkejutnya ia, kala melihat pemandangan dua insan yang sedang berciuman mesra."Oh My God!" kaget Susan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tidak mau mengganggu, Susan bergegas kembali ke dalam rumah dan menutup pintu perlahan. Susan sedikit membuka tirai jendela dan mengintip mereka dari dalam. "Bukankah dia pria menyebalkan waktu itu? Kenapa Eliza bisa berciuman dengannya?"Susan tentu terkejut. Mengetahui hubungan Eliza dan Vico yang merupakan bos besarnya kurang baik, namun malam ini tiba-tiba keduanya berciuman di depan pintu rumah. "Apa dia sudah gila?" Vico melepaskan bibirnya dari Eliza. Menatap wajah cantik Eliza dengan menyungging senyum. "Mulai malam ini, kamu milikku." Vico tidak membutuhkan persetujuan Eliza untuk ucapannya. Eliza yang mabuk berat hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.Vico kembali meraih dagu Eliza dan mengecup beberapa kali lagi dengan kec
"Menginginkannya? Apa maksudnya? Bahkan kaulah yang menolak Eliza mentah-mentah dan memandangnya sebelah mata kala itu. Kau juga yang berkata hanya mau menerima seseorang yang berpendidikan tinggi, minimal lulusan universitas ternama di negara ini dengan nilai cumlaude." Reiz merasa tidak terima dengan pernyataan kakaknya barusan."Ya, aku sadar aku terlalu berlebihan dalam menerapkan standarisasi seseorang. Dan aku menyesal. Maka dari itu aku akan memberikannya kesempatan untuk mendampingiku sebagai sekretaris, juga asisten pribadiku."Reiz bergeming. Kepalanya masih berusaha berpikir jernih untuk mengambil keputusan yang terbaik. Jika Eliza menjadi sekretaris kakaknya, maka peluang Eliza untuk mendapatkan gaji tinggi sangat mungkin. Serta pengalaman menjadi seorang sekretaris CEO akan sangat menunjang masa depan Eliza nantinya. Disisi lain, Reiz tidak merelakan Eliza jauh darinya. Selain rasa yang ada, Reiz juga sangat menyukai pekerjaan Eliza. Namun untuk langsung menolak permintaa
"Kenapa dia mengatakan hal yang mengerikan begitu?"Eliza tidak segera membalas pesan dari Vico. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Pulang bersama itu sesuatu yang mengerikan baginya. Bahkan hanya bertemu dengannya saja suasana horor seperti menyelimuti mereka. Sudah bisa dibayangkan jika mereka benar-benar pulang bersama. Tidak akan ada topik pembicaraan yang dapat menghangatkan suasana. Yang ada justru hawa dingin seperti musim salju di antartika. "Aduh. Aku harus membalas apa?" Drrrt......Panggilan telepon dari nomor itu membuat Eliza sontak menjatuh ponselnya ke meja. Eliza tidak langsung memungut ponselnya, ditatapnya layar ponsel yang tertera nomor milik sang CEO itu lumayan lama. Tidak ada pilihan. Eliza harus menjawab panggilan itu jika tidak ingin terkena masalah. Selain itu, tidak akan sopan jika dia berani mengabaikan panggilan Presdirnya bukan?"Ha-halo, Tuan?""Aku sudah menunggumu. Mobil ferrari biru tua parkir di blok A. Langsung saja masuk jika sud
Eliza ternganga mendengar ucapan sang CEO. Tidak mengetahui apa tujuan sang CEO mengatakan hal demikian. Tapi yang pasti, bosnya itu tidak akan main-main dengan ucapannya. Gleg.Eliza meneguk minumannya dan hanya menyimpan rasa penasarannya dalam hati. Dia tidak ingin mengorek lebih jauh dan akan menganggap kalimat barusan hanya angin lalu. ☆☆☆☆☆☆☆Mobil ferrari warna biru tua itu berhenti tepat di depan pagar rumah Eliza. Sebelum Eliza berpamitan, Eliza berusaha memberanikan diri untuk bertanya dari mana sang CEO mengetahui alamat rumahnya. Eliza mendehem untuk mengumpulkan keberanian. "Tuan, bolehkah saya bertanya sesuatu?" lirih Eliza sambil memberanikan diri menatap mata indah lawan bicaranya. "Tanyalah," jawab Vico dengan suara lembut tapi dalam. Suara yang berhasil membuat Eliza terpana sesaat sebelum mulai bertanya. "Dari mana Anda tahu alamat rumah saya?"Vico tersenyum simpul. Bukannya menjawab pertanyaan Eliza, Vico justru mengatakan hal lain yang membuat Eliza mengurungk
Mereka berdua memiliki pemikiran yang sama. Tulang Eliza lemas seketika. Jika itu benar, kalimat yang bosnya ucapkan itu artinya mereka telah memiliki hubungan spesial mulai malam itu. "Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjalin hubungan?" pertanyaan Susan yang penuh penekanan membuat Eliza semakin lemas. Seandainya Eliza mengiyakan, bukankah dia terlalu percaya diri? Sementara saat itu dia sedang tidak sadar sempurna. Namun, jika dia menepis hal itu, dia juga bukan orang bodoh yang tak bisa mencerna arti sebuah kalimat. "Huaaaaaaa…… Katakan kalau ini semua hanya mimpi Susan!" Eliza menyesal, seandainya dia tidak salah minum malam itu, mungkin dunia akan baik-baik saja. Bukannya malah semakin kacau seperti saat ini. Susan hanya menghela napas, merasa turut prihatin dengan apa yang Eliza alami. Namun jika dipikirkan sisi baiknya, Eliza telah memiliki kekasih seorang CEO dan itu akan membuat Eliza menjadi orang yang semakin dihormati. Susan tersenyum, turut senang kala membayangkan