Disisi lain, Liliana tampak sedang serius memandangi perhiasan berlian-berlian yang dijejer di hadapannya. Sofa putih yang sangat nyaman itu berada di toko perhiasan berlian miliknya. Ia sedang memilih beberapa model untuk di display sebagai item keluaran terbaru, dan akan meminta pihak pengrajin untuk modifikasi jika ada yang kurang sesuai dengan harapannya."Yang tengah itu, letakkan di tempat yang paling eksklusif," perintah Liliana pada seorang pegawainya yang berdiri di dekatnya. Pegawai itu segera mengambil perhiasan yang ditunjuk dan meletakkan sesuai instruksi sang atasan. Liliana memandangi pegawainya itu dari sofa tempatnya duduk. Tiba-tiba seorang pria berusia 30 an berjalan mendekati Liliana. Pria itu sedikit membungkuk seolah membisikkan sesuatu di dekat daun telinga Liliana. Dia adalah Richard, orang kepercayaan Liliana yang ditugaskan untuk sebuah misi."Dia tinggal di rumah yang disewa bersama Nona Susan.""Rupanya mereka bersahabat baik," gumam Liliana merespon bisi
"Ta-tapi Pak, kenapa beasiswa saya diputus?" tanya Eliza panik."Semua ini sudah keputusan Universitas, jadi saya tidak bisa membantu," ucap seorang kepala administrasi yang lalu pergi tanpa menghiraukannya lagi.Eliza adalah seorang gadis miskin. Kini, ia terancam putus kuliah karena tidak mampu membayar biaya kuliahnya. Selama ini, dirinya mengandalkan uang beasiswa untuk membiayai kuliah serta biaya hidupnya sehari-hari. Dengan beasiswa itu juga, Eliza dapat membantu sedikit biaya perawatan ayahnya yang sudah sakit parah dan hanya menjadi bunga ranjang selama ini.Namun, kabar ini meruntuhkan impiannya. "Sayang sekali kalau kamu harus cuti," ujar seorang petugas administrasi kemahasiswaan yang sedang menginput data dan permohonan cuti Eliza."Seandainya Universitas mau berbelas kasih padaku selama satu tahun saja, pasti aku tidak akan cuti," lirih Eliza penuh sesal. "Di zaman sekarang, yang beruang lah yang berkuasa. Kau harus punya kekuatan dari dalam untuk mendapat yang kau in
Namun, alih-alih mengatakannya, Reiz justru berdeham, "Ekhem. Bukankah kau akan mengikuti interview?""Benar, tapi izinkan saya membantu Anda lebih dulu sebagai ucapan terima kasihku."Melihat ketulusan dari mata Eliza, Reiz pun mengangguk. Ia langsung menjelaskan apa sebenarnya yang membuatnya kebingunan saat ini."Dokumen yang berisi penawaran harga dari Royal Gold Company. Tolong carikan itu untukku."Tidak membuang waktu, Eliza langsung bergegas mencarikan dokumen itu dalam lemari besar tersebut.Tumpukan dokumen di dalamnya memang cukup banyak. Bahkan Eliza juga merasa kebingungan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat sudah lebih dari sepuluh menit tidak menemukan dokumen yang dicarinya. Namun karena ia sudah berkata ingin membantu, Eliza harus mencarinya hingga ketemu."Baiklah. Jika hanya mencari tidak ketemu. Lebih baik sambil merapikan saja dokumen-dokumen ini. Pasti akan lebih mudah menemukannya."Eliza mulai merapikan dokumen yang berantakan itu, ia menyesuaikan dengan t
Reiz sudah mengerti sikap kakaknya itu, hanya bisa menghela napas."Ayo kita keluar," ajaknya pada Eliza yang mengikutinya dari belakang.Reiz tidak tahu sebelumnya, jika Eliza adalah masih berstatus sebagai mahasiswa. Jika ia tahu, dia juga tidak akan repot-repot membantunya untuk bertemu Vico. Karena Reiz saja sudah dapat memberikan jawabannya.Wajah Eliza sangat terlihat putus asa. Namun Reiz tidak bisa membantunya meskipun ia adalah adik dari Vico sendiri.Pria itu mengantar Eliza hingga ke lantai satu. "Saya akan pergi sendiri. Terima kasih Anda telah membantuku," ucap Eliza lalu membungkuk sebelum keluar dari lift."Maafkan aku," ucap Reiz."Anda tidak bersalah. Saya lah yang bersalah karena saya hanyalah seorang mahasiswa yang hampir putus kuliah."Sekali lagi Eliza membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu.------Lima hari sudah berlalu, Eliza yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya masih terlelap di kasur empuknya. Alarm ponsel dari tadi sudah be
"Aku sangat cemas! Kamu sudah seminggu lebih tidak masuk kampus dan susah dihubungi. Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesanku?" gerutu Susan sahabat baiknya di kampus.Puas memeluk meluapkan rindu pada sahabatnya, Susan langsung masuk ke dalam rumah Eliza tanpa menunggu dipersilahkan. Susan langsung pergi ke meja makan untuk mencari makanan disana. Setelah pulang dari kampus perut Susan menjadi sangat berisik. Untuk itu ia memutuskan untuk mampir ke rumah Eliza melepas rindu sekaligus menumpang makan siang."Kamu tidak masak?" tanya Susan setelah membuka tudung saji diatas meja."A-aku,""Astaga, dikulkasmu juga tidak ada apapun. Hanya ada air putih dan, sisa susu hanya sedikit?" ujar Susan sambil menunjukkan kotak susu yang diambil dari dalam kulkas."Dan ini, roti yang sudah expired kenapa tidak kamu buang?" tambahnya setelah memeriksa isi kulkas Eliza lagi.Susan masih tidak bisa berkata-kata, mengapa bisa kulkas sampai tidak ada makanan sedangkan saat ini dia sangat lapar sekali.
Eliza menaiki tangga dan menghampiri wanita pemilik rumah yang sudah melihatnya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang."Bu Raya, bukankah Anda memberikanku kesempatan hingga besok?""Aku datang karena melihat kau memiliki orang yang bisa diandalkan," jawab wanita itu sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Susan yang baru muncul setelah memastikan dirinya telah memarkir mobil dengan benar.Eliza turut menoleh ke belakangnya, dimana Susan baru muncul. "Maaf Bu. Tapi saya tidak dapat mengandalkan siapa-siapa. Dia hanyalah teman saya.""Aku tidak peduli. Tampaknya dia memiliki banyak uang. Hei kau, apa kau teman gadis ini?"Susan sontak mengangkat kedua alisnya bingung, namun dari wajahnya Susan bisa menebak, sepertinya wanita paruh baya itu memiliki urusan uang dengan Eliza."Ya, aku sahabat baiknya. Ada apa?""Baguslah. Kalau kau memang sahabatnya, bayarkan uang sewa untuknya. Dia sudah telat selama satu minggu!" Eliza mengerjapkan kedua matanya menahan malu. Lalu meno
"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap."Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?" "Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?" Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru. Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun kare
Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan."Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi." "Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan