Din Din.....!!!!Seorang pengendara menekan klakson mobil berkali-kali di pagi buta yang memekakkan telinga penghuni rumah tempat dimana mobil tersebut berhenti membuat Susan emosi."El, siapa orang gila yang sepagi ini membuat keributan di luar?" lirih Susan malas sambil menutup kedua telinganya dengan bantal. Din Din!!!Susan semakin kesal dibuatnya, namun Eliza tampaknya tidak terganggu sedikitpun. Susan yang kesal tapi malas bangun pun menendang bokong Eliza yang masih mendengkur mengarungi mimpi, sehingga terjatuh dari ranjang yang tidak seberapa tinggi itu."Awwww," rintih Eliza yang terpaksa bangun kala merasakan sakit terantuk lantai. "Susan, apa kamu memandangku?" Eliza mengusap bokongnya yang merasa sakit."Tidak. Kamu sedang mimpi parkour sepertinya. Lihatlah, ada orang gila di luar sana mengganggu kita. Mungkin saja itu pacarmu."Mata ngantuk Eliza seketika membelalak. Ia ingat bagaimana sang bos besarnya berucap kemarin malam. Gegas Eliza bangkit dan mengintip ke luar je
Eliza terpaksa duduk untuk menunggu Vico yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Vico mengeluarkan beberapa roti yang sudah dibakar dan menatanya diatas piring untuk diberi isian. Vico mengambil tiga telur dan langsung menyalakan kompor listrik disana. Diraihnya frying pan yang terletak di atas lemari piring. Vico menuangkan sedikit olive oil untuk menggoreng telur mata sapi setengah matang. Setelah telur matang, Vico menata selada di dalam roti sebagai lapisan isian pertama. Kemudian telur mata sapi, dan tiga potong daging kaleng yang telah dipanggang sejenak. Tidak lupa Vico juga menambahkan irisan timun di dalamnya.Vico menatap Eliza yang tercenung melihat pemandangan pagi itu sembari tersenyum. Vico membawa ketiga piring sandwich untuk mereka berdua juga untuk dirinya sendiri. "Makanlah."Susan sangat girang. Bagaimana tidak, ketika diminta membuka mata justru ada seorang chef gratis selain sahabatnya yang membuatkan sarapan dan kopi untuk menyapa paginya."Selamat makan," ucap
Derap suara dari langkah kaki yang terbungkus sepatu mahal itu jelas terdengar semakin dekat. Eliza enggan menoleh, dia tidak cukup berani untuk menerima bahwa dirinya tertangkap sedang berjalan bersama sang Presdir. "Hai Kak," sapa pria itu pada Vico. Suara yang dikenalnya itu terpaksa membuat Eliza menolehkan kepalanya perlahan. Eliza yakin atasannya tersebut akan merasa aneh setelah melihat kedatangan mereka berdua. "Selamat pagi, Bos," sapa Eliza sedikit terbata. "Selamat pagi," jawab Reiz sambil mengangguk perlahan. "Kalian berangkat bersama?" tanya Reiz to the point. Tentu saja Reiz merasa penasaran, karena dia melihat Eliza dan Vico turun dari mobil milik sang kakak. "Kami tadi tidak sengaja bertemu, yah seperti itu," sanggah Eliza cepat sebelum Vico mendahuluinya untuk menjawab.Reiz menaikkan kedua alisnya, merasa tidak yakin. Vico yang tidak terima dengan jawaban Eliza langsung merangkul bahu gadis itu. Hal diluar dugaan itu membuat Eliza dan Reiz terbelalak dan sama te
"Dia.....Ah maksud saya, Tuan Vico tidak mengatakan apapun pada saya."Eliza merasa bersalah telah berkata bohong pada sang atasan. Tapi mana mungkin dia dapat berkata jujur, ini masalah yang sangat rumit bagi Eliza. Hal ini bisa saja menjadi salah paham semua orang jika kabar hubungannya dengan Vico sampai terekspos. Reiz mengangguk-angguk pelan lalu berangsur beranjak dari meja Eliza. "Baiklah. Teruskan pekerjaanmu," ujar Reiz sambil berlalu dengan meninggalkan sepotong senyum yang membuat Eliza terpana, seolah daya batre tubuhnya yang semula hampir habis kini terisi penuh kembali. Namun dirinya kembali lemas kala mengingat wajah Vico yang menghantuinya dan selalu muncul dalam pikirannya. "Apa dia tidak lelah bolak-balik di kepalaku? Ahh, Sial! Itu memang hanya pikiranku, bagaimana bisa dia merasa capek?" gerutu Eliza sambil mengoyak-ngoyak dan sedikit menjambak kedua sisi rambutnya.Drrtt. Eliza meraih ponselnya yang tergeletak di meja dengan posisi terbalik. Dari tadi Eliza bel
Rasa malu karena menerima pujian dari Vico membuat Kedua pipi Eliza merona seketika. Eliza tidak ingin mengatakan apapun, selain tidak tahu bagaimana harus menanggapi, Eliza juga tidak mau terjebak di situasi canggung itu lebih lama lagi. Eliza meraih handle pintu mobil namun Vico juga langsung meraih handle pintu tersebut membuat kedua tangan mereka saling bertumpuan. Eliza mengalah dan menarik kembali tangannya, mengijinkan Vico yang melakukannya untuknya. Keduanya sudah siap dengan seat belt yang terpasang rekat. "Baiklah. Kita pergi sekarang," ucap Vico sembari menarik tuas mobil dan mulai melesat.Jalanan malam sangat indah. Lampu gedung-gedung perkantoran yang warna warni, juga lampu kendaraan mobil yang berderet seperti bintang di dataran bumi menambah keindahan malam perjalanan mereka. Vico memutar musik dengan volume lirih yang hampir tidak terdengar, itu bagus untuk membuat suasana tidak terlalu kaku. Eliza masih bergeming sejak tadi. Dia hanya bertanya pada diri sendir
Vico memegang kendali dalam ciuman itu. Tampaknya pria dingin itu sangat ahli dalam berciuman. Padahal belum pernah diketahui bahwa dia sempat memiliki kekasih selama hidupnya. Vico melepas ciumannya perlahan, Eliza juga mulai membuka kedua matanya. Terlukis senyum di wajah Vico, yang membuat Eliza merasa malu dan langsung memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Vico kembali dengan kemudinya. Dia tidak ingin mengatakan apapun yang dapat merusak sisa keindahan ciuman tadi. Vico melajukan mobilnya sedikit lebih cepat, jalanan tampaknya sudah mulai ramai lancar, dan waktu juga sudah hampir pukul delapan. Membuat orang lain menunggu bukanlah kebiasaan baik yang harus dilestarikan bagi Vico."Hati-hati," Vico mengulurkan tangannya untuk membantu Eliza keluar dari dalam mobil. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, Vico menyerahkan kunci mobilnya pada petugas parkir valet. Keduanya berjalan memasuki gedung hotel bintang enam tersebut, dimana terdapat sebuah restoran yang direse
"Tunangan?" Eliza yang terkejut sontak menoleh ke arah Vico. Sementara Vico terlihat menatap sang ibu dengan tenang. Sebenarnya Liliana juga tidak kalah terkejutnya dengan Eliza dan yang hadir disana. Namun dia berusaha tetap terlihat tenang dan mengendalikan emosinya agar tidak salah dalam mengambil tindakan.Meskipun begitu, tampak jelas bahwa Liliana sedang berusaha mengontrol napasnya yang naik turun menahan emosi. Liliana tersenyum kecut. Bersama Vico, keduanya masih beradu tatap dengan intens dan tajam. "Mengapa kamu lakukan ini?" "Bukankah ibu ingin aku cepat menikah? Aku membawakan calonku untuk memenuhi keinginan Ibu.""Dengan membuat malu keluarga kita dan mempermalukan gadis anak dari seorang menteri yang dihormati?""Yang mengundangnya adalah Ibu. Bukan aku. Aku tidak perlu merasa malu atau bersalah."Eliza seperti berada di antartika tanpa jaket penghangat. Tubuhnya tiba-tiba terasa membeku dan tidak dapat bergerak. Entah kenapa dia harus selalu sial dan selalu hadir d
"Duduklah."Vico menarik Eliza perlahan untuk kembali ke kursinya. Eliza menurut dan tetap diam. Dia tidak ingin memperburuk keadaan dengan mengucapkan kata yang dapat memantik api dalam situasi ini.Liliana merasa percuma jika terus berdebat dengan Vico. Targetnya beralih untuk mencecar dan membuat mental Eliza jatuh, tentu agar gadis itu merasa kapok dan berhenti menjalin hubungan dengan putranya."Dari keluarga mana kamu berasal?"Eliza sontak menatap Liliana, tatapannya seperti awan yang mendung. Namun Liliana masih menatapnya nanar menunggu jawaban. "Di Universitas apa kamu belajar?"Eliza semakin bingung saja, sungguh ini lebih merepotkan dan menegangkan daripada interview kerja dengan Vico saat itu. "Dan…apa pekerjaan ayahmu?"Deg. "Cukup!" Vico langsung memotong pembicaraan sang ibu sebelum muncul pertanyaan lainnya. Liliana yang merasa tidak terima langsung melotot menatap tajam putranya. "Ibu sedang bicara dengan gadis itu. Tunjukkan sikap sopan santun kepada ibumu.""Hu