"Woaaaah... ini tampak lezat. Aku tidak sabar El," kagum Susan ketika Eliza menyajikan sepiring steak di hadapannya. Asap masih mengepul keluar dari steak tersebut. Aroma kelezatan menyeruak menyelami indra penciuman Susan, yang membuat perutnya seketika menggila dan ingin dipuaskan.Eliza yang kembali ke meja dengan membawa sepiring steak miliknya duduk untuk menyantap sarapan bersama. "Makanlah."Susan tersenyum lebar dan langsung memotong steak tersebut menjadi seukuran dadu dan menyuapkan ke mulutnya. "Mmmmm.."Susan mengunyah steak sambil memejamkan kedua matanya. Rasa juicy dari daging wagyu a5 memenuhi mulutnya."Rasanya seperti mau menangis." Ya, Susan memang selalu ekspresif dan berlebihan dalam mengungkapkan sesuatu. Tapi itu lah dia, berkata dengan kejujuran hatinya.Eliza hanya tersenyum menyaksikan Susan yang sudah seperti setahun tidak makan enak. Padahal, jika dia mau dia dengan mudah bisa memesan makanan enak secara delivery. "Bukankah lebih enak steak di restoran c
"Halo. Eliza?""Halo Bos. Maaf, saya tadi tidak tahu kalau Anda menghubungi saya. Seharian ini saya tidak memegang ponsel." Eliza yang merasa takut akan bosnya yang mungkin merasa kecewa langsung membuat rentetan penjelasan."Tidak, sayalah yang seharusnya minta maaf. Saya telah memberimu waktu cuti tapi saya malah mengganggumu. Maafkan saya.""Tidak Bos. Saya tidak merasa terganggu. Ngomong-ngomong, apa Bos sedang butuh bantuan saya?"Reiz tiba-tiba gelagapan untuk mencari alasan. Alasannya menghubungi Eliza tadi bukan karena ada sebuah pekerjaan yang urgent untuk dikerjakannya. Namun, ada rasa yang dinamakan rindu telah menyelimuti hatinya. Reiz tahu itu tidak masuk akal. Bisa disebut cinta pandangan pertama mungkin. Namun Reiz pun tidak akan berkata jujur secepat itu. Dia khawatir, Eliza justru lari dan tidak bersedia bekerja bersamanya. "Ah ya. Aku tadi hanya ingin memberitahu bahwa malam ini ada pesta grand launching aplikasi perusahaan kita. Awalnya aku ingin hadir bersamamu se
"Sangat cantik," ucap Reiz tanpa sadar. "Ya?" Eliza yang mendengar samar memperjelas ucapan bosnya sambil mengangkat kedua alisnya. Reiz tersenyum. "Anting-antingmu sangat cantik. Apa kau baru membelinya?" tanya Reiz sambil sedikit memiringkan kepalanya menatap anting permata yang menggantung di daun telinga Eliza."Ah antingnya ini? Sahabatku memberikannya untukku sebagai hadiah ulang tahun," kenang Eliza setahun lalu. Kala Susan memberikan kejutan yang luar biasa. Sebuah anting berlian yang sampai saat ini Eliza pertahankan meskipun dalam keadaan terjepit, Eliza bertekad untuk tidak menjualnya. Karena bukan hanya hadiahnya yang bernilai, yang utama adalah siapa yang memberikannya. "Sahabat? Pasti kamu sangat spesial baginya." Reiz menegakkan kepalanya kembali. Perasaan sedikit kecewa menggelayuti hatinya. Namun Reiz segera ingat bahwa mereka akan terlambat ke acara jika tidak segera pergi.Reiz berbalik badan dan membukakan pintu mobil untuk Eliza. "Masuklah," ucap Reiz mempersila
'Kenapa Tuan Vico masih menatapku?' Eliza sudah sempat mengalihkan pandangan. Namun ketika kembali menatap ke arah Vico berada, pria itu masih disana dan juga masih menatapnya. Vico kemudian berlalu dan menyapa para tamu yang sudah antri untuk mengobrol dengannya. Eliza merasa lega, namun juga penasaran. 'Apa yang dia lihat dariku? Apa jangan-jangan, riasanku sangat jelek? Itu tidak mungkin, karena Susan yang meriasku. Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya."Eliza mengusir rasa penasarannya. Dan kembali berkonsentrasi untuk mendampingi tugas Reiz malam itu. Tiba waktunya untuk acara dimulai. Seorang master ceremony membuka acara dengan rentetan rundown yang telah disusun rapi.Acara dimulai dengan sambutan pidato dari sang CEO atau owner sekaligus pemimpin perusahaan, yaitu Vico Barbarossa."Mari kita beri tepuk tangan untuk Tuan Vico," ujar sang master ceremony diikuti oleh tepuk tangan semua orang yang hadir disana. Vico menaiki tangga yang disiapkan untuk menuju panggung. Seora
Vico yang sudah mengamati mereka dari tadi sontak menarik tangan Eliza mundur ke belakangnya. Tatapan tajamnya bagai elang yang penuh intimidasi, menatap mereka, menantang jika mereka masih berani menyentuh Eliza kembali. "Siapa kamu? Mau jadi jagoan?" kesal salah seorang pria itu yang gagal mendapatkan mangsanya."Bagaimana jika kalian tidur di dalam bui malam ini?" ucap Vico lugas dan membuat mereka merasa ciut seketika. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang sambil saling menatap satu sama lainnya. Vico mengambil ponselnya dan menekan nomor yang kemudian menunjukkan layar ponselnya pada sekumpulan pria hidung belang itu. Ya, nomor 911 adalah nomor darurat polisi. "Mereka akan langsung datang setelah mereka mengangkat panggilanku."Seorang pria yang sepertinya ketua gerombolan itu meneguk salivanya. Mereka saling menatap dan memberi isyarat untuk kabur. Mereka pun segera lari kocar kacir. Melihat penampilan Vico yang seperti bukan pria sembarangan, tentu saja mereka percaya den
Susan yang mendengar suara Eliza samar sedang mengoceh di luar pun membuka pintu. Namun betapa terkejutnya ia, kala melihat pemandangan dua insan yang sedang berciuman mesra."Oh My God!" kaget Susan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tidak mau mengganggu, Susan bergegas kembali ke dalam rumah dan menutup pintu perlahan. Susan sedikit membuka tirai jendela dan mengintip mereka dari dalam. "Bukankah dia pria menyebalkan waktu itu? Kenapa Eliza bisa berciuman dengannya?"Susan tentu terkejut. Mengetahui hubungan Eliza dan Vico yang merupakan bos besarnya kurang baik, namun malam ini tiba-tiba keduanya berciuman di depan pintu rumah. "Apa dia sudah gila?" Vico melepaskan bibirnya dari Eliza. Menatap wajah cantik Eliza dengan menyungging senyum. "Mulai malam ini, kamu milikku." Vico tidak membutuhkan persetujuan Eliza untuk ucapannya. Eliza yang mabuk berat hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.Vico kembali meraih dagu Eliza dan mengecup beberapa kali lagi dengan kec
"Menginginkannya? Apa maksudnya? Bahkan kaulah yang menolak Eliza mentah-mentah dan memandangnya sebelah mata kala itu. Kau juga yang berkata hanya mau menerima seseorang yang berpendidikan tinggi, minimal lulusan universitas ternama di negara ini dengan nilai cumlaude." Reiz merasa tidak terima dengan pernyataan kakaknya barusan."Ya, aku sadar aku terlalu berlebihan dalam menerapkan standarisasi seseorang. Dan aku menyesal. Maka dari itu aku akan memberikannya kesempatan untuk mendampingiku sebagai sekretaris, juga asisten pribadiku."Reiz bergeming. Kepalanya masih berusaha berpikir jernih untuk mengambil keputusan yang terbaik. Jika Eliza menjadi sekretaris kakaknya, maka peluang Eliza untuk mendapatkan gaji tinggi sangat mungkin. Serta pengalaman menjadi seorang sekretaris CEO akan sangat menunjang masa depan Eliza nantinya. Disisi lain, Reiz tidak merelakan Eliza jauh darinya. Selain rasa yang ada, Reiz juga sangat menyukai pekerjaan Eliza. Namun untuk langsung menolak permintaa
"Kenapa dia mengatakan hal yang mengerikan begitu?"Eliza tidak segera membalas pesan dari Vico. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Pulang bersama itu sesuatu yang mengerikan baginya. Bahkan hanya bertemu dengannya saja suasana horor seperti menyelimuti mereka. Sudah bisa dibayangkan jika mereka benar-benar pulang bersama. Tidak akan ada topik pembicaraan yang dapat menghangatkan suasana. Yang ada justru hawa dingin seperti musim salju di antartika. "Aduh. Aku harus membalas apa?" Drrrt......Panggilan telepon dari nomor itu membuat Eliza sontak menjatuh ponselnya ke meja. Eliza tidak langsung memungut ponselnya, ditatapnya layar ponsel yang tertera nomor milik sang CEO itu lumayan lama. Tidak ada pilihan. Eliza harus menjawab panggilan itu jika tidak ingin terkena masalah. Selain itu, tidak akan sopan jika dia berani mengabaikan panggilan Presdirnya bukan?"Ha-halo, Tuan?""Aku sudah menunggumu. Mobil ferrari biru tua parkir di blok A. Langsung saja masuk jika sud