“Oh, ini yang namanya Gunung Kalastra,” ucap Amira sembari memandang gunung yang konon kata orang sangat keramat.
Tidak hanya itu saja, selain keramat ada keindahan tiada tanding di dalamnya. Jangan lupakan juga, masih konon kata orang-orang gunung itu didiami oleh ribuan manusia harimau yang menjadi penghuni pertama di sana.“Akhirnya kita sampai juga. Yok, gercep, nggak usah nunggu lama-lama. Biar bisa buat tenda nanti malam.” Roni—kekasih Amira, membawa pacarnya mendaki gunung sembari mengisi libur semester genap yang sangat panjang.Tidak hanya Amira dan Roni saja yang pergi, tapi tiga orang teman lelaki yang lain juga ikutan. Mereka tidak mengindahkan pantangan yang sering disebutkan para penduduk di sekitar Gunung Kalastra, bahwa ada larangan mendaki gunung dalam jumlah ganjil.Selain itu pula, bukankah akan sangat bahaya jika Amira perempuan sendirian. Laki-laki akan selalu cari kesempatan dalam kesempitan. Amira—dia gadis cantik dan terpelajar. Anak tunggal dari pemilik perkebunan teh yang sudah diwariskan bertahun-tahun dari zaman nenek moyangnya.Untuk paras sudah pasti kualitasnya grade A, ditambah isi kepala yang tidak main-main. Namun, satu kelemahannya, mudah percaya dengan Roni. Padahal namanya lelaki jangan sepenuhnya dipercaya, karena mereka bisa lebih ganas daripada harimau.Amira dan empat teman lelakinya mulai melangkah mendaki gunung. Hari itu kabut turun cukup tebal. Ya, penghuni asli Gunung Kalastra tengah berkabung. Gusti Prabu Abhiseka sedang dalam masa berkabung selama dua bulan setelah permaisurinya mangkat.Entah sampai kapan kabut itu akan terus mengukung gunung yang begitu angkuh. Para penduduk tidak ada yang tahu. Dan kelima pemuda juga pemudi itu masih nekat mendaki.Amira berada di barisan paling depan. Ia menggunakan celana jeans ketat dan baju kaus panjang. Langkah kakinya mengundang decak kagum empat pemuda di belakangnya. Lucu, padahal seharusnya para lelaki ada di depan. Namun, mereka telanjur tak bisa mengelak dari pesona gadis cantik dan masih tak tersentuh di depan mereka.“Ron, kok, lu tahan, sih, nggak ngapa-ngapain sama Amira. Gilak, gue aja gak tahan lihat cewek secantik dia,” ucap teman Roni yang mulai berpikiran mesum.“Susah, Bro. Dia anak mami sama papi. Apa-apa kudu lapor, gue jadi susah gerak. Nah, ini aja dia kabur dari rumah orang tuanya baru bisa ikutan. Agak bodo dikit Mira hari ini, tapi nggak apa-apa. Kita cari kesempatan emas, ya, nggak, Bro?” bisik Roni pada dua temannya.Mereka berpikiran mesum di tengah gunung keramat, di mana seorang raja yang adil memerintah di sana sangat tidak suka tanahnya dibuat tempat mesum. Gunung Kalastra merupakan tempat suci, tempat di mana kekuasaan harimau tidak pernah ada yang berani mengusik.Ucapan Roni dan teman-temannya membuat mata sang prabu terbuka. Gusti Prabu Abhiseka menyudahi semedinya. Ia turun dari puncak gunung bersama dua pengawal setianya. Taksaka dan Cakrabuana. Dua orang manusia harimau berwarna kuning hitam. Sedangkan Gusti Prabu sendiri manusia harimau putih.“Lancang sekali mulutnya di gunung ini.” Tangan kanan Cakrabuana terkepal. Sekali hantam juga empat orang pemuda mesum itu akan mati dengan mudah.“Tahan dulu, kita lihat sampai sejauh mana mereka berani. Apakah perbuatan akan sejalan dengan isi kepala mereka?” Perintah sang prabu. Taksaka dan Cakrabuana mengangguk saja.Tiga manusia harimau itu kemudian menghilang. Mereka masih di sekitar Gunung Kalastra menanti para pemuda bertindak gegabah. Lumayan, dagingnya bisa dibagi-bagi dengan rakyat yang lain.***“Amira, kita buat tenda di sini aja, ya. Bisa ini spotnya untuk foto-foto cantik.” Roni berhenti di sebuah tanah lapang bersama teman-temannya yang lain.Tak jauh dari tanah lapang itu ada sebuah air terjun yang sangat deras. Dilengkapi dengan bebatuan alami yang berukuran besar. Konon aliran sungainya jika hanyut dan beruntung maka akan bertemu dengan satu istana yang begitu megah dan mengilat. Itu kalau beruntung, jika sedang ketiban sial, tercabik-cabik sudah daging oleh cakaran harimau.“Udah malam aja, ya, Ron. Padahal setengah juga belum selesai kita daki.” Amira duduk di atas rerumputan yang aromanya sangat segar. Ia lelah, tapi tetap semangat. Biasa hidup dalam pengawasan ketat kedua orang tuanya, kini ia bisa kabur demi mendaki gunung bersama pacar tercinta.“Masih ada hari esok, Yang. Kamu bisa, kok, mandi di air terjun sana kalau gerah. Ntar aku yang jagain.” Roni menunjuk ke arah sungai. Derasnya air terdengar sampai ke telinga mereka.“Sumpah, gunung ini indah banget, gilak. Aku mau deh tinggal di sini selamanya.” Amira asal bicara.Dia tidak tahu kalau sang prabu dari tadi memperhatikan raut wajahnya yang amat menawan hati. Hati seorang raja yang baru ditinggal mati oleh belahan jiwanya. Hati yang kesepian.“Bukankah dia sangat cantik?” tanya Gusti Prabu Abhiseka pada dua pengawalnya. Tentu saja dijawab iya. Mata lelaki mana yang membantah kecantikan Amira. Manusia harimau saja memujinya, apalagi manusia biasa.“Gusti Prabu menginginkannya? Biar hamba bawa gadis itu kemari.” Cakrabuana menawarkan diri. Di antara dua pengawal itu, Taksaka jauh lebih pendiam dan sangat jarang bahkan tak pernah terlihat tersenyum.“Aku masih ingin melihatnya dari jauh. Dia tadi mengatakan ingin tinggal di sini selamanya. Tidak sulit bagiku untuk mewujudkannya.” Gusti Prabu merapikan kain putihnya yang beterbangan terkena angin gunung.Raut wajah berusia ribuan tahun itu, masih tetap segar bugar seperti lelaki biasa berusia matang. Dua pengawalnya masih berusia ratusan tahun dan tetap sama saja tak terlihat tua. Dari atas singgasananya Gusti Prabu terus memperhatikan Amira. Gadis itu pintar secara akademis tapi sayangnya tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.Dari atas singgasana itu jelas terlihat Roni sedang merayu Amira. Nyaris aja gadis cantik tersebut menurut ketika bibirnya ingin dicium. Sang prabu mengirimkan nyamuk hutan berukuran besar untuk memberi pelajaran pada Roni. Hasilnya pipi lelaki itu gatal luar biasa.“Hanya aku yang boleh menyentuh gadis itu.” Sudah keluar titah sang prabu. Titah yang selalu menjadi ketetapan bagi seluruh rakyat Gunung Kalastra.Taksaka sangat paham apa maksud dari tuannya. Ia kemudian turun dari istana dan mengawasi Amira dari atas batu besar. Malam terus beranjak di Gunung Kalastra. Tenda ada dua, satu untuk Amira satu untuk empat teman lelakinya.Dua orang pemuda tidak tidur karena harus menjaga tenda dari ancaman binatang buas, contohnya ular. Harusnya bukan ular yang mereka takutkan. Melainkan sesosok manusia harimau yang terus memandang empat pemuda itu dengan tajam.Taksaka, dia tidak menggunakan baju, melainkan hanya sehelai kain berwarna kuning keemasan yang dililit dari pinggang sampai ke bawah lutut. Ikat kepala berwarna belang kuning hitam selalu Taksaka kenakan. Rambutnya yang panjang ia sanggul sangat rapi. Dua tangannya yang kekar diberikan gelang emas di bagian atas sebagai pertanda dia sang pengawal yang sangat setia.“Ron, psst, psst, bangun!” Salah satu pemuda membangunkan Roni.“Apaan, sih!” Pacar Amira menggerutu. Gatal karena gigitan nyamuk hutan belum juga reda sampai sekarang.“Kapan bisa cobain Amira. Mumpung malam, sepi, dingin lagi. Dia lagi tidur, kan, ayok cepetan. Lu duluan habis itu baru kita,” bujuk salah satu teman Roni.“Tapi gue agak takut, nih. Nggak enak perasaan gue,” jawab Roni.“Perasan lu nanti beda kalau udah dapat ngegap si Amira. Cepetan, udah nggak sabaran gue.”Karena didesak terus oleh temannya, mau tak mau Roni beranjak dari tenda. Pemuda beringasan itu sekarang ada di depan tenda Amira. Taksaka masih memperhatikan, dan belum berbuat apa-apa. Hanya saja tenda calon permaisuri Gustri Prabu Abhiseka macet, tidak bisa dibuka.BersambungPagi menjelma di Gunung Kalastra. Terasa dingin sangat luar biasa sampai menusuk tulang. Amira tidur dengan menggunakan baju serba panjang, ditambah dengan kaus kaki dan tutup kepala. Jangan lupakan pengawasan Taksaka di atas batu, tanpa berpaling sama sekali. Manusia harimau itu senantiasa patuh pada perintah Gusti Prabu.“Kok sepi banget, pada ke mana yang laki-laki?” Amira keluar dari tenda. Ia menoleh ke sekeliling. Tiba-tiba saja dia menoleh ke batu besar itu lagi. Rasanya tadi ada lelaki yang memperhatikannya.“Perasaan aku aja kali, ya. Tapi kata orang-orang gunung ini, kan, emang keramat. Keramat apaan cobak. Zaman modern gini masih percaya mitos? Banyak siluman gitu. Kalau ganteng nggak apa-apa, sih. Aku pacarin sekalia. Aku putusin Roni sekarang jugak,” ucap Amira takabur lagi.Taksaka hanya menghela napas saja. Gadis itu seperti mempersilakan Gusti Prabu Abhiseka untuk menjamah dirinya. Tawaran tadi terlalu nyata dan terang benderang. Lelaki yang sedang kedinginan dan baru
Tubuh indah Amira terus terbawa derasnya air sungai. Taksaka mengubah wujudnya menjadi harimau. Ia berlari dan melompat mengikuti deras air sungai. Beberapa kali Amira meminta tolong. Namun, tidak ada yang berani. Dia dalah pilihan sang prabu. Tidak ada lelaki manapun yang boleh menyentuhnya.Aliran air sungai telah tenang, dan kini terus berjalan memasuki sebuah anak sungai kecil yang menuju istana bagian belakang. Di sana dua orang dayang perempuan telah menunggu Amira. Gadis itu naik dari sungai. Ia tidak pingsan sama sekali hanya syok berat saja.“Ya ampun airnya dingin banget.” Amira menggigil kedinginan.Sampai di belakang istana, Taksaka menghilang dan kembali ke sisi Gusti Prabu. Lelaki yang menggunakan kain serba putih itu sedang menunggu permaisurinya tiba.Amira melihat sekeliling. Tempat yang ia pijak sekarang sangat kolosal. Dan ia bingung harus bagaimana. Gadis cantik itu melihat dua orang dayang, lalu menghampirinya.“Buk, boleh nanya nggak? Saya di mana ya sekarang?” t
Sudah satu bulan Amira menjadi permaisuri di Kerajaan Gunung Kalastra. Ia sangat dimanja dan diperhatikan oleh Gusti Prabu Abhiseka. Satu bulan di dalam dunia gaib milik para siluman. Ternyata sudah satu tahun di dunia manusia biasa.Amira dinyatakan hilang oleh kedua orang tuanya. Polisi sudah dikerahkan untuk mencari di mana keberadaan putri tunggal mereka. Yang merupakan pewaris kebun teh yang amat luas. Sampai ke kaki Gunung Kalastra pun dicari. Namun, ketika para polisi mencari ke sana. Pandangan mereka berdua disesatkan oleh Taksaka. Ia sangat patuh pada perintah tuannya. Amira akan terpenjara di sana selamanya.Kedua orang tua Amira tidak menyerah. Ia pun meminta bantuan orang pintar agar putri mereka kembali. Berbagai macam sesajen telah dihaturkan di kaki Gunung Kalastra, bahan para dukun itu memberanikan diri untuk uji tanding dengan para penghuni asli gunung tersebut. Hasilnya? Yang nekat akan mati di tangan Taksaka.“Pa, gimana, donk, nasib Amira? Anak kita cuman satu, Pa
“Papa, Mama, Amira mau pulang,” ujar Amira.Gadis tak perawan itu menangis sambil berjalan menurun dari Gunung Kalastra. Ada banyak mata gaib yang melihat sang permaisuri menangis. Namun, tanpa titah sang prabu tentu mereka tak akan ada yang berani menyentuh Amira. Sedangkan Abhiseka sendiri sedang sekarat.Tak Amira pedulikan bagaimana keadaan kekasih yang baru ia temui selama satu tahun. Akan mati atau hidup ia sudah tak peduli lagi. Terus saja gadis itu turun hingga ia terjatuh dan jubah putih permaisurinya tersangkut di sebatang pohon.“Ih, nyusahin aja!” gerutu Amira.Jubah itu ia buka hingga terlihat sudah bagian pundak dan punggung yang putih dan mulus. Ia berjalan terus sampai kelelahan dan akhirnya bertemu dengan beberapa orang lelaki yang memang ditugaskan untuk mencari Amira.“Pak, tolong,” ucap Amira sambil duduk. Ia sudah lelah luar biasa, tak sanggup lagi berjalan.“Eh, bentar-bentar, ini, kan, Non Amira yang disuruh cari sama Pak Bondan, ya.” Seseorang mengenali wajah p
Amira bangun dengan kepala pusing luar biasa. Ia masih berada di kamar dan tangannya diberikan infus. Ketika melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang, artinya ia tak sadarkan diri cukup lama, dan Amira tak tahu apa sebabnya. Padahal fisiknya tidak ada yang terluka sama sekali.Saat ingin bangkit dari ranjang, tiba-tiba saja gadis cantik itu mencium aroma wangi cendana yang begitu kuat. Ia tahu ada yang mengikutinya. Amira tidak menyukai hal itu. Baginya kebersamaan dengan Abhiseka sudah tidak perlu diingat lagi.“Pergi kamu dari sini. Aku nggak butuh dijaga sama siapa-siapa. Kehidupan kita berbeda. Aku manusia, kalian semua binatang!” ucap Amira tegas.Lalu aroma cendana itu menghilang perlahan-lahan. Taksaka tidak sepenuhnya pergi, ia hanya mengawasi sang ratu dari kejauhan. Sudah menjadi tugasnya menjaga istri majikannya selagi Gusti Prabu Abhiseka tidak sadarkan diri.***“Amira, Nak, kamu udah sadar. Kenapa infusnya dilepas?” Nyonya Kasih baru saja ingin masu
Amira keluar dari kamar mandi dengan raut wajah cemas. Takut-takut ia menunjukkan test pack itu pada mamanya. Kasih mengambil benda tersebut dan detik itu juga kedua orang tuanya memejamkan mata. Sebuah aib telah terjadi dalam keluarga mereka. Walau tentu saja tidak di kerajaan Gunung Kalastra. Ada alasan mengapa Taksaka harus terus-terusan menjaga sang ratu. Keturunan Abhiseka yang baru akan segera lahir. “Amira, cerita, Nak, siapa yang melakukan ini sama kamu? Kamu ingat siapa orangnya. Kita bisa tuntut dia ke penjara atas tuduhan pemerkosaan.” Kasih duduk di ranjang yang sama dengan putrinya. Bagaimanapun juga aib itu harus hilang, kalau tidak nama baik mereka sekeluarga akan tercoreng.“Amira nggak ingat apa-apa, Ma? Sumpah, Amira nggak bohong. Amira merasa kalau Amira masih suci.” Gadis itu tak henti-hentinya berpaling dari kenyataan. Semudah itu mencampakkan kenangan malam pertama yang begitu indah dan berlanjut dengan malam-malam lainnya. “Gusti Ratu, kau berdusta!” jawab Ta
“Hah, Papa, Mama, tolooong!” jerit Amira dari ruang operasi.Beberapa saat kemudian Nyonya Kasih dan Tuan Bondan sampai. Mereka terkejut melihat bidan mati mengenaskan dengan mata terbuka dan ruangan jadi berantakan.“Cepet pergi dari sini. Sebelum kita jadi tersangka!” Tuan Bondan menarik Amira keluar dari kolong ranjang. Andai mereka berdua bukan orang tua dari permaisuri Abhiseka, mungkin nyawa keduanya akan melayang di tangan Taksaka.Setelah mereka bertiga pergi, jasad ibu bidan hilang begitu saja tanpa jejak. Jelas sekali itu ulah dari manusi harimau penunggu Gunung Kalastra. Tidak hanya sampai di sana, klinik aborsi tersebut terbakar tanpa sebab yang jelas. Amira memperhatikan kobaran api yang semakin mengganas dari dalam mobil. Ia tahu itu ulah siapa. Namun, sang permaisuri memilih bungkam.“Kita pulang dulu. Kita pikirin soal kandungan kamu besok saja!” Pak Bondan memerintahkan supir untuk terus melaju. Mereka tak tahu kalau Taksaka ikut berdiri di atas atap kendaraan. Ia ak
Tiga hari telah berlalu lagi. Pak Bondan membawa calon suami untuk Amira. Gadis itu turun dari lantai dua dengan model rambut baru. Amira memotong rambut sampai pendek sekali persis seperti laki-laki. Ia tak mau membuat siapa pun jatuh hati padanya lagi.“Amira, kenalin, ini calon suami kamu.” Pak Bondan memperkenalkan seorang lelaki pada putrinya. Taksaka hadir dalam pertemuan itu. Hanya saja dia masuk ke dalam patung yang ada di dalam rumah Pak Bondan.“Dia udah tahu, kan, kalau Amira lagi hamil,” ucap gadis cantik itu. Ia tak mau ada yang ditutup-tutupi.“Udah, Nak. Dia terima kamu apa adanya, dia ini pegawai terbaik Papa. Ternyata dia menyimpan rasa sama kamu dari dulu.”“Kamu sadar nggak, kamu dimanfaatin sama keluarga ini?” Amira memandang calon suaminya.“Saya sadar, tapi saya sudah telanjur cinta sama Non Amira,” jawab lelaki bernama Gilang. Ia terlihat seperti pemuda baik-baik.“Oke. Berarti kamu sudah siap jadi ayah? Tapi terserah, sih, mau ngakuin anak ini atau nggak ya say
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist