Pagi itu hari pertama Bayu kembali ke kantor usai cuti selama sepekan.Seharusnya cuti yang dia ambil dihabiskan bersama Fahira di Belanda untuk menyelesaikan masalahnya. Tetapi, belum sempat dia menjelaskan semuanya ke Fahira, papanya harus masuk rumah sakit dan memaksanya harus kembali ke tanah air. Anehnya, pagi itu tak seperti biasanya. Beberapa teman sesama karyawan memang mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya sang ayah. Namun, Bayu menangkap, tak sedikit yang memandangnya sinis. Perasaan Bayu menjadi tak enak. Seperti ada yang tak beres. Samar tertangkap di telinganya, beberapa selentingan yang memerahkan telinga. “Gila, ya, Si Bayu. Siapa yang nyangka anak pendiem gitu, istrinya sampai dua."Seorang karyawati berbisik dengan karyawati lainnya, saat Bayu lewat. Bayu pura-pura tak mendengar, meski dalam hati kesal bukan main. Dari mana mereka tahu? Apakah selama takziyah di rumahnya kemarin, ada gosip yang menyebar?“Gimana bokapnya ngga shock. Balikannya sama mantan yan
“Sedang di panggil sama bos,” kata seorang pegawai wanita yang berbaju putih itu. Ia lalu kembali focus ke pekerjaannya. Tak lama, Faisal keluar dari pintu ruangan yang ada di ujung, lalu berjalan gontai menuju mejanya. Sadar Bayu menunggunya di depan mejanya, Faisal mempercepat langkahnya. “Sal, aku mau bicara!” Bayu mengajak Faisal keluar dari ruangannya.Tidak mungkin dia bicara di dalam ruangan yang setiap suara saja bisa terdengar oleh staf lain. Faisal mengikuti Bayu yang berjalan menuju lorong di tangga darurat. Lorong itu memang sepi dari lalu lalang staf. Para pegawai biasanya memilih menggunakan lift dibanding menggunakan tangga. Hanya saja, jika bersuara keras di lorong itu, suaranya pun bisa terdengar sampai lantai lain yang berada tepat di atas atau di bawahnya. “Sal, aku kira kita bersaudara. Aku tidak menyangka, ternyata dibelakangku kamu menyebarkan aib saudaramu sendiri! Aku kecewa sama kamu!” Bayu berkata dengan penuh emosi. Telunjuknya mengarah ke wajah Fai
Bayu memasuki halaman rumah Nabila dengan amarah yang menggelora. Gemuruh di dadanya menandakan emosinya sedang memuncak. Napasnya pun tersengal. Wajahnya memerah karena aliran darah terkumpul di sana. Rumah yang sekarang ditinggali Nabila dan kedua orang tuanya serta satu orang ART itu sekarang jauh lebih rapi dari sebelumnya. Sayang, tak mampu menyisakan kedamaian bagi Bayu. Rumah itu tetap saja berbeda dengan rumah yang ditinggali Bayu dengan Fahira. Fahira begitu apik menata rumahnya dengan cinta. Membuat suasana menjadi segar dan semerbak oleh udara yang selalu dibiarkan berganti setiap hari. Membiarkannya jendela dan pintu terbuka di pagi hari dan ventilasi yang terbuka saat mereka pergi bekerja. Kamar yang selalu wangi yang menawarkan cinta dan kenyamanan saat beristirahat. Fahira dengan tangannya sendiri selalu telaten menyiapkan makanan kesukaannya. Lambungnya tak pernah merasa kosong dan kelaparan jika Fahira di sampingnya. Mengingat Fahira, ulu hatinya terasa nyeri
Kedua tangan Bayu berkacak pinggang. Seolah ingin menunjukkan arogansinya. Hal yang tak pernah ditunjukkan selama delapan tahun sebagai kekasih Nabila. “Semua orang kantor membicarakan ini semua.” Suara Bayu meninggi. Tatapannya semakin tajam dan menghujam. Dadanya naik turun menandakan emosinya masih belum stabil. “Lalu, kenapa? Kamu malu, iya? Apa kamu lebih suka kalau kamu selingkuh denganku, dibanding menikah?” cerca Nabila tak mau kalah. Ini adalah cara Nabila menagih haknya secara kasar, setelah Bayu enggan memberikannya secara halus. Biar semua orang tahu bahwa Bayu sudah menjadi miliknya. Dia tak peduli menjadi kedua. Dia tak peduli reputasi Bayu hancur. Dia tak peduli dituduh biang meninggalnya mertuanya. Sejatinya, Nabila hanya membutuhkan hak untuk diperhatikan. Nabila hanya memberontak karena semenjak menikah dengan Bayu, pikiran Bayu hanya tertuju pada Fahira, meskipun fisiknya bersamanya. “Mana janjimu? Mana yang katanya kamu masih cinta sama aku? Apa kamu pikir aku
Bayu menghela nafas. Lalu ia menghembuskannya kembali. “Wasiat papaku, aku harus tetap bersama Fahira. Jadi, aku memberikan pilihan padamu. Semua tergantung kamu.” Bayu tak berani menatap Nabila. Dia masih merenungi apa yang akan dia sampaikan agar lugas terdengar dan Nabila bisa memahaminya. “Bay, apa kamu masih belum percaya. Aku mencintaimu. Masih sama dengan delapan tahun yang pernah kita jalani dulu.” Nabila meraih tangan Bayu. Tangan itu digenggamnya, agar Bayu mengerti maksudnya. Bayu mengatupkan mulutnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar Nabila. Berulang kali dia menarik nafas dan menghembuskannya kembali, memberi ruang agar dadanya tidak merasa sesak. Jawaban Nabila bukanlah jawaban yang melegakan baginya. Justru itu semakin menambah beban karena tanggung jawab yang harus dia pikul. Ada penyesalan, tapi semuanya sudah tak berguna lagi. Sekarang yang ada adalah menanggung segala konsekuensi. “Baiklah Nabila. Kita jalani.” Bayu menarik nafas seray
Terkadang, sesuatu perbuatan yang dilakukan bukan karena motivasi dalam diri sendiri, maka akan menimbulkan keterpaksaan, yang berujung akan menyakiti satu sama lain. Begitu juga dengan apa yang telah Bayu lakukan. Dia menikah atas kemauan orang tuanya. Menjalaninya dengan terpaksa. Begitu ada cinta lama bersemi kembali, dia tinggalkan begitu saja Fahira yang sudah berusaha mencintainya. “Mbak, sekarang tidak lagi bicara soal cinta, Mbak. Sekarang soal tanggung jawab dan pengorbanan. Aku sayang mama. Aku ingin papa tenang di sana. Aku tak peduli lagi dengan cinta.” Mata Bayu mulai berkaca-kaca. Dia ingin menunaikan wasiat papanya. Rasa bersalah demikian besar mengalahkan kebimbangannya.“Dik, kamu timbang masak-masak apa yang akan kamu perbuat. Mbak tidak ingin kamu salah melangkah lagi.” Wulan menarik nafas. “Lalu bagaimana dengan Nabila?” lanjut kakak Bayu.“Aku belum tahu, Mbak. Nanti aku bicarakan lagi dengan Nabila. Saat ini yang aku pikirkan bagaimana menebus kesalahanku pada
Sepulang kerja, Bayu kembali ke rumah Nabila. Dia ingin mengutarakan keinginannya untuk kembali menemui Fahira sesuai pesan mamanya, mumpung visa multiple entry-nya masih berlaku. Tetapi, yang menjadi pikiran utama sebenarnya adalah biaya bolak-balik Jakarta-Belanda yang tak murah. Untuk beli tiket pulang-pergi saja, gaji sebulan plus tunjangannya sudah terkuras. Belum lagi biaya akomodasi selama di sana. Ada penyesalan dalam lubuk hati Bayu. Andaikan Fahira tidak kabur, pasti dia tidak perlu keluar uang untuk menemuinya. "Ah, nasi sudah menjadi bubur!"Kini yang bisa dilakukan hanyalah mencari solusi terbaiknya. Bayu memasuki rumah. Karena merasa haus, Bayu langsung menuju dapur. Tiba-tiba matanya memicing saat melihat siapa yang sedang memasak di sana. “Kamu bisa masak?” tanya Bayu saat melihat Nabila sedang di belakang kompor. Selama ini hampir tak pernah Bayu makan di rumah itu. Dia hanya singgah sementara. Kalaupun menginap, acara makan malam juga sudah usai. “Aku sengaja be
Bayu kembali menghembuskan napasnya. Dia tahu Nabila mencoba untuk berubah. Namun, dia sudah terlanjur membuat kesalahan besar yang menebusnya hanya dengan kembali ke Fahira. “Nabila, aku tidak bisa memaksamu untuk bersamaku.” Bayu mengambil jeda. “Karena aku harus menunaikan tanggungjawabku, wasiat papaku,” lanjut Bayu. “Maafkan aku Nabila. Secepatnya aku harus menyusul Fahira.” Bayu tahu dia harus memilih untuk saat ini. Ternyata membagi dua hati tidaklah mudah meskipun bisa saja ada kecendurangan pada salah satunya. Bisa jadi Bayu memiliki cinta untuk Nabila, tapi tanggungjawab untuk orangtuanya kini lebih utama. Apalagi setelah kehilangan papanya, kesehatan mamanya mulai menurun. “Nanti aku akan atur semua keperluanmu selama aku pergi. Percayalah aku akan kembali lagi,” ujar Bayu, lalu ia bergegas meninggalkan ruang makan.Nabila hanya mematung, menatap kepergian Bayu. Baru saja dia merasakan bahagia. Baru saja dia bersemangat menjadi istri yang seutuhnya, namun, seketika terh