“Bayu ...” Suara mama Bayu lirih, tapi berhasil menyentakkan lamunan. Langkah Bayu yang hendak meninggalkan kamar mamanya terhenti. Dia balik lagi menghampir mamanya. Kakaknya kini sedang memijit kaki mamanya. “Jangan kamu lupakan pesan papamu. Jaga Fahira,” ujar mama Bayu lemah. Buliran bening kembali mengalir dari sudut matanya. Wulan segera mengambil tisu dan mengusapkannya untuk mengeringkan linangan air mata yang membasahi wajah mamanya. Bayu mulai mencerna kata-kata mamanya. Mamanya benar. Menjaga Fahira adalah pesan terakhir papanya. Sebagai wujud bakti pada papa dan mamanya, sebagai penebus rasa bersalah atas kepergian papanya, mungkin inilah pilihan yang harus dia jalani selanjutnya. “Insyaalloh, Ma. Bayu akan menjalankan pesan papa.” Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada wajah mamanya. Sebuah senyum terulas meskipun hatinya getir, sebagai tanda dia setuju permintaan Mamanya. Bayu tak ingin mengecewakan mamanya untuk kedua kalinya. Setelah mencium
Mendengar kalimat ayah mertuanya, sontak membuat tubuh Bayu terasa seperti tersengat listrik ribuan volt. Jantungnya bergemuruh. Dadanya terasa sesak. Apalagi, pesan terakhir almarhum ayahnya adalah dia harus menjaga Fahira, artinya tak boleh meninggalkannya. “Maaf Ayah, Ibu. Insyaalloh saya tidak akan berpisah dengan Fahira. Saya akan tetap menjaganya. Fahira sekarang mengandung anak saya.” Bayu berkata dengan mantap. Sekilas, wajah Fahira terbayang di pelupuk matanya. Saat tempo hari Fahira yang polos terlihat pucat dan mual, lalu testpack yang menunjukkan tanda positif. Ayah dan Ibu Fahira saling berpandangan. Baru pekan lalu mereka menelpon Fahira. Namun, putrinya tak mengatakan apapun tentang kehamilan. Fahira hanya menceritakan suka duka di Belanda saja. Bahkan putrinya itu tak sekalipun menanyakan tentang Bayu. “Dari mana kamu tahu?” Ayah Fahira bertanya dengan raut wajah curiga. Bayu mengambil nafas. Dia mengerti kalau mertuanya pasti tidak mempercayai ucapannya. Laki-laki
Pagi itu hari pertama Bayu kembali ke kantor usai cuti selama sepekan.Seharusnya cuti yang dia ambil dihabiskan bersama Fahira di Belanda untuk menyelesaikan masalahnya. Tetapi, belum sempat dia menjelaskan semuanya ke Fahira, papanya harus masuk rumah sakit dan memaksanya harus kembali ke tanah air. Anehnya, pagi itu tak seperti biasanya. Beberapa teman sesama karyawan memang mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya sang ayah. Namun, Bayu menangkap, tak sedikit yang memandangnya sinis. Perasaan Bayu menjadi tak enak. Seperti ada yang tak beres. Samar tertangkap di telinganya, beberapa selentingan yang memerahkan telinga. “Gila, ya, Si Bayu. Siapa yang nyangka anak pendiem gitu, istrinya sampai dua."Seorang karyawati berbisik dengan karyawati lainnya, saat Bayu lewat. Bayu pura-pura tak mendengar, meski dalam hati kesal bukan main. Dari mana mereka tahu? Apakah selama takziyah di rumahnya kemarin, ada gosip yang menyebar?“Gimana bokapnya ngga shock. Balikannya sama mantan yan
“Sedang di panggil sama bos,” kata seorang pegawai wanita yang berbaju putih itu. Ia lalu kembali focus ke pekerjaannya. Tak lama, Faisal keluar dari pintu ruangan yang ada di ujung, lalu berjalan gontai menuju mejanya. Sadar Bayu menunggunya di depan mejanya, Faisal mempercepat langkahnya. “Sal, aku mau bicara!” Bayu mengajak Faisal keluar dari ruangannya.Tidak mungkin dia bicara di dalam ruangan yang setiap suara saja bisa terdengar oleh staf lain. Faisal mengikuti Bayu yang berjalan menuju lorong di tangga darurat. Lorong itu memang sepi dari lalu lalang staf. Para pegawai biasanya memilih menggunakan lift dibanding menggunakan tangga. Hanya saja, jika bersuara keras di lorong itu, suaranya pun bisa terdengar sampai lantai lain yang berada tepat di atas atau di bawahnya. “Sal, aku kira kita bersaudara. Aku tidak menyangka, ternyata dibelakangku kamu menyebarkan aib saudaramu sendiri! Aku kecewa sama kamu!” Bayu berkata dengan penuh emosi. Telunjuknya mengarah ke wajah Fai
Bayu memasuki halaman rumah Nabila dengan amarah yang menggelora. Gemuruh di dadanya menandakan emosinya sedang memuncak. Napasnya pun tersengal. Wajahnya memerah karena aliran darah terkumpul di sana. Rumah yang sekarang ditinggali Nabila dan kedua orang tuanya serta satu orang ART itu sekarang jauh lebih rapi dari sebelumnya. Sayang, tak mampu menyisakan kedamaian bagi Bayu. Rumah itu tetap saja berbeda dengan rumah yang ditinggali Bayu dengan Fahira. Fahira begitu apik menata rumahnya dengan cinta. Membuat suasana menjadi segar dan semerbak oleh udara yang selalu dibiarkan berganti setiap hari. Membiarkannya jendela dan pintu terbuka di pagi hari dan ventilasi yang terbuka saat mereka pergi bekerja. Kamar yang selalu wangi yang menawarkan cinta dan kenyamanan saat beristirahat. Fahira dengan tangannya sendiri selalu telaten menyiapkan makanan kesukaannya. Lambungnya tak pernah merasa kosong dan kelaparan jika Fahira di sampingnya. Mengingat Fahira, ulu hatinya terasa nyeri
Kedua tangan Bayu berkacak pinggang. Seolah ingin menunjukkan arogansinya. Hal yang tak pernah ditunjukkan selama delapan tahun sebagai kekasih Nabila. “Semua orang kantor membicarakan ini semua.” Suara Bayu meninggi. Tatapannya semakin tajam dan menghujam. Dadanya naik turun menandakan emosinya masih belum stabil. “Lalu, kenapa? Kamu malu, iya? Apa kamu lebih suka kalau kamu selingkuh denganku, dibanding menikah?” cerca Nabila tak mau kalah. Ini adalah cara Nabila menagih haknya secara kasar, setelah Bayu enggan memberikannya secara halus. Biar semua orang tahu bahwa Bayu sudah menjadi miliknya. Dia tak peduli menjadi kedua. Dia tak peduli reputasi Bayu hancur. Dia tak peduli dituduh biang meninggalnya mertuanya. Sejatinya, Nabila hanya membutuhkan hak untuk diperhatikan. Nabila hanya memberontak karena semenjak menikah dengan Bayu, pikiran Bayu hanya tertuju pada Fahira, meskipun fisiknya bersamanya. “Mana janjimu? Mana yang katanya kamu masih cinta sama aku? Apa kamu pikir aku
Bayu menghela nafas. Lalu ia menghembuskannya kembali. “Wasiat papaku, aku harus tetap bersama Fahira. Jadi, aku memberikan pilihan padamu. Semua tergantung kamu.” Bayu tak berani menatap Nabila. Dia masih merenungi apa yang akan dia sampaikan agar lugas terdengar dan Nabila bisa memahaminya. “Bay, apa kamu masih belum percaya. Aku mencintaimu. Masih sama dengan delapan tahun yang pernah kita jalani dulu.” Nabila meraih tangan Bayu. Tangan itu digenggamnya, agar Bayu mengerti maksudnya. Bayu mengatupkan mulutnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar Nabila. Berulang kali dia menarik nafas dan menghembuskannya kembali, memberi ruang agar dadanya tidak merasa sesak. Jawaban Nabila bukanlah jawaban yang melegakan baginya. Justru itu semakin menambah beban karena tanggung jawab yang harus dia pikul. Ada penyesalan, tapi semuanya sudah tak berguna lagi. Sekarang yang ada adalah menanggung segala konsekuensi. “Baiklah Nabila. Kita jalani.” Bayu menarik nafas seray
Terkadang, sesuatu perbuatan yang dilakukan bukan karena motivasi dalam diri sendiri, maka akan menimbulkan keterpaksaan, yang berujung akan menyakiti satu sama lain. Begitu juga dengan apa yang telah Bayu lakukan. Dia menikah atas kemauan orang tuanya. Menjalaninya dengan terpaksa. Begitu ada cinta lama bersemi kembali, dia tinggalkan begitu saja Fahira yang sudah berusaha mencintainya. “Mbak, sekarang tidak lagi bicara soal cinta, Mbak. Sekarang soal tanggung jawab dan pengorbanan. Aku sayang mama. Aku ingin papa tenang di sana. Aku tak peduli lagi dengan cinta.” Mata Bayu mulai berkaca-kaca. Dia ingin menunaikan wasiat papanya. Rasa bersalah demikian besar mengalahkan kebimbangannya.“Dik, kamu timbang masak-masak apa yang akan kamu perbuat. Mbak tidak ingin kamu salah melangkah lagi.” Wulan menarik nafas. “Lalu bagaimana dengan Nabila?” lanjut kakak Bayu.“Aku belum tahu, Mbak. Nanti aku bicarakan lagi dengan Nabila. Saat ini yang aku pikirkan bagaimana menebus kesalahanku pada