POV FAHIRABelum sempat aku menjelaskan pada Mayang, tiba-tiba bel pintu kamarku kembali berbunyi. Mayang segera beranjak sambil menyambarkan jilbab yang tergantung di balik pintu kamar dan melemparkannya ke arahku. Jilbab segera kupakai sebelum Mayang membuka pintu. Dahiku mengernyit saat menyadari Mayang sengaja menahan pintu agar hanya terbuka setengah. Dia berdiri di mulut pintu yang terbuka.Aku tak dapat melihat dia berbicara dengan siapa. Tetapi, dari bahasanya, sepertinya dengan anak Indonesia juga. Mungkin yang tinggal di gedung ini juga. Buktinya dia bisa masuk tanpa memencet bel khusus tamu dari luar. Mendengar Mayang bernegosiasi, aku sedikit penasaran. Dengan siapa sebenarnya dia berbicara? Tamu Mayang, atau tamuku? Nggak mungkin rasanya kalau tamu Mayang ditemui di depan kamarku. Soalnya, dari tadi aku tak melihat Mayang memegang ponsel untuk berhubungan dengan orang lain. Hanya ada satu kemungkinan. Dia adalah tamuku yang juga dikenal Mayang. Negosiasi terdengar kia
Mayang sudah pergi dari kamarku. Dia ada janji mengerjakan tugas kelompok dengan temannya di kampus. Aku sendiri memilih istirahat setelah meminum obat pereda nyeri. Namun, rasa melilit di perutku karena lapar, tak bisa kuelakkan. Siang tadi aku hanya makan roti setangkup dan satu buah pisang. Bagi orang bule, makan siang roti itu sudah cukup. Mereka makan untuk hidup. Berbeda dengan kita yang hobi kuliner, hidup untuk makan! Aku bergegas ke luar rumah. Malas rasanya memasak untuk makan sore. Entahlah, tiba-tiba aku ingin sekali makan doner yang biasa dijual di restaurant Turki. Sepertinya irisan daging dan sayuran saladnya begitu menggoda dan kini membuat aku menelan ludah saat membayangkannya. Segera kuayunkan langkah kaki keluar gedung sambil menenteng tas belanja. Aku juga ingin mampir supermarket. Selain cuci mata, aku juga perlu membeli beberapa keperluan harian, buah, susu dan roti. Setelah bersepeda selama sepuluh menit, aku tiba di depan salah satu supermarket. Di sebel
“Ra, kamu sakit? Wajahmu pucat,” tutur Mas Bayu dengan penuh kecemasan. Dia menungguku di pintu toilet saat aku lari ke sana karena mulutku terasa mual. Dalam hati, aku bersorak. Baru kali ini, Mas Bayu demikian mencemaskanku. Mungkin karena biasanya aku terlalu mandiri dan tak pernah meminta perhatiannya.Namun, mau bagaimana lagi, semua perlengkapan obat-obatan ada di apartemenku. Sementara di sini, namanya apartemen sewaan, pasti tidak kumplit. Lagi pula, kalaupun ada P3K, mana ada bule nyimpen minyak angin. “Cuma butuh istirahat saja kayaknya.” Tanpa izin, aku merebah di kasur di apartemen Mas Bayu. Anggap saja milik sendiri. Jantungku berdebar saat aku merasakan Mas Bayu ikut merebah di sampingku. Bahkan dia bergeser mendekat hingga tercium aroma segar tubuhnya, yang sebenarnya aku rindukan juga. Sayangnya, mendadak perutku kembali merasa diaduk-aduk. Aku segera bangkit dan berlari ke toilet lagi, karena merasa ada respons dalam perutku yang minta untuk segera dikeluarkan.
Dia segera mengeluarkan satu paket makanan dalam kemasan kertas yang berisi burger dan mengangsurkannya padaku. Anehnya, kini dia tidak mendekatiku lagi. Mas Bayu memilih menjaga jarak. “Mbak Wulan dulu saat hamil, persis kayak kamu gitu. Tidak mau didekati oleh suaminya.” Aku urung menggigit burger gara-gara ucapannya. Mbak Wulan adalah kakak perempuan Mas Bayu yang sekarang tinggal di luar kota. Akupun hanya bertemu dengannya saat lebaran. Konon saat Mbak Wulan hamil anak pertama, memang tinggal di rumah orang tuanya. Tiba-tiba perasaanku menjadi campur aduk. Burger yang aromanya menggoda itu, kini tak dapat membuatku selera untuk menggigitnya. Bagaimana jika dugaan Mas Bayu kalau aku sedang hamil itu benar? “Kok malah bengong ... Nanti keburu nggak enak. Aku juga beli ayam gorengnya, nih.” Mas Bayu mengeluarkan dus berisi paketan chicken wings. Mataku mengikuti langkah Mas Bayu yang beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan dengan perasaan tak karuan. Usai mencuci t
“Selamat, ya. Kamu sudah jadi calon ibu.”Entah sejak kapan Mas Bayu sudah berdiri di belakangku yang berdiri membelakangi pintu toilet. Dia memeluk pinggangku dengan dagu yang diletakkan diatas bahuku. Dua benda ini masih di tangan. Dia bisa melihat hasilnya dengan jelas meski aku tak menunjukkan padanya. Serta merta kurenggangkan pelukannya. Hatiku masih bimbang. Normalnya, aku bahagia. Mungkin begitu juga Mas Bayu melihat hasil ini. Siapapun, yang sudah menikah, pasti menantikan buah hati. Tapi, posisiku kini berbeda. Aku yang berlari ingin melepaskan diri, seolah terperangkap kembali. Ini sama sekali tak terduga. Ingatanku kembali pada pembahasan dengan Mayang tentang pembalut. Saat itu aku anggap normal saja belum datang tamu bulanan selama dua bulan. Bahkan, semalam saat Mas Bayu membeli testpack, aku masih menganggapnya sebagai guyonan. Tapi, kini? Dengan benda ni menunjukkan tanda postif dan dua merek yang berbeda menunjukkan hasil yang sama, apakah aku harus meragukan ak
Meski ada tanda tanya besar di kepalaku, namun aku tetap pada pendirianku. Aku harus kuat. Aku tak boleh rapuh. Aku berusaha tidak menghiraukan lagi kata-katanya. Aku bukan Fahira yang dulu yang hanya bisa mengalah dan mengalah. Mas Bayu masih mematung saat aku meninggalkannya di parkiran sepeda. Tempat kuliahku sebenarnya hanya di sebelah apartemen. Aku sengaja membawa sepeda, agar nanti kalau mendadak ada keperluan, aku tak repot balik ke apartemen. Meski berusaha tak menggubris Mas Bayu, si*alnya, sepanjang kuliah, justru aku tak bisa berkonsentrasi. Ada rasa sesal telah tak mengacuhkannya. Padahal statusku masih istrinya. Aku jadi teringat pesan ayah dan ibu. Kalau aku harus mendapat ridho jika ingin hidupku berkah. “Aku lihat tadi Mas kemaren mencarimu. Sekarang masih menunggu di depan gedung tempat tinggal kita.” Aku bertemu Rian di dekat coffee machine. Setiap 45 menit jam perkuliahan biasanya kita diberi break sepuluh menit untuk sekedar ke toilet atau mengambil minu
POV FaisalApakah cinta harus selalu memiliki? Mungkin ini pertanyaan klise lagi b*doh!Namaku Faisal. Sudah lama aku tertarik pada gadis bernama Fahira, adik angkatan saat kuliah dulu. Mungkin dia tak pernah tahu siapa aku. Tepatnya, tak mau tahu siapa aku. Siapa yang tak kenal Faisal. Selain aku seorang aktivis organisasi kampus, para mahasiswi mengakui bahwa aku termasuk jajaran mahasiswa yang layak dicari perhatiannya, alias tampan! Boleh dong aku sombong. Buktinya jaman mahasiswa, banyak mahasiswi yang tergila-gila padaku. Kecuali satu, FAHIRA!Aku heran, kenapa dia tak menunjukkan sedikit saja ketertarikannya padaku. Tidak seperti gadis lain yang matanya tak terkontrol saat melihatku. Ini juga yang menjadikan aku penasaran. Sayangnya, hingga aku lulus kuliah, aku tak pernah mendapatkan jawabannya. Selepas S1 aku mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena selain prestasi akademik, juga ditunjang aktivitas organisasiku. Apakah aku melupakan Fahira? Tentu tidak. Dia adalah satu
Bagaimana bisa di jaman yang serba canggih begini, dia tak dapat menemukan Fahira? Ya, aku akui dia sungguh b*doh. Aku saja dengan cepat bisa mengetahui di mana dia berada. Mungkin juga karena aku mabok cinta oleh pesona Fahira, sehingga aku tak pernah bisa melepaskan hal-hal tentang dia sejenak saja. Saat aku tahu Bayu kehilangan Fahira, yang kulakukan hanya satu, mencarinya memakai search engine yang ada di internet. Masukkan saja hal-hal yang masuk akal tentangnya. Jika kamu tidak menemukannya, buka saja akun medsos kamu. Kebetulan aku punya banyak teman yang punya koneksi langsung dengan Fahira. Tak butuh waktu lama, aku menemukannya foto Fahira di antara deretan mahasiswa baru yang sedang menghadiri acara penyambutan di salah satu kampus di belahan benua biru. Bayu memang teramat lemah untuk mencari hal-hal yang berbau logika. Karena nalarnya sudah mati karena cinta. Berkali aku mengatakannya, jika aku sanggup mencarinya dan dia akan menyesal selamanya. Tapi gertakanku t