---POV Fahira--- Begitu dosen menutup perkuliahan, aku tak memedulikan teman-teman yang masih sibuk konsultasi dan bertanya ini-itu. Aku langsung meninggalkan ruang kelas. Pikiranku satu. Aku harus bertemu dengan Mas Bayu sebelum ia meninggalkan Indonesia. Aku memang b*doh. Hatiku plin-plan. Kadang ingin menyudahi hubungan ini, namun tak mudah menghilangkan rasa sayangku pada pria yang pertama kali mengisi hatiku itu. Benci dan cinta nyatanya seperti tak berbatas. Meski aku tahu dia sudah berkhianat, kenapa hatiku masih sulit mengurai ikatan dengan Mas Bayu? Sepanjang perjalanan dari kampus hingga stasiun, hatiku dipenuhi oleh kebimbangan. Apakah aku akan melepas atau menahannya. Hari belum terlalu sore. Tandanya para pekerja kantoran yang pergi dengan kereta belum pulang, sehingga cukup sulit mencari parkiran sepeda di stasiun. Tiga slot ruang parkir yang disediakan, nyatanya masih terisi penuh. Aku harus berputar beberapa kali untuk menemukan ruang tersisa untuk sepedaku.
---POV Author--- Papa Bayu sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ayah dan Ibu Fahira sudah pamit kembali ke Yogya setelah mengetahui kondisi besannya sudah stabil. Meskipun ada amarah, rasa kemanusiaan mengalahkan semua itu. Di sudut ruangan, Faisal masih menatap dengan sorot ketidaksukaan pada Nabila, wanita yang telah melukai Fahira, sang pujaan hatinya. Enggan rasanya mendekati bibinya yang tengah duduk di sebelah Nabila. Nabila yang sedang menghibur mama mertuanya, di mata Faisal tampak seperti duri penghancur kebahagiaan Fahira. Ingin rasanya dia berkata kasar dan mengusir wanita itu dari ruang perawatan pamannya. Tapi, dia bisa apa. Bahkan, dia bukan siapa-siapa. Berada di tempat ini pun hanya kebetulan karena tadi bertandang ke rumah pamannya. Nabila, wanita seusianya yang sudah menikah dua kali itu, sama sekali tidak menarik di mata Faisal. Mungkin mata Bayu sudah rabun hingga bisa tergila-gila padanya. Tapi, dari gayanya, terlihat Nabila sedang tidak baik-baik saja. Fai
Bayu segera mendekat ke kerumunan saat menyadari Nabila sudah tak ada di kamar.Wajah Bayu seketika pias. Nabila terlihat olehnya sedang diamankan oleh petugas rumah sakit. Bayu menyibak kerumunan. Ia menghampiri Nabila tanpa mengindahkan tatapan aneh orang-orang yang berkerumun. “Nabila, kamu kenapa?” Bayu menyamakan tinggi kepalanya dengan kepala Nabila. Tangannya memegang dagu Nabila, memaksa istrinya itu agar melihat ke arahnya. Tapi, tatapan mata Nabila hanya sendu dan kosong. Bayu merengkuh mantan kekasihnya yang kini sudah menjadi istrinya. Rasa bersalah menyeruak begitu saja. Diakuinya memang dia abai sejak kehilangan Fahira. Hati Bayu dalam persimpangan. Sudut hatinya bahagia dengan kehamilan Fahira, namun dia sadar, selama ini tengah menyakiti Nabila dengan sikap abainya. Ada penyesalan dengan keputusan gegabahnya. Mengapa dahulu dia tak berfikir jauh. Jika kesenangan sesaatnya bisa menyakit dua wanita dalam waktu yang bersamaan. Menikah lagi bukan lah hanya urusan cin
“Bay, apa kamu masih kecewa padaku?” ujar Nabila. Pandangannya tetap keluar jendela. Bayu memejamkan matanya. Dia gamang akan menjawab apa. Mungkin seandainya kejadiannya tidak bersamaan dengan perginya Fahira, mungkin dia tak pernah menjadikan masalah orang tua Nabila menjadi masalah besar. Bahkan, bisa jadi dia dengan sukarela menawarkan keduanya tinggal bersamanya. Kekecewaannya terjadi karena bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Fahira, hingga semua terasa bercampur aduk jadi satu dalam dadanya. Bayu menghela napasnya dalam. Lalu diraihnya jemari Nabila. Wanita yang dulu pernah menjadi kekasih hatinya. Namun, tanpa disadarinya, sisi lain ruang hatinya sedikit demi sedikit telah terisi oleh keberadaan Fahira. “Bay, Fahira sudah meninggalkanmu. Kenapa kamu masih mengharapkannya. Bukankah kamu yang dulu bilang padaku, bahwa kamu tak pernah mencintainya?” ujar Nabila tanpa melepaskan padangan dari luar jendela yang ditatapnya. “Dia hamil anakku, Nabila. Aku tidak bisa me
Malam itu Bayu memutuskan tinggal di rumah Nabila. Bayangan tadi di rumah sakit kembali menari di benaknya. Ada rasa menyesal mengapa dulu harus memaksakan kembali ke Nabila yang kini menyebabkan Nabila terluka dan ingin mengakhiri hidupnya. Keputusannya menikahi Nabila tak hanya menimbulkan luka batin pada diri Nabila disebabkan karena dia mengabaikannya selama pencarian Fahira. Namun, kembalinya dia ke Nabila juga menimbulkan luka di hati Fahira yang membuatnya memilih pergi meninggalkannya. Meninggalkan salah satunya, tentulah bukan pilihan saat ini. Bagaimanapun, dia harus bertanggungjawab dengan keputusan yang telah dipilihnya. Meninggalkan Nabila, khawatir mengancam jiwanya. Meninggalkan Fahira akan mengancam kesehatan papanya. Bayu tak dapat memicingkan matanya. Usai subuh, dia sudah bersiap akan ke rumah sakit. Hari ini papanya sudah di perkenankan untuk keluar. “Aku ikut!” ujar Nabila saat melihat Bayu sudah siap. Ini adalah kesempatan untuk menggambil hati mertuanya.
“Sebaiknya kamu ajak dia pulang.” Faisal melirik ke Nabila, lalu kembali menatap Bayu. Mereka bertiga dan Mama Bayu masih menunggu di depan ruang ICU. Papa Bayu mengalami stroke kedua. Bayu menghela napas. Dia tahu Faisal tidak menyukai Nabila. Tapi, dia tak terima jika Faisal menganggap kehadiran Nabila sebagai penyebab papanya kembali mengalami stroke. Bahkan, dia sengaja mengajak Nabila untuk menunjukkan pada papa dan mamanya bahwa Nabila adalah menantu yang baik. Yang perhatian dengan papa mertuanya yang sedang sakit. “Kalau kamu tidak segera antar dia pulang, aku akan ajak bibi pulang. Biar kalian berdua yang mengurus paman. Aku tak sudi bibi berdekatan dengan wanita itu,” ancam Faisal. Ingin rasanya Bayu menonjok muka Faisal jika tidak ingat ini adalah rumah sakit. Tetapi, dia memilih segera mengajak Nabila keluar. Ini adalah hal yang rumit. Apalagi, Bayu menduga Faisal sudah mempengaruhi mamanya. Faisal mengatakan bahwa kemungkinan stroke kedua yang dialami papanya di
“Bayu ...” Suara mama Bayu lirih, tapi berhasil menyentakkan lamunan. Langkah Bayu yang hendak meninggalkan kamar mamanya terhenti. Dia balik lagi menghampir mamanya. Kakaknya kini sedang memijit kaki mamanya. “Jangan kamu lupakan pesan papamu. Jaga Fahira,” ujar mama Bayu lemah. Buliran bening kembali mengalir dari sudut matanya. Wulan segera mengambil tisu dan mengusapkannya untuk mengeringkan linangan air mata yang membasahi wajah mamanya. Bayu mulai mencerna kata-kata mamanya. Mamanya benar. Menjaga Fahira adalah pesan terakhir papanya. Sebagai wujud bakti pada papa dan mamanya, sebagai penebus rasa bersalah atas kepergian papanya, mungkin inilah pilihan yang harus dia jalani selanjutnya. “Insyaalloh, Ma. Bayu akan menjalankan pesan papa.” Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada wajah mamanya. Sebuah senyum terulas meskipun hatinya getir, sebagai tanda dia setuju permintaan Mamanya. Bayu tak ingin mengecewakan mamanya untuk kedua kalinya. Setelah mencium
Mendengar kalimat ayah mertuanya, sontak membuat tubuh Bayu terasa seperti tersengat listrik ribuan volt. Jantungnya bergemuruh. Dadanya terasa sesak. Apalagi, pesan terakhir almarhum ayahnya adalah dia harus menjaga Fahira, artinya tak boleh meninggalkannya. “Maaf Ayah, Ibu. Insyaalloh saya tidak akan berpisah dengan Fahira. Saya akan tetap menjaganya. Fahira sekarang mengandung anak saya.” Bayu berkata dengan mantap. Sekilas, wajah Fahira terbayang di pelupuk matanya. Saat tempo hari Fahira yang polos terlihat pucat dan mual, lalu testpack yang menunjukkan tanda positif. Ayah dan Ibu Fahira saling berpandangan. Baru pekan lalu mereka menelpon Fahira. Namun, putrinya tak mengatakan apapun tentang kehamilan. Fahira hanya menceritakan suka duka di Belanda saja. Bahkan putrinya itu tak sekalipun menanyakan tentang Bayu. “Dari mana kamu tahu?” Ayah Fahira bertanya dengan raut wajah curiga. Bayu mengambil nafas. Dia mengerti kalau mertuanya pasti tidak mempercayai ucapannya. Laki-laki