Sajadah berwarna hijau dan putih telah terhampar di ruangan berukuran empat meter kali empat meter, arahnya menghadap kepada kiblat orang Islam untuk beribadah, yakni Kakbah di Mekkah. Di atasnya ada seorang pria yang tengah bersujud khusyuk meletakkan dahinya di permukaan sajadah, kedua telapak tangannya pun juga menyentuh kain sajadah yang bertekstur sangat lembut. Kedua matanya sudah memanas ingin mengeluarkan cairan beningnya, tetapi dia menahannya agar tidak keluar, pasalnya ini masih siang, bisa saja nantinya dia akan bertemu orang dan jejak bekas tangisnya masih nampak. Menangis itu wajar untuk semua manusia, baik laki-laki dan perempuan tidak ada pengecualian, pun bagi pria ini juga sama, dia pernah menangis kok seumur hidupnya selain masa kanak-kanak nya, yakni yang di garis bawahi ada ketika seorang perempuan terbaik dalam hidupnya setelah umi nya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ingin sekali Ya'qub menangis kali ini bukan karena tertimpa kehilangan itu lagi di
"Gue dan lo tidak akan pernah menikah," tutur pria berambut hitam ikal itu, dari intonasi bicaranya kental sekali begitu dingin dan datar. "Ohh tidak tidak tidak, kita pasti menikah," balas gadis di depannya mantap dan berani. Dia sebenarnya cukup terkejut dengan gaya bahasa lawan bicara yang berdiri di depannya ini, biasanya pria ini menggunakan bahasa formal, paling tidak menggunakan saya dan anda, sebab aku dan kamu terasa tidak pernah terdengar, tetapi yang kali ini adalah lo gue, kata yang terasa cukup kasar untuk lelaki yang dikenali begitu nyaris sempurna keagamaannya, perihal adab kepada orang yang lebih tua, tata krama kepada yang lebih muda, sopan santun dengan yang seumuran. Termasuk perihal gaya bahasa Ya'qub begitu apik dan tertata, sopan dan begitu mempesona. "Minggir! Gue ada operasi!" tukas Ya'qub mengusir, pasalnya Hanna berdiri tepat di depan pintu, seandainya Hanna sedikit saja berada ketepi dan dia bisa lewat, maka bisa Ya'qub pastikan dia akan langsung saja berj
Tatapan curiga tepatnya menyelidik yang dilayangkan seseorang ke arahnya tidak terlalu membuat gadis bermata blue sapphire itu terganggu, hanya saja dia sedikit risih. Berhubung risih dia pun tidak mau membiarkan ditatap seperti itu lebih lama, Nayyara dengan segera memberikan pelototan mata. "Bukan urusan lo deh!" sentaknya, mencoba mengeluarkan sisinya yang urakan, bukan feminim seperti yang sekarang ini tengah terjadi, ini pun sebenarnya sangat sedikit. "Ciee, gue bakalan punya ponakan nih yee," goda pria di depannya bersenda gurau. Karakternya memang begini, suka bercanda dan melawak, pun Nayyara sendiri sebenarnya juga begitu, dia suka bercanda dan banyak bicara, sayangnya dia sedang tidak mood sekarang disebabkan kehabisan energi sekaligus juga pembahasannya ini yang terdengar begitu menyebalkan. Nayyara tau dan bisa menebak dengan jelas apa yang ada di pikirannya pria di depannya ini, Yusuf pasti berpikiran Nayyara tengah hamil makanya muntah-muntah di pagi hari begini, sepe
Bibir bawah seorang gadis berhijab hitam itu bergetar hebat mendengar kalimat dari seorang lelaki paruh baya barusan, ia merasa sudah tidak bisa lagi menahan untuk tidak memberikan teguran, bukan kepada lelaki paruh baya itu, tetapi kepada putranya lelaki tersebut, seorang pria muda yang duduk diam di pinggiran kasur rumah sakit. "Muhammad Ansel Zarawka!" pekik gadis itu kemudian. Sudah lekat dalam pengetahuan banyak orang ya kan bahwa jika seseorang menyebutkan nama lengkap seseorang, itu artinya dia ingin berbicara serius dan kalimatnya harus didengarkan. Itu pun juga termasuk dalam pengetahuannya Ansel dan sang papa, sebab mereka berdua juga sering melakukan itu, tepatnya sih papanya Ansel sering menyebutkan nama lengkapnya setiap kali mereka berdebat, terhitung tidak hanya sekali setiap perdebatan. Ansel tak suka nama nya baik nama panggilan terlebih lagi nama lengkap terlalu sering disebutkan oleh papanya, baginya mulut papanya tidak pantas mengucapkan namanya. Cukup kelewatan
Mulut seorang gadis yang berwarna merah muda itu sejak beberapa menit yang lalu tidak berhenti komat kamit bukan karena membaca mantra melainkan disebabkan menggerutu tanpa henti. "Waalaikumussalam, kunci rumah ada di nona?"Gelengan kepala gadis itu tampilkan setelah salamnya dijawab, dan dilempari pertanyaan. Ia sudah menghentikan kegiatan ngedumel unfaedah yang dirinya lakukan. "Ya ampun, nona, untung saya sudah datang, kalau saya belum datang, nona perlu hubungin den Ya'qub dulu supaya bisa masuk rumah," cerocos pembantu rumah tangga di rumahnya abi Yasser Ahnaf Al Lathif dan umi Yasmin Al Aziz ini, bibi Siti panggilannya kebiasaan. Memang benar apa yang diucapkan bibi Siti, biasanya beliau datang lebih siang daripada ini, hari ini sedang ada kemudahan saja di rumahnya beliau, makanya bisa datang sedikit lebih pagi. Jam segini memang sudah lewat jam sarapan, memang bukan bibi Siti yang menyiapkan sarapan, biasanya umi Yasmin memasak sendiri dan bibi Siti hanya bertugas beberes.
Setelah memegang pigura foto seorang gadis yang begitu cantik itu, tangan Nayyara rasanya tidak bisa untuk tidak menyalurkan kelembutan dalam memegangi pigura tersebut, rasanya begitu wajib baginya menjaga pigura agar tidak lecet sedikit pun. Dengan hati-hati Nayyara mendudukkan diri di pinggiran kasur besar kepunyaan Ya'qub, tidak lama setelah itu dirinya juga menjatuhkan punggungnya ke kasur dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah. Perlahan-lahan foto di pigura itu kembali ia tatap, setelahnya rasa kantuk menerjang kedua mata Nayyara, merasa tak mampu melawannya Nayyara memilih untuk mencoba tidur saja, toh dia juga sedang bingung harus melakukan apa, yang dirinya perlukan adalah bertemu dengan Ya'qub dan berbicara dengan pria itu, sayangnya sampai kini mereka belum bertemu, jadilah segala pembicaraan terpaksa Nayyara tahan. Nayyara tidak tahu apakah yang dia rasakan begitu melihat foto gadis ini adalah perasaan cemburu? Mengapa dia harus cemburu? Ya'qub bukan siapa-siapanya, j
Perasaan bersalah langsung menghujam hatinya pria bermata hitam kelam tersebut, pendengarannya yang sangat tajam membuatnya tetap mendengar kalimat dari gadis yang duduk memeluk lutut di pinggiran bawah kasur, selain itu pernah dia batinkan bukan? Bahwa telinganya seolah-olah tidak akan pernah tuli atas kata yang diucapkan Nayyara sepelan apa pun itu. Atas dua kata Nayyara takut itulah Ya'qub dirundung rasa bersalah yang teramat sangat sekarang ini. "G-gue gak maksud..."Kini keadaan seolah berbalik, sekarang Ya'qub yang sedikit terbata dalam ucapannya. "Nayyara tidak berani, hiks..."Air mata terjun bebas dari kedua matanya Nayyara, isakan nya terdengar begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya, termasuk satu sisi di hati kecilnya Ya'qub pun juga. Selain bersalah Ya'qub pun juga merasa bingung sekarang ini, memang tidak pertama kalinya Ya'qub melihat Nayyara menangis di depannya karena ketakutan, tapi ini sudah yang kedua kalinya mungkin. Namun, bedanya situasi tangis pertam
"Bukan dia yang beruntung.""Lalu?" tanya gadis berambut coklat itu keheranan."Justru dia yang dirugikan telah hadir di tengah-tengah Al Lathif, tersakiti, terlukai, dituntut, pesakitan apa lagi yang diinginkan agar dia bisa dinilai jadi mutiara keluarga yang sempurna?""Kami yang beruntung dia terlahir ke dunia, hadirnya dia di dalam kehidupan adalah kebahagiaan terbesar keluarga Al Lathif, meski dia bukan bagian Al Lathif," ucapan Ya'qub memelan pada kalimat terakhir. "Terutama gue, dengan adanya dia semuanya terasa lancar dan mudah, hingga dia pergi, semuanya runyam, berantakan, dan tidak pernah sebaik ketika ia masih nyata di dunia."Nayyara menganggukkan kepalanya sekali, dalam hati gadis itu membenarkan, kemudian berujar untuk memantapkan, "Benar, saking runyam nya setelah dia tiada, lo dipertemukan dengan gue yang hanya membuat lo tidak bahagia.""Bukan begitu." Tak tau kenapa Ya'qub merasa ingin meralat kalimatnya Nayyara. "Lantas?""Bertemu dengan lo bukan runyam pertama y