"Aku pamit keluar.""Apa maksudmu, Medina?" tanya seorang pria berkulit kecoklatan yang reflek berdiri dari duduknya begitu mendengar tiga kata tadi diucapkan seorang gadis. "Ya aku mau keluar, tidak sepatutnya aku berlebihan mendengarkan pembicaraan antara ayah dan anak, yang pembahasannya sendiri sudah kelewatan," jelas Medina lugas. "Sudah kubilang, bukan? Kamu harus mendengarkan selengkapnya dari awal hingga akhir! Karena kamu sudah terlanjur masuk pada duniaku hingga tau dengan berbagai lukaku!" tegas Ansel bersikeras. "Ku tegaskan menjawab tidak mau jika kamu menyuruhku mendengarkan aib masa lalu papamu. Semua manusia punya masa lalu, sama-sama punya aib pastinya di masa lampau, tetapi tidak seharusnya selalu diungkit, bukan pula harus begitu diingat, tidak berarti mesti dilupakan, masa lalu perlunya diingat untuk menjadi batu loncatan di masa depan, jika menyakitkan pertama diingat agar tidak terjerumus ke lubang yang sama, kedua agar bisa menjadi lebih baik lagi. Apabila me
AC mobil sudah disetel dalam kadar yang paling tinggi, tapi tetap saja bagi pria yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu itu rasanya hawa sekarang ini sangat panas, akhirnya dia memilih menurunkan kaca mobil saja dengan cara menekan satu tombol agar udara dari luar menerpa dirinya. Masih tak ada perubahan, kepanasan masih mendominasi yang saat ini ia rasakan. Gue kepanasan atau merasa gelisah sih sebenarnya? tanya Ya'qub dalam hati. Satu sisi hatinya membenarkan dugaan bahwa dia sebenarnya gelisah, cenderung juga kepada sedikit menyesal, sesal telah tak sengaja bercerita tentang gadis penting di hidupnya kepada seorang gadis, masalahnya adalah janji Ya'qub dulu yang apakah menjadi dilanggar oleh dirinya sendiri? "ARGH! KENAPA CERITA TENTANG KAK YUMNA KELUAR BEGITU SAJA?!" teriaknya keras. Begitu hampir sampai tempat tujuan, Ya'qub kembali menutup kaca mobilnya, injakan nya pada pedal gas pun juga memelan seiring matanya melihat sebuah tulisan besar di gapura. MAHESWARA FAMILY BURI
"Minta tolong apa?" tanya balik Raskal, si pria berambut pirang gondrong di depannya Ya'qub. "Tapi pasti akan merepotkan. Benar boleh?" tanya Ya'qub lagi. Ini seperti bukan dirinya, bukan karakternya, sosok pria yang ragu atas jawaban lawan bicaranya yang padahal dikenal adalah orang yang terpercaya. Sebenarnya Ya'qub bukan semata-mata ragu, ia hanya merasa tidak enak untuk meminta tolong kepada pria di depannya ini, pasalnya seperti yang dia ucapkan barusan untuk memenuhi permintaan tolongnya ini cukup repot. Tepukan beberapa kali didapatkan Ya'qub di pundaknya, bersamaan dengan itu terdengar kalimat ringan... "Kayak sama siapa aja? Anggap aku abangmu, meski tidak sedarah seperti halnya kamu dan Yumna. Kamu tidak akan pernah sungkan bukan dengan Yumna? Maka tidak perlu sungkan juga dengan abangmu ini!" seru Raskal. Kekehan kecil ditampilkan Ya'qub, sangat sangat kecil, sebab jangan pernah lupa dengan karakternya yang dingin dan tidak ekspresif. "Hm, anggap bang Raskal kakak ipa
Tarikan nafas berat dilakukan pria berambut hitam ikal itu setelah mendengar kalimat dari lawan bicaranya barusan, ia menyahut, "Selalu ku ucap terima kasih kepadanya, dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Mengatur semuanya, mengatur dia hadir di keluarga Al Lathif lebih dari tiga perempat masa hidupnya."Perihal Yumna Ya'qub siap berkata banyak, tidak ada kata irit bicara jika sudah menyangkut tentang kakak perempuannya itu, baik itu untuk memuji kakak perempuannya, membela, bahkan menceritakannya terkadang. Sepi menggulung di antara dua pria itu lagi selama beberapa detik, senja seharusnya sudah terjadi, tetapi cuaca yang mendung disertai hujan tipis-tipis membuat sinar senja kalah dan tidak bisa tampil. "Abang serius, semakin cepat kamu tau apa merk CCTV itu, anak buah abang akan semakin cepat turun tangan memeriksanya. Hidup dengan fitnah pasti tak enak, kamu pasti dituntut berbagai hal, seharusnya kamu ingin terbebas dari fitnah itu dengan cepat, kan? Maka cepatlah juga mencari
Sorot tatapan mata seorang gadis berambut coklat panjang itu menatap jenaka kepada dua insan yang ada di depan matanya, sebenarnya tidak persis berhadapan sebab yang satu duduk di sampingnya dengan sofa yang sama sementara yang satunya lagi di kursi lipat dan berposisi berhadapan dengan tetap berjarak tentunya."Kasian," celetuk Nayyara melihat itu. "Apaan lo?!" tukas si pria yang duduk di kursi lipat, di salah satu jari tangan pria itu terpasang tasbih digital berwarna hitam. Respon yang berbeda ditunjukkan gadis di sampingnya Nayyara, gadis itu justru tertawa miris setelah Nayyara berujar. "Ya'qub kapan dateng sih? Bininya dilepasin gini meresahkan tau!" gerutu pria di kursi lipat tadi. Saat ini di kamar VVIP nomor 3 rumah sakit Pelita Sehat selain ada abi Yasser Ahnaf Al Lathif dan umi Yasmin Laili Al Aziz yang keduanya tengah beristirahat, ada Nayyara dan dua orang insan satu laki-laki yakni putranya abi dan umi juga yaitu Yusuf, dan yang satunya lagi adalah perempuan bernama
"Puas kamu? Pertanyaan itu kan yang butuh kamu dengar untuk bisa bertahan di sini?!""Ya! Setidaknya kamu telah berucap begitu, perihal hati biar diurus nanti!" balas Medina setelah membalikkan tubuhnya menjadi menatap Ansel kembali. "Maka bertahanlah di sini!" suruh Ansel sambil berusaha menenangkan degupan jantungnya yang melonjak setelah ia mengatakan pernyataan beberapa menit barusan. Anggukan tulus diperlihatkan Medina, gadis itu berjalan kembali menuju kursi lipat yang tadi dia duduki, langkah kakinya terhenti karena ada pergerakan dari dekatnya. Wajah Ansel yang membeku tidak luput dari pandangannya mata Medina, ekspresinya tetap datar tidak terbaca senang ataukah sedih. Tindakan dari papanya mungkin mengejutkannya tetapi tidak membuatnya marah dan sayangnya tidak juga senang. "Maafkan papa atas segala-galanya, Ansel.""Setelah ini papa berjanji apa saja yang kamu inginkan akan papa kabulkan, sekalipun itu menyuruh papa kembali kepada Nayyara dan membuat papa meninggalkanmu
"Berisik!" "Sabar boy sabar! Harusnya kita yang perlu lo sabarin karena dari tadi kita yang udah emosi! Jangan lo lagi yang nambah emosi juga!" Dua pria berwajah serupa yang keduanya sama-sama tampan itu sedikit berseteru, tak perlu risau, mereka sudah biasa begini, salah satu mengomel yang lainnya akan menenangkan dengan jenaka sehingga tidak akan menjadi kepada perdebatan yang memisahkan. "Lo kemana aja sih?" tanya pria yang tadi berucap paling panjang sembari bersedekap di dada sok-sokan menyelidik, siapa lagi jika bukan Yusuf. Tidak ada balasan dari pria yang Yusuf ajak bicara, saudara kembar dari pria itu sendiri yakni Ya'qub Lutfi Al Lathif itu justru berjalan tidak menghampiri Yusuf dan dua gadis yang duduk di sofa di dekatnya, tetapi Ya'qub menghampiri kedua orang tuanya yang sentiasa masih terbaring lemah di kasur rumah sakit yang bersisian. Sebenarnya memang tak ada juga niatan di hatinya Ya'qub untuk ngobrol dengan kembarannya sekarang, ia ingin bercakap dengan kedua o
"Allahu akbar Allahu akbar..."Lafaz suara azan nyaring terdengar di ruang VVIP tersebut, tak heran karena sebuah mesjid jami' yang begitu megah berdiri kokoh tidak jauh dari rumah sakit Pelita Sehat ini. Dari jendela kaca di depannya yang belum tertutup tirai itu Ya'qub melihat pemandangan kota Jakarta yang lampu-lampu gedung kantor, apartemen, atau restoran mulai menyala karena hari yang mulai gelap. Ditambah tidak ada senja yang biasanya mampu membantu penerangan bumi, disebabkan cuaca yang mendung sejak Ya'qub datang ke makam kakak perempuannya beberapa menit yang lalu tadi.Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama di hari semalam, yakni kelupaan dengan sholat hingga keluputan dua waktu sholat sekaligus, karena ia sudah bertaubat dan demi menjadikan taubatnya menjadi taubat yang sempurna seharusnya Ya'qub tidak mengulanginya setelah menyesalinya. Pria itu pun bangkit dari duduknya, menghentikan kegiatan batinnya menjabarkan sakitnya. Ia merapikan kursi yang tadinya ia duduki, ya