"Puas kamu? Pertanyaan itu kan yang butuh kamu dengar untuk bisa bertahan di sini?!""Ya! Setidaknya kamu telah berucap begitu, perihal hati biar diurus nanti!" balas Medina setelah membalikkan tubuhnya menjadi menatap Ansel kembali. "Maka bertahanlah di sini!" suruh Ansel sambil berusaha menenangkan degupan jantungnya yang melonjak setelah ia mengatakan pernyataan beberapa menit barusan. Anggukan tulus diperlihatkan Medina, gadis itu berjalan kembali menuju kursi lipat yang tadi dia duduki, langkah kakinya terhenti karena ada pergerakan dari dekatnya. Wajah Ansel yang membeku tidak luput dari pandangannya mata Medina, ekspresinya tetap datar tidak terbaca senang ataukah sedih. Tindakan dari papanya mungkin mengejutkannya tetapi tidak membuatnya marah dan sayangnya tidak juga senang. "Maafkan papa atas segala-galanya, Ansel.""Setelah ini papa berjanji apa saja yang kamu inginkan akan papa kabulkan, sekalipun itu menyuruh papa kembali kepada Nayyara dan membuat papa meninggalkanmu
"Berisik!" "Sabar boy sabar! Harusnya kita yang perlu lo sabarin karena dari tadi kita yang udah emosi! Jangan lo lagi yang nambah emosi juga!" Dua pria berwajah serupa yang keduanya sama-sama tampan itu sedikit berseteru, tak perlu risau, mereka sudah biasa begini, salah satu mengomel yang lainnya akan menenangkan dengan jenaka sehingga tidak akan menjadi kepada perdebatan yang memisahkan. "Lo kemana aja sih?" tanya pria yang tadi berucap paling panjang sembari bersedekap di dada sok-sokan menyelidik, siapa lagi jika bukan Yusuf. Tidak ada balasan dari pria yang Yusuf ajak bicara, saudara kembar dari pria itu sendiri yakni Ya'qub Lutfi Al Lathif itu justru berjalan tidak menghampiri Yusuf dan dua gadis yang duduk di sofa di dekatnya, tetapi Ya'qub menghampiri kedua orang tuanya yang sentiasa masih terbaring lemah di kasur rumah sakit yang bersisian. Sebenarnya memang tak ada juga niatan di hatinya Ya'qub untuk ngobrol dengan kembarannya sekarang, ia ingin bercakap dengan kedua o
"Allahu akbar Allahu akbar..."Lafaz suara azan nyaring terdengar di ruang VVIP tersebut, tak heran karena sebuah mesjid jami' yang begitu megah berdiri kokoh tidak jauh dari rumah sakit Pelita Sehat ini. Dari jendela kaca di depannya yang belum tertutup tirai itu Ya'qub melihat pemandangan kota Jakarta yang lampu-lampu gedung kantor, apartemen, atau restoran mulai menyala karena hari yang mulai gelap. Ditambah tidak ada senja yang biasanya mampu membantu penerangan bumi, disebabkan cuaca yang mendung sejak Ya'qub datang ke makam kakak perempuannya beberapa menit yang lalu tadi.Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama di hari semalam, yakni kelupaan dengan sholat hingga keluputan dua waktu sholat sekaligus, karena ia sudah bertaubat dan demi menjadikan taubatnya menjadi taubat yang sempurna seharusnya Ya'qub tidak mengulanginya setelah menyesalinya. Pria itu pun bangkit dari duduknya, menghentikan kegiatan batinnya menjabarkan sakitnya. Ia merapikan kursi yang tadinya ia duduki, ya
Keinginan dan rencana Nayyara sebenarnya meninggalkan Ya'qub sampai pria itu selesai sholat, ia kira membeli makanan akan lama dengan bayang-bayang di pikirannya resto rumah sakit sedang antri dan penuh pembeli, nyatanya apa? Justru malahan sepi, membuat Nayyara pun mau tak mau cepat juga mendapatkan makanannya. Ia berencana memperlambat durasi makanannya juga agar ketika kembali ke ruangan abi dan uminya Ya'qub nanti keluarga harmonis itu sudah selesai sholat sehingga membuat Nayyara bisa langsung berbicara to the point kepada Ya'qub bahwa setelah hubungan mereka yang kira nyata itu sebenarnya tak ada mereka harus berpisah secepatnya. Tetapi nyatanya Nayyara makan begitu cepat, soto Banjar pesanannya itu terasa baru saja di letakkan pelayan di meja di depannya, lah sekarang sudah habis tak bersisa begitu saja, rupanya disebabkan faktor kelaparan ia pun makan begitu cepat. Seharusnya jika Nayyara ingin lebih lambat datang ke ruang VVIP lagi, dia bisa bertahan di resto rumah sakit du
Begitu menyelesaikan rukun sholat yakni salam, pria berpeci kopiah putih Malaysia itu menyapu wajahnya karena bagian dari sunnah, kemudian berdoa sebentar, setelahnya pria itu sedikit memutar tubuhnya, tidak sampai seratus delapan puluh derajat hanya setengahnya yakni sembilan puluh derajat saja. Ia melonggarkan gelang serut dari kayu yang terpasang di tangan kirinya, setelah longgar tidak ada opsi lain selain benda tersebut terlepas, bukan tidak beralasan Ya'qub mengenakan gelang tersebut sejak ia remaja sekitar usia empat belas tahunan hingga sampai kini dewasa sudah berumur dua puluh enam tahun. Kayu kayu kecil di gelang tersebut yang berjumlah tiga puluh tiga sama dengan jumlah tasbih pada satu lafaz zikir setelah sholat, sehingga membantunya menjadi tasbih untuk digunakan menghitung berapa jumlah lafaz zikir yang sudah dia baca. Dan kali ini dia memanfaatkannya lagi untuk dijadikan tasbih, biar kecil terpenting ada. Lagipula alasan Ya'qub menggunakan gelang yang sebenarnya bias
Suasana sebuah ruang rawat yang telah disewa seorang pria yang mana kebetulan juga ada di sana berubah ratusan derajat dari suasana beberapa menit yang lalu, suhu udaranya pun juga terasa berbeda dirasakan oleh tiga insan di dalamnya, satu pun diantara ketiganya tak bisa menjelaskan apa suhu udaranya memanas atau mendingin sebenarnya setelah kalimat lantang tetapi sempat terbata tadi terdengar. Waktu yang sudah menunjukkan malam hari membuat malam menjadi terasa semakin terasa kikuk dan canggung disana. Belum ada yang membuka mulut tuk bicara seusai kalimat barusan terdengar di sana, mereka sama-sama bungkam dan membisu tak tau harus melakukan dan mengatakan apa, sesuatu terasa begitu membuncah di dalam dada masing-masing. Seorang pria yang paling barusan berbicara itu memalingkan kepalanya menjadi menatap jendela, enggan menatap lurus dan jadinya melihat sang papa, entah memang semata-mata karena enggan atau belum sanggup. "A-ansel? Alhamdulillah sayang, akhirnya kamu mau menyebut
Pergerakan yang begitu heboh dari dekatnya dan tertangkap penglihatannya membuat lamunan Ya'qub mau tak mau menjadi pecah, lelaki dewasa kembarannya berlari begitu repot menuju ke sofa, siapa lagi jika bukan Yusuf yang memang urakan karakternya yang melakukan kehebohan itu? "Mari makan! Huhuhu, makanan Spanyol lagi kiw!" pekik Yusuf sambil membuka paperbag yang berada di atas meja di depan sofa yang di duduki Nayyara dan Maria. Melihat lancang nya Yusuf itu, Ya'qub hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, mau bagaimana lagi? Ingin memberikan teguran kepada Yusuf pun percuma, jatuhnya akan menjadi sia-sia dengan membuang kata yang keluar dari mulutnya Ya'qub sedangkan Ya'qub kan irit bicara untuk sesuatu yang tidak berguna dan hanya basa-basi belaka, mana mungkin pria ini mau, camkan itu. Lagipula Yusuf memang tidak akan menggubris, pria itu akan mengeluarkan alasan-alasan yang memang logis untuknya dan untuk yang mendengarnya, karena Maria telah membebaskan Yusuf mengacak-a
Kernyitan yang begitu dalam tercetak di dahinya seorang gadis pemilik manik mata blue sapphire tersebut, dia benar-benar heran apakah bau nafasnya tercium sehingga dapat diketahui aromanya dan bisa ditebak dengan sangat benar apa sesuatu yang baru saja dia santap? "Kenapa lo tau?" selidik nya bertanya curiga pada seorang pria di depannya. Pria berambut ikal berwarna hitam di depan Nayyara itu tidak merasa risih kok ditanyai Nayyara dengan sebegitu nya intonasi menyelidiknya, ia teramat mampu bersikap begitu tenang dan santai. "Tidak pernah kah lo mencium aroma cappuccino semenjak berkenalan dengan gue?" tanya Ya'qub. Hey! Ini seperti bukan dirinya! Berbasa-basi itu sama sekali bukanlah karakternya Ya'qub. Lantas, mengapa kali ini pria ini seperti itu? Ada apa dengannya? Kesambet apa dia? Lalu kemana pribadi Ya'qub yang asli dan sebenarnya? "Eh doyam! Lo kok lucu sih? Kenapa nanya gitu segala?" tanya Nayyara masih heran. Sesegera mungkin pria yang masih mengenakan kopiah putih Ma